Biografi Haji Agus Salim, Sang Diplomat Ulung Perumus Piagam Jakarta

Biografi Haji Agus Salim

Biografi Haji Agus Salim, Sang Diplomat Ulung Perumus Piagam Jakarta – Nama Agus Salim atau Haji Agus Salim tentunya tidaklah asing di telinga masyarakat Indonesia. Pria yang dikenal sebagai salah satu diplomat terbaik yang pernah dimiliki oleh Republik Indonesia tersebut memang dikenal cukup piawai saat menjadi delegasi atau perwakilan Indonesia di kancah Internasional. Beliau dikenal memang cukup disegani di antara diplomat-diplomat di seluruh dunia kala itu. Bahkan, pria yang ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional di tahun 1961 ini dijuluki sebagai “The Grand Old Man” oleh banyak pihak.

Di sini, kita akan membahas lengkap biografi dari seorang Haji Agus Salim yang terkenal dengan kepiawaiannya menjadi seorang diplomat.

Biodata Haji Agus Salim

Nama Agus Salim (Masjhoedoelhaq/Masyudul Haq)
Tempat LahirKoto Gadang, Agam, Sumatera Barat
Tanggal Lahir8 Oktober 1884
Pendidikan– Pendidikan Dasar di Europeesche Lagere School (ELS)
– Pendidikan Menengah di Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III (Kawedrie), Batavia (sekarang Jakarta)
AyahSutan Mohammad Salim
IbuSiti Zainab
Keluarga– Zainatun Nahar (Istri)
– Syaikh Ahmad Khattib (Paman)
Profesi– Jurnalis
– Penulis
– Diplomat
– Menteri
AgamaIslam

Biografi Haji Agus Salim

Kehidupan Pribadi Haji Agus Salim

Agus Salim lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884. Dirinya memiliki nama lahir Masyhudul Haq (Masjhoedoelhaq) yang memiliki arti sebagai “Pembela Kebenaran”. Beliau merupakan putra dari pasangan Sutan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya sendiri juga dikenal sebagai salah satu pejuang nasional yang cukup disegani sekaligus bertugas sebagai Jaksa di pengadilan Tinggi, Riau saat masa Hindia-Belanda pada abad ke-19.

Baca juga: Biografi Alexander Andries Maramis, Perumus Piagam Jakarta dan Menteri Keuangan Pertama Indonesia

Lahir di keluarga yang cukup terpandang pada masa itu membuat Agus Salim memperoleh pendidikan yang cukup baik di zamannya. Dirinya mengenyam pendidikan dasar di Europeesche Lagere Scholl (ELS) yang merupakan sekolah dengan kualitas terbaik untuk para anak-anak keturunan Eropa dan pejabat tinggi pribumi dan lulus di tahun 1898. Lalu, dirinya melanjutkan sekolah di Batavia, tepatnya di Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III (Kawedrie). Dirinya lulus dengan predikat sebagai lulusan HBS terbaik se-Hindia-Belanda di tahun 1903. 

Namun, setelah lulus sekolah menengah dirinya tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena beasiswanya tidak disetujui. Kemudian dirinya memilih bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris di sebuah kongsi pertamnangan di Indragiri, Jawa Barat. Meksipun hanya lulusan setara sekolah menengah atas kala itu, Agus Salim diketahui cukup piawai dalam banyak bahasa asing. Agus Salim diketahui menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Turki, Jepang dan Bahasa Arab.

Dikarenakan kemampuan bahasa asingnya yang terbilang sangat mumpuni, Agus Salim saat masih muda kemudian berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja sebagai staff kedutaan besar Belanda untuk Kerajaan Arab Saudi. Selama berada di Arab Saudi, dirinya juga berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang merupakan ulama terkemuka di Hindia-Belanda dan pernah menjabat sebagai Imam Masjidil Haram di Mekkah. Syaikh Ahmad Khatib sendiri juga memiliki hubungan darah dengan Agus Salim karena merupakan paman beliau.

Menekuni Dunia Jurnalistik dan Politik

Pada periode 1910-an, Agus Salim mulai giat menekuni dunia jurnalistik dan kepenulisan. Berbekal kemampuannya selama mengenyam pekerjaan sebagai notaris dan ahli dalam banyak bahasa, dirinya kemudian bergabung dengan Harian Neratja sebagai wakil redaktur di tahun 1915. Selain bergabung dengan surat kabar Harian Neratja, Agus Salim juga diketahui membuka sekolah dasar berbahasa Belanda antara tahun 1912-1915, yakni Hollandsch-Inlandsche School (HIS).

Karirnya di dunia jurnalistik kemudian kian berkembang sehingga dirinya diangkat sebagai Ketua bagian redaktur setelah beberapa tahun menjadi wakil redaktur di surat kabar Harian Neratja. Selama menjadi jurnalis, dirinya juga pernah menduduki jabatan pimpinan dari surat kabar Hindia Baroe yang merupakan kelanjutan dari Harian Neratja yang harus tumbang pada dekade 1920-an. Dirinya juga mendirikan surat kabar lainnya, yakni Fadjar Asia di tahun 1923. 

