“Hah? Riset? Ini mau bikin novel apa jurnal ilmiah sih?”
Mungkin bagi sebagian orang, tulisan fiksi seperti puisi, cerpen, dan novel hanya berisi imajinasi sang penulis. Sementara riset biasanya diidentikkan dengan tulisan nonfiksi, terutama tulisan-tulisan yang bersifat ilmiah dan akademik. Kalau kamu masih berpikir demikian, tidak apa-apa, karena saya dulu juga berpikir seperti itu. Nah, lewat artikel ini, mari kita luruskan kesalahpahaman soal riset dalam menulis, terutama tulisan fiksi.
Pertengahan November lalu, saya mengikuti webinar kepenulisan dengan Dee Lestari sebagai pembicara. Dalam webinar tersebut, penulis yang novel-novelnya kerap menjadi best seller itu mengatakan bahwa meski tulisan bergenre fiksi, ia tetap membutuhkan riset dan harus logis. Nah loh, kan tulisan fiksi mengandalkan imajinasi, kok harus riset dan logis? Bagaimana maksudnya?
Baca juga: Perbedaan Karya Tulis Fiksi dan Nonfiksi
Baiklah, saya jelaskan saja dengan beberapa contoh agar kamu lebih mudah memahaminya.
Katakanlah suatu ketika kamu ingin menulis novel, cerpen, cerita bersambung (cerbung), cerita anak (cernak) dan semacanya. Kamu ingin menggunakan latar waktu dan tempat di Jakarta abad ke-20, tepatnya era kolonial Belanda. Tidak mungkin bukan kamu menggambarkan Jakarta abad ke-20 dengan kondisi sekarang yang macetnya naudzubillah, banyak pusat perbelanjaan, kafe, dan taman-taman kota atau tempat nongkrong anak muda yang aesthetic dan instagramable?
Jakarta pada masa itu saja namanya masih Batavia. Alih-alih kafe kekinian, anak-anak muda terpelajar, orang-orang Eropa kelas atas, nongkrongnya di Gedung Societeit de Harmonie.
Untuk dapat menggambarkan latar waktu dan tempat dengan tepat, tentu butuh riset. Karena kamu belum lahir di tahun itu, bahkan direncanakan lahir saja belum, kamu bisa baca buku-buku sejarah, novel sejarah, menonton film berlatar belakang peristiwa bersejarah, atau mewawancarai ahli dan pelaku sejarah yang masih hidup.
Meski cerita fiksi, informasi yang berkaitan dengan sejarah tentu harus sesuai dengan situasi dan kondisi kehidupan pada masa itu. Kan jadi tidak masuk akal kalau kamu pakai latar waktu abad ke-20 tapi gambaran kehidupan masyarakatnya abad ke-21.
Contoh lain ketika kamu ingin menciptakan tokoh yang bersuku, beretnis, beragama, atau berlatar belakang sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda dengan kamu. Misalnya, kamu ingin menciptakan tokoh utama seorang keturunan Tionghoa di Indonesia yang masih erat memegang teguh filosofi hidup dan tradisi leluhurnya.
Baca juga: Cara Jitu Membuat Pembaca Jatuh Cinta pada Tokoh Ceritamu
Kalau kamu bukan seseorang yang beretnis Tionghoa, kamu harus melakukan riset untuk mendapatkan informasi dan gambaran yang tepat tentang karakter, kebiasaan, tradisi, budaya, dan filosofi hidup mereka. Jangan sampai kamu hanya mengandalkan “katanya orang” yang belum tentu valid.
Bagi saya, fiksi bisa jadi medium untuk memberi pengetahuan pada pembaca tanpa menggurui. Tanpa riset, penggambaran masyarakat dari suku, etnis, agama, atau latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi tertentu dalam ceritamu bakal ngawur dan malah makin melanggengkan stereotipe.
Sama halnya ketika kamu ingin menciptakan tokoh penyandang disabilitas tunanetra, misalnya. Kalau kamu bukan tunanetra, kamu harus riset tentang bagaimana mereka menjalani aktivitas harian, stigma apa yang kerap diterima dari lingkungan, kesulitan apa yang sering ditemui, bagaimana mengatasi kesulitan tersebut, dan sebagainya. Jangan sampai tulisanmu malah mengolok-olok dan melanggengkan stereotipe penyandang disabilitas.
Riset untuk tulisan fiksi juga penting ketika kamu ingin menceritakan kehidupan tokoh dengan profesi tertentu. Misalnya, kamu ingin membuat tokoh dalam ceritamu berprofesi sebagai penari. Kalau kamu bukan penari, bagaimana kamu akan tahu seluk-beluk profesi penari kalau tidak melakukan riset?
Riset untuk karya fiksi tidak melulu dari tulisan fiksi juga. Sumbernya bisa dari berita, laporan penelitian, artikel ilmiah populer, dan sebagainya.
Tahu novel legendaris Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia? Salah satu inspirasi novel tersebut adalah dari tugas kliping mahasiswanya saat ia menjadi pengajar di Universitas Res Publica (sekarang bernama Universitas Trisakti).
Saking niatnya, seringkali seorang penulis menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk riset. Cho Nam Joo, penulis novel Kim Ji-Yeong, Born 1982, membutuhkan waktu tujuh tahun untuk riset dan menulis novel Saha Mansion. Hal ini bisa dipahami mengingat inspirasi novelnya yang bersumber dari kebijakan negara yang ia tinggali (Korea Selatan) hingga negara di Federasi Rusia.
Oiya, memang tidak bisa ya, kalau hanya mengandalkan pengalaman pribadi sebagai referensi penulisan cerita?
Bisa sih. Namun, dengan riset, tulisan akan tampil lebih meyakinkan. Coba deh, pernah tidak kamu baca novel yang bersumber dari kisah nyata, yang saking kerennya kamu sampai berpikir kalau itu adalah pengalaman pribadi penulisnya?
Kemungkinan kalau cerita itu bersumber dari pengalaman pribadi tetap ada. Kemungkinan yang kedua, itu adalah pengalaman orang lain yang dia ceritakan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga tampak seperti pengalaman pribadi.
Bagaimana? Masihkah kamu berpikir bahwa tulisan fiksi tidak butuh riset?
Editor: Firmansah Surya Khoir
Visual Designer: Al Afghani