Kenapa Perempuan Selalu Menomorduakan Pendidikan?

Kenapa Perempuan Selalu Menomorduakan Pendidikan

“Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh, akan di dapur juga, jadi ibu rumah tangga.”

Kalian pasti pernah mendengar diskriminasi ini. 

Padahal, setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan tanpa ada pembedaan antara laki-laki ataupun perempuan. Akan tetapi, nyatanya, di zaman serba modern ini tidak sedikit perempuan-perempuan yang mengalami marginalisasi ataupun pembatasan. Sehingga, untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki, perempuan harus memperjuangkan lebih. 

Mau setinggi apa pun pendidikan laki-laki, tidak masalah. Akan tetapi, perempuan seolah harus mempertimbangkan berkali-kali untuk melanjutkan pendidikan. Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat tertentu dan tidak jarang. Alasannya karena tidak adanya keadilan gender. Akan tetapi, apakah gender itu?

Gender berbeda dengan Seks

Seks merupakan dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, baik bagi laki-laki dan perempuan. 

Manusia dengan jenis kelamin laki-laki memiliki penis dan memproduksi sperma, sedangkan manusia dengan jenis kelamin perempuan memiliki vagina dan rahim. Artinya, jenis kelamin itu kodrat Tuhan yang tidak bisa saling dimiliki oleh laki-laki dan perempuan sekaligus. 

Sedangkan gender berbeda dengan seks. Gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Itu dibentuk oleh masyarakat atau konstruksi sosial. Perempuan bersifat emosional dan keibuan, sedangkan laki-laki bersifat rasional dan kuat. 

Hal tersebut bukanlah hal yang alamiah dan bukan kodrat Tuhan karena sifat yang dikonstruksi tersebut dapat ditukarkan. Artinya, sifat-sifat itu sama-sama bisa dimiliki oleh perempuan maupun laki-laki. Perempuan bisa rasional dan laki-laki bisa juga emosional. Jadi menjadi ibu rumah tangga bukanlah kodrat (Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial).

Gender bukanlah hal yang sifatnya biologis dan pada umumnya lebih ke peranan laki-laki dan perempuan dalam menentukan hidupnya. Akan tetapi, dari waktu ke waktu, ketidakadilan gender terjadi dan seperti hal yang biasa. Makanya, tidak heran kalau perempuan selalu menomorduakan pendidikan. Ketidakadilan gender yang nyata ini disebabkan oleh stereotip dan budaya patriarki.

Ketidakadilan disebabkan oleh Stereotip dan Budaya patriarki

Setelah memahami makna gender yang sebenarnya kita jadi tahu bahwa diskriminasi yang terjadi terhadap perempuan disebabkan oleh konstruksi sosial yang kemudian memunculkan stereotip dan budaya patriarki. 

Stereotip sendiri merupakan sebuah pelabelan atau asumsi negatif terhadap perempuan, yang berlaku hampir di seluruh masyarakat Indonesia. Banyak sekali stereotip yang melekat terhadap perempuan. Contoh kecil yang sering kita dengar yaitu pernyataan bahwa perempuan harus pintar memasak. Memangnya kenapa jika perempuan tidak pintar memasak? Toh, laki-laki juga bisa memiliki kepandaian dalam memasak, karena memasak itu sendiri bukanlah kodrat yang harus dimiliki setiap perempuan. Akan tetapi, stereotip ini menjadi standarisasi terhadap perempuan.

Tidak jauh beda dengan pembahasan awal bahwa pendidikan tidak penting untuk perempuan,stereotip ini muncul dan dilanggengkan dalam masyarakat. Padahal, tidak masalah jika perempuan memiliki standar pendidikan yang sama dengan laki-laki. Karena pendidikan itu untuk semua orang. Padahal, polarisasi perempuan yang berpendidikan dan yang tidak tentunya akan berbeda dalam menciptakan generasi.

Sebenarnya, stereotip itu lahir dari budaya patriarki yang selalu mengunggulkan laki-laki dibanding perempuan. Seolah perempuan merupakan beban dan hidup bergantung terhadap laki-laki. 

Budaya patriarki juga disebabkan oleh penafsiran agama yang mewajibkan perempuan taat terhadap laki-laki (suami). Ini kemudian dijadikan acuan oleh masyarakat bahwa standarisasi perempuan yang baik adalah yang taat terhadap suaminya, misalnya. Nyatanya, setiap perempuan bisa berdaya dengan pilihannya sendiri tanpa ada pembatasan. Agar tidak menyalahi kepatuhan terhadap suami, akan lebih baik jika jauh sebelumnya suami dan istri membuat kesepakatan-kesepakatan yang tidak akan saling merugikan.

Editor: Widya Kartikasari
Illustrator: Salman Al Farisi

Bagikan di:

Artikel dari Penulis