Pembelaan Saya untuk Jomblo yang Dibilang Buaya – Jomblo dan buaya itu kontradiktif, tapi memang seperti itu faktanya. Saya, yang saat ini memutuskan menikmati hidup sendiri, single, enggak pacaran alias jomblo dibilang buaya oleh teman saya. Naasnya, beberapa teman yang lain turut mengamini. Makin ke sini saya makin sadar, ternyata beberapa jomblowati lain juga kerap mendapat label buaya. Lah yo ndadak bingung to aku.
Alih-alih memikirkan kenapa dibilang seperti itu, awalnya saya justru tertarik terlebih dahulu dengan pilihan kata buaya ini. Maksudnya, kok bisa buaya gitu loh, padahal masih banyak pilihan lain. Bisa biawak, komodo, ayam, kucing atau curut sekalian. Siapa yang mulai, hah?
Julukan buaya ini biasanya disematkan pada laki-laki yang sudah punya pasangan tapi mendekati banyak perempuan sekaligus. Padahal kan sifat asli buaya setia sama pasangannya, dia enggak mungkin ganti pasangan atau nambah, bahkan ketika ditinggal mati pasangannya. Nggak percaya? Tanya buayanya!
Logika simpelnya gini deh, masak iya orang Betawi mau kasih seserahan roti buaya yang menyimbolkan ketidaksetiaan ke mempelai wanita? enggak mungkin banget! Tapi yasudahlah, susah ngelurusin pandangan umum yang sudah mematen gitu. Biar saja mereka melabeli demikian walaupun dalam hati saya, kasihan sekali buaya-buaya itu. Mereka terzalimi, maaf ya buaya (emot sedih).
Saking ngehitnya label buaya ini, sekarang buaya memiliki varian lain. Jika dulu label itu khusus laki-laki, sekarang perempuan juga kebagian jatah loh. Yess, varian buaya itu adalah buaya betina. Seperti yang teman saya sematkan kepada saya tadi.
Setelah dipikir-pikir, saya jadi merasa heran dengan ocehan teman saya itu.
“Buaya dari mana maksudmu? Katanya buaya tuh yang udah punya pasangan? Nah saya sendiri kan Jomblo, pacaran juga enggak, kok bisa dibilang buaya?” sanggah saya yang nggak mau kalah nyerocos dari teman saya.
Dia pun tarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan kemudian memulai ceramahnya. Tentu dengan posisi berdiri, berkacak pinggang sambil sesekali mengacungkan jari telunjuknya ke saya, tidak lupa juga intonasi bicaranya agak tinggi. Maklum, teman saya ini memang mudah tersulut sumbunya kalau lawan bicara enggak mudengan kayak saya.
Ternyata, alasan dia melabeli saya buaya betina tak lain disebabkan karena kebiasaan saya jalan dengan banyak cowok. Maksudnya, hari ini saya jalan sama si itu dan besoknya saya nongkrong sama si anu. Kemarin kondangan bareng si rambut jambul, lusanya beli seblak sama rambut cepak. Dalam kacamatanya, perilaku saya ini tak ubahnya seperti laki-laki buaya. Caplok sana caplok sini, jalan sama ini hayuk jalan sama itu oke. Jadilah saya dilabeli buaya betina.
Apakah salah ya kalau saya gonta-ganti teman? Saya bilang teman loh ya bukan pasangan. Faktanya definisi pasangan juga beda-beda. Ada yang bilang pasangan berarti pacar, atau sekadar pasangan di kondangan saja. Tapi kan sah-sah saja wong saya enggak punya komitmen dengan orang lain buat jalan sama dia saja. Toh, kalo saya punya komitmen dengan orang lain pun, itu urusan saya dengan dia seorang. Hadehh.
Biar saya luruskan ya, justru karena saya ini jomblo saya jadi punya kebebasan memilih teman. Saya nggak perlu repot-repot ijin pacar, keluar diam-diam terus takut ketahuan, atau dikira selingkuh dan sebagainya. Malah sebenarnya itu salah satu alasan saya enggak pacaran. Dibanding punya pacar yang posesifnya minta ampun dan toxic sekali, jomblo lebih merdeka.
Perihal kebiasaan saya ganti “pasangan” ini sebenarnya juga cara saya mempererat hubungan dengan teman. Enggak mengarah ke pacaran, pure teman gitu loh. Beberapa alasan juga mengharuskan saya jalan berdua saja, punya projek bareng atau ingin berkeluh masalah pribadi misalnya. Ah, masak hal ginian selalu dikaitkan dengan pedekate. Plis deh.
Kalaupun saya makan dan kondangan dengan cowok yang berbeda juga, memang kenapa? Masak orang lapar dilarang makan. Dibanding ke kondangan sendirian, nggak tahu alamatnya karena bingung baca maps (uhuk!), mending bareng sama yang lagi cari teman juga. Lumayan kan menghemat waktu dan tenaga kalau salah baca peta. Enggak perlu ada ritual nyasar-nyasar segala. Hemat bensin dan polusi pula misal kami memutuskan boncengan. Yang paling penting nih, saya jadi enggak plonga-plongo di kondangan. Ada teman ngobrol yang saya kenal betul orangnya.
Alasan yang lain, kalau mau dihitung pakai jari nih, teman dekat saya justru lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan. Circle pertemanan seperti ini yang bikin saya mau enggak mau lebih sering jalan sama laki-laki yang berbeda dibanding dengan perempuan. Aku kasih rahasia juga ya, biasanya jalan bareng teman laki-laki enggak begitu ribet dibanding perempuan. Mereka enggak perlu touch up berkali-kali, ya walaupun sesekali tetap ghibahin orang lewat juga. Ah, alasan segitu enggak mungkin cukup buat orang yang hobi ngurusin hidup orang lain. Mulut teman memang sesekali kayak mulut tetangga. Mending sungkem sama buaya dulu deh, dibanding melabeli buaya ke orang lain seenaknya. Huft!