Menjadi Petani Milenial Tidak Semudah Omongan Pak Jokowi

petani milenial

Menjadi Petani Milenial Tidak Semudah Omongan Pak Jokowi – Beberapa tahun yang lalu, Pak Jokowi pernah mengatakan pernyataan yang dikutip dari majalah Tempo, bahwa petani harus menjadi profesi yang menjanjikan. Hampir dua tahun setelah narasi itu digaungkan, sampai saat ini perkembangan petani milenial masih belum menemui titik terang. Selain tidak menjanjikannya profesi sebagai petani, profesi-profesi lain di luar petani juga masih menjadi primadona karena uang bulanan yang pasti.

Sekilas memang narasi ini terlihat sangat seksi. Namun, di balik itu semua, ada sisi gelap yang harus banyak orang ketahui. Bukan bermaksud pesimistis, tetapi kita juga harus realistis. Bahkan, sampai saat ini narasi ini masih tidak realistis. Ada banyak faktor yang menjadi batu sandungan Pak Jokowi untuk merealisasikan ide ini.

Musim yang Sulit Diprediksi

Seperti yang kita ketahui dan rasakan bersama, akhir-akhir ini cuaca sangat tidak bersahabat. Kalau lagi musim penghujan bisa banjir besar, kalau lagi kemarau bisa kekeringan hebat. Bahkan, kemarin juga ramai di media tentang  munculnya tornado pertama kali di Indonesia dan dilegitimasi oleh BRIN. Padahal, secara geografis hampir sangat tidak mungkin ada tornado muncul di sini. 

Baca juga: 5 Jenis Barang yang Disimpan Petani di Gubuk

Namun, alam berkata lain. Dulu, kita bisa memprediksi tingkah laku alam. Akan tetapi, di era yang serba modern ini, justru kita seakan-akan kembali ke era sebelum ditemukannya teknologi. Cuaca menjadi tidak bisa diprediksi dengan tepat, musim kemarau dan musim hujan yang dulu bisa diatasi dengan baik, sekarang harus dipikirkan lagi cara untuk mengendalikannya.

Padahal, musim adalah salah satu faktor penentu dari keberhasilan industri pertanian. Jika kita belum bisa berdamai dengan musim, jangankan menarik minat petani milenial, petani senior saja kelabakan. 

Pupuk yang Dibatasi

Dahulu, petani menggunakan pupuk organik, seperti pupuk dari kotoran hewan ternak. Namun, semenjak era orde baru, petani diajarkan untuk beralih menggunakan pupuk kimia, dengan dalih untuk pertanian yang lebih makmur. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika petani mulai bergantung terhadap pupuk kimia, justru produksi dan sebarannya dibatasi. Hal ini marak bertebaran di kanal berita lokal dan nasional tentang kelangkaan pupuk. Padahal, pupuk dibeli oleh uang pribadi petani.

Pupuk yang sulit didapatkan bisa menjadi salah satu faktor dari keinginan milenial untuk menjadi petani. Daripada memikirkan stok pupuk yang tidak tahu kapan mudah didapatkan, lebih baik melaksanakan pekerjaan dari atasan, dengan gaji bulanan yang tetap dan jelas.

Biaya Perawatan Tidak Sebanding dengan Hasil

Banyak orang yang tidak mengerti bahwa merawat tanaman pertanian itu tidak mudah. Berbeda dengan manusia yang bisa berbicara ketika mereka sakit atau merasa tidak enak badan yang kemudian bisa melakukan pencegahan supaya tidak sakit, tanaman tidak bisa berkata demikian. Kadangkala tanaman hanya terlihat mulai menunjukkan tanda-tanda tidak sedang dalam kondisi sehat, entah daun yang menguning sebelum waktunya, atau tanda-tanda lainnya.

Baca juga: Seputar Relevansi KKN Mahasiswa hingga Kehidupan Petani Tembakau Desa Canggal

Sering kali, petani harus memberikan perawatan yang ekstra. Seperti hama tikus, burung, angin kencang, ulat, dan kendala dalam perawatan lainnya yang kadangkala terjadi di luar prediksi dari petani. Sehingga, hasil panen tidak bisa diprediksi dengan tepat, karena ada banyak faktor tak dapat diduga yang bisa muncul kapan saja.

Sistem Panen yang Merugikan

Sampai saat ini, belum ada suatu sistem resmi dari pemerintah untuk pengelolaan hasil pertanian petani yang baik, supaya menghasilkan keuntungan yang banyak bagi petani. Pemerintah hanya menetapkan harga minimum gabah. Bayangkan saja, selama tiga bulan petani baru bisa panen. Itu pun kalau hasilnya bagus. Misal hasilnya bagus pun, nanti harus dihadapkan dengan harga yang anjlok karena stok melimpah.

Butuh sistem yang berkesinambungan antara petani sebagai produsen dengan pemerintah untuk memastikan kesejahteraan petani menjadi prioritas. Bahkan, kalau perlu ada juga kesinambungan antara petani dan konsumen, supaya petani bisa tahu dengan jelas ke mana ia akan langsung menjual hasil panen dan mendapatkan harga yang terbaik.

Mempertimbangkan berbagai hal di atas, masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pak Jokowi terlebih dahulu sebelum mengajak anak muda untuk menjadi petani.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis