Sebenarnya, Anak Hanya Ingin Orang Tua Melakukan Hal-hal Ini

Anak Ingin Orang Tua Melakukan Ini

Sebenarnya, Anak Hanya Ingin Orang Tua Melakukan Hal-hal Ini – Dilema berumah tangga memang kompleks. Mulai dari merencanakan persatuan antara kedua pihak keluarga. Beradaptasi dengan kehidupan baru dengan suami atau istri saja atau bahkan dengan keluarga lain. Memastikan kestabilan finansial atau non-finansial dan masih banyak lagi hal-hal yang saya kira sangat ribet untuk dijalani. Salah satu yang menurut saya paling ribet  dan menakutkan adalah punya anak, mengurusnya, serta membesarkannya. Yah, meski saya belum pernah berkeluarga, saya cukup memahami berbagai polemik rumah tangga yang pernah terjadi di sekitar saya.

Saya tahu betul bahwa mengurus anak memang tidak mudah. Tulisan inipun bukanlah tulisan bertemakan parenting. Bukan bersinggungan dengan agama mengenai relasi antara restu orang tua dan anak. Bukan juga mendiskreditkan sesuatu atau seseorang. Tulisan ini saya tulis sebagai harapan seorang anak untuk orang tuanya. Sebaliknya, semoga bisa jadi pengingat diri saya sendiri kelak ketika saya jadi orangtua: bahwa setidaknya ada beberapa hal yang kelihatannya sepele, tapi sebetulnya bermakna jika dilakukan oleh orang tua untuk anak.

Anak Ingin Orang Tua Melakukan Hal-hal Berikut Ini

1. Bertanya

Manusia itu pada dasarnya haus akan afeksi. Saya sendiri hampir lupa bahwa bertanya adalah aspek penting dalam sebuah relasi untuk pemenuhan afeksi, apalagi jika terasa ada sesuatu yang salah dalam relasi tersebut. 

Baca juga: Zona Nyaman sebagai ‘Middle Child’ yang sepertinya Tak Senyaman Itu

Mungkin banyak anak di luar sana, atau bahkan mungkin Anda sebagai seorang anak yang hubungannya dengan orangtua kurang akrab. Bahkan sampai titik untuk saling menanyakan perubahan perasaan atau mimik wajah yang berubah. Meski enggak semua bisa diceritakan atau dijawab, tentu saja di posisi tersebut, saat orang tua “sekadarbertanya, anak akan merasa bahwa orang tuanya ternyata memperhatikannya.

Misal sesepele “Gimana kabar atau kegiatan hari ini? Perasaan kamu oke kan? Ada yang mau kamu ceritain enggak ke Bapak atau Ibu?”.

2. Empati

Ketika anak selesai bercerita tentang perasaannya…

Orangtua: “Gitu aja sedih. Zaman Bapak/Ibu muda dulu, pas seumuran kamu menaklukkan Nusantara meski cuma lewat doa.”

Merasa familiar dengan dialog tersebut? Sebagai manusia biasa, saya yakin ketika kita sedang curhat (mau itu orang tua, anak, cucu, mertua, atau apapun) tapi malah ditanggapi dengan statement yang mengandung mendang-mending dan kurang empati, kita pasti sebel dan ogah buat curhat lagi. Ya sama, anak juga gitu, kan anak juga manusia.

Baca juga: Cara Menjadi Teman Curhat yang Baik

Selain bertanya pada anak, elemen penting yang kelihatan sepele adalah berempati pada anak. Ketika anak memutuskan untuk membuka dirinya pada orang tua, bercerita, dan berbagi kisah serta perasaannya, alangkah lebih baiknya untuk menahan diri agar tidak menyela atau comparing. Atau lebih buruknya, tahan untuk tidak mencela perasaan atau pikiran anak.

3. Menghargai dan percaya

Ketika anak memberanikan diri untuk mengambil resiko atas perbuatannya…

Orang tua: “Kamu ini enggak tahu apa-apa, orang selama ini juga salah terus. Ngerti dong, orang tua tuh tahu dan ngerti apa yang terbaik buat anaknya.”

Masih enggak asing dengan dialog tersebut?

Manusia normal di manapun enggak ada yang mau kalau eksistensi atau idenya enggak dihargai. Begitu juga dengan anak. Sebagai anak yang butuh untuk tumbuh dan berkembang demi menghadapi dunia ini kelak tanpa orang tua, yakinlah kalau anak juga punya ide, tekad, rencana, dan perasaannya sendiri. Dalam hal ini, memang enggak semua ide dan perasaan baik menurut anak bisa diterima dan didukung oleh orang tua. Tetapi semua ide dan perasaan yang anak rasa itu baik untuknya, patut untuk dihargai oleh orang tua.

Baca juga: Perihal Memilih Kebebasan

Menghargai tidak sama dengan menerima. Karena jika tidak setuju, sebagai orang tua, Anda juga tetap bisa menghargai dengan baik tanpa mencela atau mengintervensi ide anak. Atau lebih nyebelinnya menyetir kemudi hidup anak yang harusnya bisa dipegang sendiri kendalinya. Enggak ada salahnya untuk enggak setuju dengan keputusan anak, tapi alangkah lebih baiknya untuk disampaikan dengan baik tanpa merendahkan hasil berpikir anak atau proses yang sudah dilalui anak.

Sebagai orang tua pasti juga sudah tahu dan paham, ketika kita hidup dalam kedewasaan, cuma kita yang memahami kemampuan masing-masing untuk bertahan hidup. Yang pada akhirnya, ketika anak sudah berani untuk mengambil resiko dalam hidupnya, tentunya in a good way yaaa, maka yang orang tua bisa lakukan setidaknya adalah menghargai, mempercayai, dan mendukung.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Visual Designer: Al Afghani

Bagikan di:

Artikel dari Penulis