Mendengar Suara Hati Masyarakat Desa saat Mengikuti KKN di Temanggung – Tanpa menunggu seseorang untuk menjabat sebagai anggota dewan, menteri agama atau pengangguran sekalipun, setiap orang pasti memiliki momen-momen penting dalam hidupnya. Kilas pandang seseorang dalam hidup yang singkat dapat disadari dari betapa banyaknya sudah usia Anda saat ini, dan betapa berharganya pengalaman anda apapun yang pernah terjadi. Salah satu cara yang paling baik menurut saya, ialah belajar dari pengalaman-pengalaman itu, sebagai riset atau referensi bahwa hidup kita bukan sekadar karangan alur belaka.
Bagi sidang pembaca yang berbahagia dimanapun berada. Tulisan ini sekadar ulasan tentang ingatan tentang pengalaman yang terjadi dalam hidup saya, terutama menjalani hidup sebagai seorang mahasiswa yang rutinitasnya begitu-begitu saja. Beruntungnya mereka yang sempat merasakan ibadah KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang bukan di rumah sendiri tentunya. Maka ia akan mengalami romantisme hidup dan mengenali lingkungan tempat ia ber-KKN itu.
Baca juga: Seputar Relevansi KKN Mahasiswa hingga Kehidupan Petani Tembakau Desa Canggal
Setidaknya sekitar dua pertiga pengalaman kuliah bolehlah dikatakan sebagai kegiatan akademis, aktivis, maupun himpunan relasi dengan berbagai kultur di dalamnya. Tapi pernahkah kawan bercengkrama bersama masyarakat yang dari subuh hingga sore sibuk menanam tapi sering memanen lelahnya sendiri, atau masyarakat yang bangun pagi bergotong-royong membangun jalan yang longsor, lalu beramah-tamah dengan sesama, dan begitu banyak kesederhanaan yang mungkin jarang kawan jumpai bahkan di desa sendiri.
Cobalah kawan pergi ke sana, ke tepi Kabupaten Temanggung, Desa Canggal, yang orang-orang di sana selalu berkata pada kami, “Datang sebagai tamu, pulang sebagai saudara.” Tepat berbulan-bulan lalu, kurasakan bahwa KKN bukan hanya membentuk kegiatan program kerja, melainkan pula membentuk rasa syukur saya dan kawan kelompok yang terlalu pemula untuk belajar kehidupan yang sesungguhnya. Tepat sewaktu minggu terakhir masa KKN usai, kami sempat mewawancarai beberapa masyarakat secara acak dan kami menemukan percakapan yang keluar tanpa maksud apa-apa selain keikhlasan.
Kami menemui beberapa orang petani yang sedang menyirami bibit tembakau, kami meminta ijin dan melakukan wawancara singkat mengenai keadaan mereka sesungguhnya. Hasilnya, kami juga tidak tahu cara menanggapi harga tembakau yang makin merosot sementara bagi perokok aktif seperti kami, kiranya harga rorkok selalu naik hingga pajak cukai menempati pajak terbesar di negara ini. Kami pun tidak tahu bagaimana merespon rumitnya jalur perdagangan antara petani tembakau, tengkulak dan pabrik rokok yang berantai-rantai jauh, hingga keputusan pedih harus diambil petani dengan mengonsumsi tembakau itu sendiri, daripada mengalami kerugian yang menyakitkan.
Akan tetapi Tuhan begitu adil, Dia menitipkan alam yang makmur, tanah yang subur dan hati yang tabah pada mereka. Bagaimana tidak, sempat saya melesatkan kata-kata penutup sebagai pertanyaan akhir, “Bagaimana harapan bapak terkait nasib petani tembakau yang dirugikan oleh harga yang menurun?”
Tanpa kepentingan apa-apa dan kesadaran yang maksimal mereka menjawab, “Kami ikut yang di atas (pemerintah maskdunya) saja mas, Saya hanya ingin kalau hasil tembakau bagus, harga juga harusnya bagus”. Jawaban yang sangat rasional tanpa menuntut apapun, rasanya mereka lebih adil dan akademis dari orang yang adil dan akademis di atas mereka (pemerintah maksudnya). Keseimbangan antara hasil dan harga menjadi bentuk normal dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian itu.
Hari terakhir kalau tidak salah, kami mewawancarai Pak Bakir, seorang ketua kelompok tani Dusun Gunung Wuluh, Desa Canggal. Aku ingat betul ketika kami telah mewawancarai beliau, memetik kopi dan berbincang-bincang lama, akhirnya kami pamit dari kebun. Berjalan agak jauh sekitar lima meter lalu Pak Bakir menaruh cangkulnya, badannya yang kurus kering begitu kokoh mencangkul, kaosnya yang polos masih penuh bekas tanah, matanya yang sayu menatap kami lalu melambaikan tangannya dan berkata, “Mas kalau sudah sukses jangan lupa ke sini lagi ya.”
Kalimat itu begitu dalam, aku duduk tak jauh dari sana seakan tidak kuat menahan tubuh sendiri. Kunikmati pemandangan sawah, duduk di sana sambil menggelinting tembakau Temanggung yang enak namun dimurahkan, menikmatinya dengan membayangkan, apakah kata-kata itu muncul seperti bualan para pejabat sebelum pemilu? Tentu bukan. Apakah itu kalimat indah pidato seorang capres sebelum mencalonkan diri? Apalagi itu. Dan apakah itu kalimat orang yang punya kepentingan, mencari keuntungan atau popularitas tertentu? Tentu bukan itu.
Kalimat yang mengandung keikhlasan dan doa itu tak muncul dari apapun kecuali reflek dari orang-orang baik hati yang peduli pada kami. Pak Bakir tentu tidak punya kepentingan apapun untuk mengatakan itu dan tak berharap apapun dari doa itu. Kalimat itu selalu tertulis dalam ingatanku, sebagai kalimat dari seorang petani yang ada di Desa Canggal. Aku merekam kata-kata itu dan tidak akan pernah lupa. Seperti tulisan, suara yang berasal dari hati akan sampai ke hati, dan saya merasakan itu.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Salman Al Farisi