Biografi Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia

Biografi Ki Hajar Dewantara

Biografi Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia

Ki Hajar Dewantara adalah salah satu sosok pahlawan nasional yang berperan besar dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dikenal sebagai bapak pendidikan Indonesia, salah satu penghargaan terhadap sosok Ki Hajar Dewantara ini adalah penetapan hari lahirnya sebagai Hardiknas atau Hari Pendidikan Nasional.

Biodata Ki Hajar Dewantara

Sebelum membahas lebih lanjut biografi beliau, berikut biodata singkat Ki Hajar Dewantara.

NamaKi Hajar Dewantara
Nama AsliRaden Mas Soewardi Soedjadiningrat
Tempat, Tanggal LahirKadipaten Pakualaman, 2 Mei 1889
MeninggalYogyakarta, 26 April 1959
JulukanBapak Pendidikan Indonesia
PendidikanEuropeesche Lagere School (ELS)
– STOVIA
Lembaga/Organisasi yang DidirikanIndische Partij
Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa

Biografi Ki Hajar Dewantara

Kehidupan Awal

Lahir pada 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerdjadiningrat, anak dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Sri Paku Alam III, Ki Hajar Dewantara tumbuh di tengah lingkungan keluarga keraton Yogyakarta, tepatnya Kadipaten Pakualaman. Dengan latar belakang bangsawan ini, Soewardi (Ki Hajar Dewantara) mendapat akses pendidikan sejak muda dari sekitarnya. Ia bersekolah dasar di ELS (Europeesche Lagere School), yaitu Sekolah Dasar zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia yang memang hanya untuk keturunan Eropa, keturunan Timur asing, atau pribumi dari tokoh terkemuka. Kemudian, ia melanjutkan sekolah di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandische Artsen) atau Sekolah Dokter Bumiputera pada tahun 1905. Sayangnya Soewardi tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya tersebut lantaran sakit.

Selama berkuliah, Soewardi membanting setir dari bidang pendidikan kedokteran ke kepenulisan. Ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, seperti Sediotomo, De Expres, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan sebagainya. Dalam tulisannya, ia banyak menyisipkan kritik tajam kepada para penjajah. Tulisan-tulisannya yang tajam dan mengena ini tentunya turut andil dalam mengobarkan semangat anti kolonial para pembacanya.

Aktivitas Pergerakan Ki Hajar Dewantara

Selain menjadi wartawan, Soewardi juga aktif terlibat dalam organisasi sosial dan politik pemuda. Pada tahun 1908 saat Budi Oetomo berdiri, ia bergabung dan berposisi sebagai seksi propaganda untuk menyosialisasikan visi dan misi persatuan Indonesia kepada masyarakat.

Baca juga: Biografi Gus Dur, Mantan Presiden Perekat Bangsa Indonesia

Empat tahun kemudian pada 1912, Soewardi yang berbekal pengalaman dan  pengetahuan dari Budi Oetomo akhirnya mendirikan Indische Partij bersama Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Kelak, kita mengenal ketiga orang ini sebagai Tiga Serangkai. Bersama kedua sahabatnya ini, Soewardi semakin gencar menulis. Pada tahun 1913, ia mempublikasikan kolom tulisan yang cukup memanas-manasi pemerintah Belanda pada saat itu. Tulisan ini berjudul ‘Als ik een Nederlander was’ atau yang diterjemahkan sebagai ‘Seandainya Aku Seorang Belanda’ dan diterbitkan di De Expres, yang saat itu berada di bawah pimpinan Douwes Dekker.

Pejabat Belanda menganggap tulisannya ini kontroversial karena menyindir para pejabat Belanda. Alhasil, ia bersama dua sahabatnya ini pun ditangkap dan diasingkan. Belanda mengasingkan Soewardi ke Pulau Bangka, Douwes Dekker ke Kupang, dan Cipto Mangoenkoesoemo ke Pulau Banda. Namun, kedua rekannya, yaitu Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangoenkoesoemo memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda pada tahun 1913 agar dapat mempelajari banyak hal.

Pengasingan tidak lantas membatasi ruang geraknya. Di Belanda, ia malah semakin aktif dalam organisasi pelajar asal Indonesia, Indische Vereeigning atau Perhimpunan Hindia. Selain itu, Soewardi juga semakin mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, hingga mempereoleh Europeesche Akta, ijazah pendidikan bergengsi. Dalam proses belajarnya, ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat seperti Fröbel dan Montessori banyak mempengaruhinya. Selain itu, ia juga terinspirasi oleh pergerakan pendidikan di India. Hingga pada sekitar tahun 1919, ia kembali ke Indonesia.

Taman Siswa

Sekembalinya dari Belanda, Soewardi mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 sebagai organisasi penyedia pendidikan yang setara dengan kaum priyayi dan masyarakat Belanda bagi seluruh anak pribumi. Demi kesan yang lebih dekat dengan rakyat, ia bahkan menanggalkan gelarnya dan mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Pendirian Taman Siswa ini adalah salah satu wujud nyata perjuangan Ki Hajar Dewantara demi pendidikan bangsa Indonesia. Di bawah pengajarannya, Taman Siswa memiliki sistem pendidikan yang kelak akan menjadi semboyan utama pendidikan Indonesia.

Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani

Semboyan ini berarti “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan“.

Dianggap mengancam Belanda dengan ajaran nasionalisme Indonesianya, pemerintah kolonial berupaya merintangi Taman Siswa dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada September 1932. Dalam ordonasi ini, setiap sekolah atau lembaga pendidikan yang berdiri harus memperoleh izin dari pemerintah. Pemerintah akan mencabut Izin tersebut apabila pihak lembaga melakukan pelanggaran menurut aturan pemerintah. Namun, ordonansi ini tidak mempengaruhi keteguhan Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa. Bahkan Ki Hajar Dewantara mengirim telegram kepada Gubernur Jendral De Jonge bahwa ia dan Taman Siswa tidak setuju akan adanya ordonasi tersebut dan berencana untuk melakukan pembangkangan. Meskipun ordonasi liar tersebut tetap berjalan, Taman Siswa juga tetap berdiri dan bahkan semakin berkembang pesat sampai ke luar Jawa Tengah.

Pasca Kemerdekaan

Atas pengabdiannya kepada dunia pendidikan Indonesia melalui Taman Siswa, Presiden Soekarno kemudian mengangkat Ki Hajar Dewantara menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Atas perjuangannya di bidang pendidikan inilah yang menjadi alasan mengapa Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Pada tahun 1957, ia mendapatkan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr. H. C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gajah Mada. Dua tahun kemudian, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional. Selain itu, hari lahirnya, 2 Mei, juga kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional hingga saat ini.

Ki Hajar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta pada 26 April 1959. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Taman Siswa, Taman Wijaya Brata. Untuk mengenang sosoknya, pihak penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Di museum ini tersimpan benda-benda milik Ki Hajar dan karya-karyanya sepanjang hidupnya sebagai penulis dan pengajar. Selain itu, banyak juga buku-buku yang menuliskan tentang biografi Ki Hajar Dewantara yang beredar secara luas.

Referensi:

Rahardjo, S. (2018). Ki Hajar Dewantara: Biografi singkat 1889-1959. Penerbit Garasi.

Illustrator: Umi Kulzum Pratiwi Nora Putri

Bagikan di:

Artikel dari Penulis