Mengulik Tradisi Pelarungan Ari-ari di Kota Surabaya – Kota Surabaya yang terkenal sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta ternyata masih menyimpan dan melestarikan beragam tradisi kuno leluhur. Tentunya tradisi kuno ini menjadi tradisi turun-temurun bagi masyarakat kota Surabaya. Tradisi leluhur ini memiliki beragam makna berdasarkan kepercayaan masyarakat di Kota Surabaya tersebut.
Salah satu tradisi leluhur yang masih dilestarikan oleh sebagian besar masyarakat Kota Surabaya adalah tradisi pelarungan ari-ari bayi atau yang lebih populer dalam masyarakat Kota Surabaya sebagai tradisi larung jabang bayi. Tradisi ini tentunya dilakukan pada saat seorang ibu telah melahirkan bayinya. Tradisi ini juga dipercaya bagi sebagian masyarakat Kota Surabaya memiliki beragam makna simbolis yang terkandung di dalamnya.
Baca juga: Mendengar Suara Hati Masyarakat Desa saat Mengikuti KKN di Temanggung
Dilakukan Sejak Ratusan Tahun yang Lalu
Secara umum di Kota Surabaya terdapat dua cara perlakuan terhadap ari-ari bayi atau plasenta dalam kepercayaan masyarakat Kota Surabaya. Pertama, yakni diperlakukan dengan cara dikubur yang lazim dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Jawa pada umumnya. Kedua, yakni dengan cara dilarung ke laut atau yang dikenal dengan nama larung ari-ari bayi (jabang bayi).
Tradisi pelarungan ari-ari ini tidak diketahui dengan jelas sejak kapan telah dilakukan oleh masyarakat Kota Surabaya. Namun, diyakini dalam masyarakat tradisi, larung ari-ari tersebut sudah menjadi kebudayaan atau tradisi turun-temurun dari leluhur sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini kemungkinan dikarenakan Kota Surabaya yang berlokasi dengan dengan area pesisir lautan, sehingga terciptanya tradisi larung ari-ari tersebut.
Dalam tradisi pelarungan ari-ari bayi, umumnya dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah bayi tersebut dilahirkan. Hal ini dikarenakan agar ari-ari atau jabang bayi tersebut tidak membusuk. Selain itu, umumnya hal tersebut dilakukan oleh sang ayah bayi dalam segala proses pelarungannya.
Proses Pelarungan Ari-Ari
Dalam prosesnya ari-ari tersebut diperlakukan secara tersendiri. Hal ini dikarenakan dalam kebudayaan masyarakat Jawa kuno, ari-ari dipercaya sebagai saudara dari sang bayi atau kembaran sehingga harus diperlakukan layaknya seorang manusia. Sebelum dilarung, ari-ari tersebut akan dibersihkan dengan air mengalir serta sabun dan dicuci hingga bersih. Namun, dalam proses pembersihan ini tidak boleh diperlakukan dengan kasar karena anggapan bahwa ari-ari tersebut adalah kembarang si bayi.
Setelah ari-ari bersih dari sisa noda darah dan beragam kotoran lainnya, kemudian ari-ari bayi tersebut akan dimasukkan ke dalam sebuah wadah. Umumnya wadah tersebut adalah sebuah pot kendi yang terbuat dari tanah liat. Hal ini dilambangkan sebagai “rumah baru” bagi ari-ari tersebut. Dalam kendi tersebut juga terdapat beberapa kelengkapan lainnya yang dipercaya memiliki makna tersendiri.
Baca juga: Syekh Siti Jenar dan Ide Sebuah Masyarakat
Beberapa kelengkapan tersebut seperti kembang telon atau kembang tujuh rupa, beragam alat tulis seperti pensil dan buku, jarum dan benang serta beberapam potongan ayat suci Al-Qur’an. Untuk potongan ayat suci Al-Qur’an tersebut umumnya menyesuaikan dengan kepercayaan yang dianut masyarakat atau orang tua bayi tersebut. Kemudian ada pula garam kasar yang juga dimasukkan ke dalam wadah kendi tersebut sebelum akhirnya ditutup dengan kain putih.
Lazimnya juga setelah prosesi ruwatan atau perlakuan terhadap ari-ari tersebut selesai, maka sang ayah akan mengadzani ari-ari tersebut sebelum dilarung ke laut. Dalam perjalanan menuju tempat pelarungan umumnya juga akan diiringi dengan dengan lagu-lagu Jawa atau tembang Macapat Dandhang Gulo. Umumnya nyanyian Jawa tersebut dilakukan oleh kakek si bayi.
Sesampainya di lokasi pelarungan, adapula beberapa hal yang juga dilakukan sebelum melarung ari-ari tersebut. Salah satunya yakni melakukan pembacaan doa serta menabur bunga di lokasi pelarugan tersebut. Kendi yang berisi ari-ari tersebut juga tidak boleh dilempar ke laut, jadi sang ayah harus membungkuk dan meletakkan kendi tersebut ke air dan dibiarkan terbawa arus.
Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan bahwa apabila kendi yang berisi ari-ari tersebut dilempar maka akan menyebabkan si bayi yang berada di rumah menjadi kaget. Pelarungan ari-ari ke lautan ini memiliki makna dan doa tersendiri agar si bayi memiliki pemahaman dan ilmu yang luas di kemudian hari seperti luasnya lautan. Lalu adapula dengan melarung maka akan diharapkan si bayi kelak akan kuat menghadapi gelombang kehidupan di kemudian hari.
Setelah proses pelarungan selesai maka akan ditutup dengan acara doa bersama sekaligus acara tumpengan sebagai bentuk syukur atas kelahiran bayi tersebut. Umumnya tumpeng yang berisi nasi kuning dan beragam lauk pauk tersebut akan dimakan bersama keluarga dan tetangga sekitar.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Salman Al Farisi