Biografi KH. Hasyim Asy’ari: Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama Sekaligus Pahlawan Nasional

Biografi KH. Hasyim Asy’ari: Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama Sekaligus Pahlawan Nasional – Pada masa pergerakan, banyak tokoh yang dikenal memiliki andil besar dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut dan menyuarakan kemerdekaan. Banyak tokoh tersebut berasal dari banyak latar belakang, baik latar belakang nasionalis, militer maupun agamis. Salah satu tokoh agamawan yang juga turut serta dianggap sebagai tokoh masa pergerakan di Indonesia adalah KH. Hasyim Asy’ari. Bahkan, perjuangan beliau juga terus berlanjut hingga masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Profil Singkat KH. Hasyim Asy’ari

Nama Muhammad Hasyim Asy’ari
Tempat LahirDesa Tambakrejo, Djombang, Hindia-Belanda
Tanggal Lahir14 Februari 1871
PendidikanPendidikan dasar Pesantren (Tidak dijelaskan secara spesifik)Pesantren Wonorejo, Jombang,Pesantren Wonokoyo, ProbolinggoPesantren Langitan, TubanPesantren Trenggilis, SurabayaPesantren Kademangan, Bangkalan, MaduraPesantren Siwalan, SidoarjoPembelajaran Ilmu Agama dan Hadis di Mekkah, Arab Saudi
AyahKH. Asy’ari
IbuNyai Halimah
KeluargaNafisah (Istri)Khadijah (Istri)Nyai Nafiqoh (Istri)Nyai Masruroh (Istri)KH. Abdoel Wachid Hasyim (Anak)Hannah (Anak)Khoiriyah (Anak)Aisyah (Anak)Azzah (Anak)Abdul Hakim/Abdul Kholiq (Anak)Abdul Karim (Anak)Ubaidillah (Anak)Mashurroh (Anak)Muhammad Yusuf Abdul Qodir (Anak)Fatimah (Anak)Chotijah (Anak)Muhammad Ya’kub (Anak)Abdurrahman Wahid (Cucu)
ProfesiAgamawanGuru Agama
AgamaIslam

Biografi KH. Hasyim Asy’ari

Berikut biografi KH. Hasyim Asy’ari, salah satu tokoh agamawan yang juga turut serta dianggap sebagai tokoh masa pergerakan di Indonesia.

Latar Belakang dan Kehidupan Masa Kecil Hingga Remaja

Muhammad Hasyim Asy’ari atau yang lebih dikenal dengan nama KH. Hasyim Asy’ari adalah salah satu tokoh agamawan yang sekaligus memiliki predikat sebagai pahlawan nasional Indonesia. Beliau lahir pada tanggal 14 Februari 1871 di desa Tambakrejo, Djombang, Hindia-Belanda (Kini Jombang, Jawa Timur). Beliau merupakan putra dan anak ke-3 dari 11 bersaudara pasangan KH. Asy’ari dan Nyai Halimah.

Ayahnya sendiri merupakan salah satu tokoh agamawan muslim yang cukup terpandang di desanya. Bahkan, dari nasab ayahnya, diketahui KH. Hasyim Asy’ari masih keturunan Maulana Ishak. Sementara itu, dari ibunya diyakini memiliki nasab atau keturunan dari Raja Brawijaya VI.

Hidup dengan lingkungan agama yang kuat membuat KH. Hasyim Asy’ari tumbuh menjadi anak yang cukup tertarik dengan dunia keagamaan, khususnya agama islam. Dirinya diyakini mendapatkan pembelajaran agama yang cukup kuat dari kedua orang tuanya. Bahkan, dirinya saat memasuki usia remaja, yakni saat berusia 15 tahun memutuskan untuk berkelana ke berbagai pesantren atau yang dikenal dengan istilah “Mondok”.

Baca juga: Biografi Sunan Kudus: Seorang Ulama dan Panglima Perang

Tercatat, beberapa pesantren di kawasan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Pulau Madura pernah disinggahi oleh KH. Hasyim Asy’ari semasa remaja untuk menekuni ilmu agama dan ilmu fiqih. Dirinya diketahui kian mendalami ilmu agama hingga menjelang usia 20 tahun.

Memasuki usia 21 tahun, dirinya kemudian menikahi Nafisah, salah satu putri dari gurunya selama belajar di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Pernikahan itu sendiri dilangsungkan pada tahun 1892. Tak berselang lama setelah pernikahannya, KH. Hasyim Asy’ari kemudian berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah Haji. Di Mekkah, dirinya juga kian memperdalam ilmu Agama dan Hadis. Namun, pada saat ini dirinya juga harus mendapatkan musibah dengan meninggalnya sang istri beserta anaknya.

