Tiga Hikmah yang Dapat Kita Teladani dari Kisah Ashabul Kahfi – Beberapa hari lalu saya membaca dengan hatam novel Ashabul Kahfi karya Muhammad El Natsir (semoga amal jariah mengalir pada beliau atas kemanfaatan tulisan-tulisannya). Saya terbayang tentang betapa sombong seseorang bernama Diqyanius yang menguasai secara paksa Kota Ephesus, tempat para Ashabul Kahfi dulunya hidup makmur di bawah ajaran Nabi Isa a.s.
Kota Ephesus kemudian menjadi kota yang buruk akhlak dan tauhid, karena para rakyat dipaksa menyembah sang Raja Diqyanius atau mati disiksa pihak kerajaan. Pilihan yang sangat sulit, membuat enam pemuda pengawal raja itu hanya berpura-pura ikut menyembahnya. Padahal di balik layar mereka sedang merencanakan pemberontakan untuk melawan kezaliman dan mengajak rakyat kembali ke ajaran Nabi Isa yaitu menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan analogi yang sederhana, “Kalau Diqyanius mengaku Tuhan, kenapa ia makan dan minum seperti manusia, kenapa ia bertingkah dan memiliki kebutuhan layaknya manusia, dan tidak mungkin ia menciptakan sesuatu sementara dirinya dulu juga tidak ada/belum ada”. Singkat cerita, keenam pemuda itu melarikan diri dari Ephesus demi menyelamatkan iman, dalam perjalanan mereka bertemu seorang penggembala dan anjing bernama Khitmir yang bisa berbicara atas rahmat Tuhan.
Baca juga: Persoalan Politik: Penyebab Munculnya Aliran atau Sekte dalam Islam
Mereka bertujuh dengan seekor anjing itu bersembunyi di goa (beberapa sumber menyebut berada di Yordania, Turki, Suriah, dsb) dan dari luar pasukan Diqyanius sudah menimbun muka gua dengan bahan pengeras bangunan yang bertujuan untuk menyiksa mereka. Di dalam goa mereka tertidur selama 309 tahun. Kemudian ketika bangun mereka berdoa untuk dijemput ajalnya saat Raja Abdurrahman serta masyarakat luas mengetahui jati diri mereka.
Syahdan, dari cerita tersebut ada beberapa hal yang dapat saya teladani dari keterbatasan kapasitas saya dibanding para Ashabul Kahfi.
Pertama, jika mereka dijadikan Allah Swt “tidur” untuk menyelamatkan iman dan menunjukkan kuasa Tuhan. Maka sebaliknya dengan sengaja saya memanfaatkan “tidur” sebagai salah satu cara berleha-leha untuk membuang-buang waktu saya sendiri.
Saya sangat sadar dan tahu, bahwa dalam Islam sudah dijelaskan beberapa hal yang kurang baik seperti tidur setelah subuh, setelah ashar, setelah maghrib dan setelah makan, namun lagi-lagi dengan sadar dan tahu saya rutin khilaf melakukannya.
Kedua, membaca Ashabul Kahfi secara kontekstual membuat saya selalu berpikir bahwa “menyendiri” atau menjauhi hal-hal yang dilakukan orang banyak (jika salah atau tidak sesuai kebenaran diri kita) juga perlu kita lakukan.
Secara jauh, hal itu menjadi obat untuk diri kita pribadi agar tak menjadi orang yang terbawa “arus” kehidupan dan melakukan sesuatu tidak dengan taklid buta atau ikut-ikutan orang saja. Emha Ainun Najib atau Cak Nun pernah menjelaskan bahwa, “Hidup itu melawan arus, hanya sampah dan ikan mati yang ikut arus”.
Demikian yang saya baca dan temukan dalam cerita Ashabul Kahfi, mereka adalah orang-orang yang tak pernah ikut arus sosial atau kontrol luar terhadap diri mereka, demi menyelamatkan diri dari pengaruh buruk atau sesuatu yang tak menjadikannya sampai pada kebaikan dan kebenaran.
Ketiga, di akhir cerita para Ashabul Kahfi dibangunkan dari tidurnya oleh Allah Swt setelah 309 tahun. Saat itu Ephesus dipimpin Raja Abdurrahman yang bijaksana dan masyarakat Ephesus pun sudah kembali ke ajaran Nabi Isa a.s. Mengetahui kisah mereka dan dibuktikan sendiri dengan melihat uang dari ratusan tahun yang lalu, mereka dieluh-eluhkan dan dimintai berkah oleh masyarakat. Namun dengan bijak Thamlika (salah satu Ashabul Kahfi) menjawab, “Saya manusia biasa seperti kalian, kejadian yang kami alami bukan karena kemampuan kami, namun kuasa Allah Swt.”
Ketika di tarik kasus dan cerita akhir mereka, dalam bahasa kini mereka tak mau menjadi orang yang “viral”. Mereka takut akan menjadi orang-orang yang dimuliakan dan terlena olehnya. Maka mereka kemudian bersepakat untuk berdoa kepada Allah agar segera mengambil ajal mereka di goa tempat mereka tidur, tanpa menemui Raja Abdurrahman dan masyarakat yang menunggu mereka di luar goa.
Akhir yang sangat menampar diri saya sendiri. Dimana sebagai manusia pada umumnya, terkadang terselip perasaan ingin dipuji dan diberi perhatian lebih dari yang lain. Menjadi terkenal/viral adalah kenikmatan yang sedang dicari-cari abad ini. Bahkan dengan cara memotong urat malu sekalipun.
Sekali lagi, saya ingatkan kepada diri saya sendiri. Bahwa saya tak akan pernah mampu disandingkan dengan kapasitas para Ashabul Kahfi dalam hal apapun, akan tetapi saya menjadikannya kisah teladan untuk menyindir diri saya sendiri. Sebisa mungkin saya menumbuhkan motivasi dari hal-hal yang baik dengan cara saya sendiri, kisah Ashabul Kahfi ini salah satunya.
Semoga dapat kita petik hikmah dan kesadaran dalam cerita Ashabul Kahfi, bukan hanya sebagai manusia yang ahli tidur, ikut-ikutan tren dan ingin viral. Dengan menyindir diri saya sendiri, saya tidak akan sakit hati.
Editor SEO: Daliana Fehabutar
Illustrator: Salman Al Farisi