Baca juga: Biografi Mohammad Yamin, Sastrawan Sekaligus Politikus Perumus Piagam Jakarta

Kemudian dia pindah ke Yogyakarta dan bergabung sebagai redaktur di Harian Moestika. Selama terjun di dunia jurnalistik, dirinya juga membuka kantor cabang informasi yang dikenal dengan nama kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan perkembangan karir jurnalistiknya, dirinya juga mulai menekuni dunia politik dengan bergabung dengan Sarekat Islam. Tak berselang lama, dirinya kemudian diangkat menjadi pemimpin di organisasi perjuangan berbasis agama tersebut.

Karir Politik Agus Salim Bersama Sarekat Islam

Agus Salim sejatinya mulai menekuni karir di bidang Politik sejak dekade 1910-an. Dirinya bergabung dengan Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Dirinya dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam organisasi perjuangan tersebut sehingga seringkali dianggap sebagai orang kepercayaan atau tangan kanan dari H.O.S. Tjokroaminoto.

Pada masa awal bergabungnya dengan Sarekat Islam, dirinya sejatinya memiliki hubungan baik dengan beberapa pihak di pemerintahan kolonial Belanda kala itu. Namun, hal itu sedikit mengalami kerenggangan saat surat kabar Harian Neratja yang sempat dipimpinnnya kerap kali menyampaikan kritik yang menyudutkan pemerintahan kolonial. Namun, kemampuan diplomasinya yang dianggap cukup baik membuatnya justru mendapatkan kursi di Volksraad atau Dewan Rakyat mewakili organisasi Sarekat Islam di tahun 1921.

Ketika Sarekat Islam pecah, dirinya bersama H.O.S. Tjokroaminoto kemudian membentuk partai Sarekat Islam yang kemudian menjadi PSI. Karir politiknya kian menanjak hingga dirinya dianggap sebagai salah satu tokoh pergerakan rakyat yang cukup penting semasa tentara Jepang menduduki Indonesia di tahun 1942. Di tahun yang sama, dirinya diminta oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk membuat kamus militer yang akan digunakan oleh tentara Pembela Tanah Air (PETA).

Dirinya bersama beberapa tokoh nasional lainnya seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara juga ditunjuk oleh pihak Jepang sebagai penasihat dan penaggung jawab atas Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Kemampuan diplomasinya yang luar biasanya membuat dirinya juga cukup disegani oleh pemerintah militer Jepang kala itu.

Tergabung dengan Panitia Sembilan dan Ditunjuk Menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia

Pada akhir masa pendudukan Jepang, Agus Salim kemudian ditunjuk menjadi salah satu anggota dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) di tahun 1945. Dirinya lalu ditunjuk menjadi bagian dari Panitia Sembilan yang turut merumuskan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang kelak akan menjadi Pancasila.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dirinya kemudian ditunjuk sebagai anggota anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga Maret 1946. Dirinya juga ditunjuk sebagai pemimpin delegasi Indonesia di luar negeri, khususnya saat Konferensi Asia di India pada tahun 1947. Dirinya lalu menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir I dan Sjahrir II dari tahun 1946-1947.

Lalu, dirinya ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia dari tahun 1947 hingga tahun 1949. Selama menjabat sebagai menteri, dirinya juga yang turut membantu pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia dan beberapa negara di jazirah Arab seperti Mesir agar mau membantu dan mengakui kemerdekaan serta kedaulatan Indonesia yang saat itu baru terbentuk. Bahkan, saat dirinya tidak menjabat posisi sebagai menteri luar neger di tahun 1949, dirinya masih sering menjadi penasihat dari kementerian tersebut.

Pada masa Agresi militer Belanda II, dirinya juga sempat diasingkan ke daerah Brastagi, Sumatera Barat bersama Sutan Sjahrir dan Soekarno kala itu. Dirinya kemudian ditunjuk sebagai delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda di tahun 1949 yang juga menjadi tugas terakhirnya di Kementerian Luar Negeri Indonesia

Karirnya sebagai jurnalis di masa muda juga membuatnya menjadi ketua Ketua di Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia. Dirinya dikenal sebagai pribadi yang kritis saat itu. Namun, dirinya juga dianggap sebagai orang yang menanamkan kode etik jurnalistik agar tidak kelewat batas saat melakukan kritik.

Akhir Hayat Agus Salim

Agus Salim wafat pada 4 November 1954. Dirinya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya, dirinya kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional di tahun 1961 berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) di tahun 1961. Dirinya dikenang sebagai salah satu politikus, diplomat sekaligus penulis ulung yang pernah dimiliki oleh Indonesia kala itu. Tercatat, dirinya juga pernah menerbitkan beberapa karya sastra, antara lain:

  • Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
  • Dari Hal Ilmu Quran
  • Muhammad voor en na de Hijrah
  • Gods Laatste Boodschap

Demikianlah biografi seorang Haji Agus Salim, Sang Diplomat Ulung Perumus Piagam Jakarta.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis