Dari Komersialisasi, hingga Segala Sesuatu yang Menyebalkan tentang Hak Parkir di Indonesia Kerap kali orang-orang merasa sebal ketika harus berhadapan dengan tukang parkir. Sesuatu yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai pengunjung, alih-alih merasa tenang, justru malah dibebankan dengan biaya tambahan.
Sudah hidup pas-pasan, kini semuanya jadi serba membayar. Masuk ke toko kudu bayar parkir, mampir ke ATM juga kena parkir. Bahkan yang lebih sialnya lagi ketika barang yang dicari di toko tidak tersedia atau ketika niat hati ambil duit di ATM jebule saldonya tidak cukup untuk ditarik dan sesampainya diluar malah diminta biaya parkir. Oalah Gusti.
Disisi lain, citra buruk tukang parkir sendiri semakin diperburuk dengan adanya oknum yang dinilai tidak bertanggung jawab tatkala melaksanakan tugasnya. Bukan rahasia umum lagi ketika petugas parkir menghilang bak ditelan bumi saat pelanggan datang dan muncul dengan kecepatan cahaya ketika pelanggan hendak pergi, sembari mencetuskan frasa paling dikenang dengan nada yang lugas dan mantap,
“yak, teroos, mundur, Sip. Dua ribu, mas!”
Kondisi ini agaknya berbeda dengan tempat lain. Seingat saya, dulu di kota kota kecil seperti Madiun, kami cukup ramah terhadap hal sentimentil seperti urusan parkir. Semisal ketika kita hanya mampir sebentar saja, maka cukup sampaikan pada petugas parkir yang menghampiri,
“sekedap nggih pak, sebentar saja, kok.”
Maka petugas pun tidak jadi merobek karcisnya. Selain itu, petugas parkir tak akan menarik uang parkir terhadap kendaraan yang ditunggui oleh pemiliknya sendiri. Barangkali hal ini dikarenakan konsep parkir masa itu adalah memberikan jasa keamanan terhadap pelanggan. Lha nek misale kendaraan sudah aman karena ada yang menjaga, lantas apalagi yang mau ditarik biaya?
Pada masa sekarang, yang tak kalah membagongkan menurut saya adalah ketika membaca aturan tertulis pada karcis parkir yang pernah saya terima. Kira-kira bunyinya adalah “kehilangan barang pribadi bukan tanggung jawab petugas parkir.” Lha asu tenan jeh! Jika barang pribadi yang hilang ini adalah helm atau bahkan sepeda motor, petugas parkir akan angkat tangan begitu saja karena aturan mainnya sudah terukir dalam karcis. Lalu kepada siapa kita akan melapor dan meminta pertanggungjawaban? Atau jangan-jangan, ini salah anda karena memilih untuk datang ke tempat tersebut lalu parkir pada hari dan waktu kejadian.
Dalam cerita lain, uang seribu tak lagi diminati oleh petugas parkir manapun. Dewan parkir nasional seolah menetapkan konsensus yang menyatakan bahwa biaya parkir bagi sepeda motor adalah Rp2.000,00 sedangkan mobil bisa Rp5.000,00 atau bahkan lebih. Saya kira ini nyaris menjadi harga mutlak.
Pernah satu waktu, saya mencoba memberikan uang seribu rupiah karena memang sedang bokek. Kalau tidak salah, saat itu saya pergi ke minimarket untuk membeli air mineral seharga Rp4.500,00 yang kemudian didiskon menjadi Rp2.500,00 saja. Karena saya tahu diluar ada tukang parkir, maka saya siapkan koin Rp1.000,00 untuk biaya parkir. Diluar minimarket, ketika saya berikan koin tersebut kepada petugas parkir, alih-alih membantu saya mengeluarkan sepeda motor–karena kondisi sepeda yang terhimpit–malah diomeli petugas parkir.
“Bos, ini Surabaya! Seribu bisa buat apa?! Beli rokok sebatang ae gak cukup!” pungkasnya ngegas.
Sontak saya dibuat terheran dengan rasa jengkel yang meluap. Ndledek ra karuan. Biaya parkir yang harus dibayar nyaris sama dengan biaya yang saya keluarkan untuk membeli sebotol minuman.
Konsep parkir saat ini beralih dari membayar jasa keamanan menjadi konsep penyewaan lahan. Ekstrimnya lagi ketika bisa dikomersialkan. Jika sudah begini, lantas mengapa harus digratiskan?
Sialnya semua kalangan sepertinya sudah mengkomersialkan sesuatu yang seharusnya jadi bagian dari pelayanan.
Meski demikian, kehadiran petugas parkir tak selamanya menjadi stigma negatif. Ada juga yang ramah dan murah senyum. Diberi lima ratus perak pun diterima, bahkan tak diberi juga masih membantu pelanggan untuk sekedar mengeluarkan motor atau menyeberangkan jalan. Nilai yang diberikan sudah sepatutnya sesuai dengan pelayanan yang didapat. Tanpa perlu menjadi petugas parkir yang gaib. Syukur-syukur jika pemilik toko berbaik hati membiayai sendiri petugas parkir tanpa harus membebankan biaya parkir kepada pelanggan.