Kembali ke Tanah Air dan Ditunjuk Sebagai Pengajar di Masjidil Haram

KH. Hasyim Asyari sempat kembali ke Hindia-Belanda (Indonesia) usai tinggal beberapa tahun di Mekkah. Namun, tak berselang lama beliau kemudian kembali ke Mekkah dan kembali mempelajari ilmu agama kepada para ulama-ulama terkemuka disana. Bahkan, setelah beberapa waktu mendalami ilmu agama, KH. Hasyim Asy’ari kemudian ditunjuk bersama 7 ulama asal Indonesia lainnya untuk menjadi pengajar di Masjidil Haram, Mekkah.

Pada masa pengajarannya inilah beliau diketahui memiliki banyak murid yang kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia untuk mengajarkan ilmu agama Islam. Pada periode keduanya ini dirinya kemudian juga melangsungkan pernikahannya yang ke-2. Beliau menikahi salah satu putri dari Kyai Romli dari desa Karangkates, Kediri. Selang beberapa waktu, KH. Hasyim Asy’ari kemudian kembali ke tanah air.

Mendirikan Pesantren Tebuireng dan Pembentukan Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)

Pada tahun 1899, KH. Hasyim Asy’ari kemudian mendirikan sebuah pondok pesantren yang kemudian dikenal dengan Pondok Pesantren Tebuireng. Lokasi pondok pesantren ini berada di Jombang. Awalnya, jumlah santri di pondok pesantren ini cukup sedikit, yakni 8-10 orang santri saja. Lalu selang beberapa bulan, santri yang belajar ilmu agama di pondok pesantren ini kemudian meningkat menjadi puluhan santri.

Namun, di masa ini KH. Hasyim Asy’ari kembali mendapatkan musibah. Istri keduanya, yakni Khadijah harus wafat tepat 2 tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Selang beberapa lama, KH. Hasyim Asy’ari kemudian menikahi putri dari Kyai Ilyas, yakni pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Madiun, yakni Nyai Nafiqoh. Dari pernikahannya inilah beliau dikaruniai 10 orang anak.

Perkembangan Pesantren dan Kehilangan Keluarga

Akan tetapi, Nyai Nafiqoh kemudian wafat saat memasuki periode 1920-an. Sepeninggal istri ketiganya, KH. Hasyim Asy’ari kemduian menikahi Myai Masruroh dan dikaruniai 4 orang anak. Pada periode inilah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari tumbuh dan berkembang menjadi salah satu pesantren terkemuka di Pula Jawa.

Pendirian Nahdlatul Ulama (NU)

KH. Hasyim Asy’ari juga merupakan pendiri dari salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia saat ini, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Kisah pendirian organisasi ini berawal dari mandat atau titah guru beliau di Bangkalan, Madura, yakni KH Kholil bin Abdul Latif atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Sayyidina Kholil Bangkalan. Namun, kondisi umat muslim di Indonesia dan dunia pada dekade 1920-an juga disinyalir berpengaruh terhadap pendirian Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah mendapatkan banyak saran dan berpikir secara panjang, maka KH. Hasyim Asy’ari kemudian mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama dan kemudian menjadi organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Hari berdirinya organisasi tersebut diputuskan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya dengan mengumpulkan para pemuka dan tokoh agama islam dari seluruh Jawa timur dan pulau Madura.

Baca juga: Biografi Sunan Gunung Jati: Dari Belajar di Timur Tengah Sampai Menjadi Raja Kesultanan Cirebon

Peran NU dalam Perjuangan Kemerdekaan

Nahdlatul Ulama dianggap sebagai salah satu organisasi besar islam di Indonesia kala itu yang merujuk kepada nilai-nilai islam dan juga perjuangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pada saat masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, beliau sempat beberapa kali mengalami masa penahanan karena dianggap menjadi provokator bagi kedua pihak kala itu.

Bahkan, saat Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945 dan memasuki masa revolusi kemerdekaan melawan pihak Belanda dan sekutu, KH. Hasyim Asy’ari dan organisasi Nahdlatul Ulama tetap teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia baik dari jalur diplomasi maupun jalur angkat senjata atau berperang. Bahkan, pada tanggal 22 Oktober 1945, beliau juga mencetuskan Resolusi Jihad di Surabaya yang turut membakar semangat nasionalisme para pejuang kala itu untuk melawan penjajah.

Akhir Hayat KH. Hasyim Asy’ari

Menjelang akhir hayatnya, KH. Hasyim Asy’ari tetap menyuarakan jihad untuk mengusir para tentara sekutu dan turut andil dalam Pertempuran di Surabaya pada tahun 1945. Beliau mempersilahkan pondok pesantren Tebuireng di Jombang dijadikan markas oleh para pejuang kemerdekaan sekaligus memberikan bantuan makanan dan obat-obatan.

Pada 25 Juli 1947, beliau kemudian wafat di Jombang, Jawa timur pada usia 76 tahun dikarenakan kondisi kesehatannya yang menurun dan usia tua. Beliau kemudian dimakamkan di komplek pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis