Perihal Memilih Kebebasan

Perihal Memilih Kebebasan

Perihal Memilih Kebebasan – Apa yang akan dilakukan oleh sepasang pengantin baru selepas acara pernikahan mereka? Bagaimana kalau itu adalah mengkhatamkan cerita Alice’s Adventures in The Wonderland? Terdengar aneh. Tapi itulah yang dilakukan Alamanda dalam cerpen berjudul Dongeng Sebelum Bercinta karya Eka Kurniawan.

“Kita tak akan bercinta sebelum dongengku selesai,” ujar Alamanda pada suaminya. Naasnya, dongeng itu belum selesai hingga sebulan lebih lamanya. Kita kesampingkan dulu bagaimana perasaan sang suami yang sangat ingin bercinta namun dongeng tak kunjung selesai. Mari kita melihat pergolakan yang dialami oleh Alamanda.

Sebagai perempuan yang menjalani pernikahan dengan terpaksa dan tanpa rasa. Sebagai perempuan yang mendambakan kebebasan. Sebagai perempuan yang masih bertanya-tanya kenapa ia tak kuasa menolak perintah ayahnya untuk menikahi suami yang tidak dicintainya tersebut. Suatu hal yang cukup sering terjadi dimana-mana.

Baca juga: Generalisasi Seksis di Balik Ungkapan “Perempuan Selalu Benar”

Bahkan bukan dalam hal pernikahan saja. Manusia sering tidak bebas dalam melakukan sesuatu. Ingin berkuliah namun terkendala biaya. Seks bebas yang dilarang agama. Bahkan untuk melupakan orang yang telah memberi luka, manusia terkadang tak kuasa. Banyak kehendak kita lebih sering bersebrangan dengan realita.

Ketidakbebasan memang memuakkan. Maka dalam sejarah, banyak lahir upaya pembebasan yang diusahakan di mana-mana.

Nabi Musa membimbing Bani Israil untuk terbebas dari kekejaman Fir’aun. Revolusi Prancis yang menggulingkan monarki. Feminisme berusaha membebaskan masyarakat modern dari budaya patriarki. Muhammadiyah di abad-20 ingin membebaskan masyarakat Indonesia dari kebodohan, kemiskinan, dan penyakit. Paulo Freire menyuarakan pendidikan pembebasan.

Dunia seakan adalah pertarungan antara ketidakbebasan melawan kebebasan. Namun haruskah kita berpikir bahwa kebebasan sepenuhnya baik dan ketidakbebasan sepenuhnya buruk?

Untuk menjawabnya, mari kita membayangkan sebuah dunia berisikan seluruh individu yang memiliki kebebasan absolut.

Tentunya sulit untuk dibayangkan bukan? Karena hal itu akan memunculkan sebuah kontradiksi. Kebebasan bagi satu pihak, akan menjadi ketidakbebasan untuk pihak yang lain.

Itulah mengapa Nabi Musa, masyarakat Prancis, aktivis feminisme, pendiri Muhammadiyah, maupun Paolo Freire melakukan upaya pembebasan. Mereka berusaha menggugat struktur kehidupan untuk menghapuskan “kebebasan” semena-mena yang dilakukan pihak lain.

Maka saat membahas kebebasan, harus diletakkan pada konteks tentang bagaimana kebebasan individu itu tidak merenggut kebebasan individu lainnya.

Untuk menentukan porsi kebebasan individu yang tidak boleh dicampuri orang lain bukan perkara yang mudah. Inilah mengapa pertanyaan tentang sejauh mana individu bebas atas pilihannya menjadi perdebatan yang sudah berlangsung sangat lama.

Lantas bagaimana menjawabnya? Maka, pengetahuan kita menjadi sebuah kata kunci di sini. Upaya-upaya pembebasan tadi, lahir dari pengetahuan yang mendalam dari apa yang mereka suarakan. Pengetahuan kita akan menuntun lahirnya keinginan terbebas dari sebuah cengkraman. 

Namun apakah berarti ketidakbebasan sepenuhnya buruk? Nyatanya tidak juga. Karena meskipun kita memang memerlukan kebebasan untuk memilih apa yang diyakini baik bagi diri sendiri. Tapi kita juga memerlukan sebuah sistem, aturan, norma, dan sebagainya untuk ditaati bersama. Dengan kata lain, kita juga memerlukan ketidakbebasan untuk menjadi bagian dari hidup kita.

Bagaimana mungkin kita bisa menikmati pertandingan sepak bola tanpa sebuah aturan di dalamnya? Manusia bisa lebih tenang menjalankan pernikahan saat ada nilai-nilai agama yang dipercayai dan disepakati bersama, dan tentunya nilai itu mengikat. Menjalankan bisnispun lebih tenang saat ada kepastian hukum yang melindungi. Hukum itu mengikat bukan?

Diikat oleh aturan yang membatasi menjadi tak bisa dihindari karena kita memang membutuhkannya. Ketidakbebasan maupun kebebasan, ternyata keduanya kita perlukan untuk menjalani hidup. 

Maka, bukankah lebih baik jika kita mempercayai bahwa satu-satunya kebebasan kita adalah untuk memilih. Lantas, setiap pilihan itu akan melahirkan sebuah konsekuensi yang harus ditanggung. Konsekuensi ini tentunya akan membawa kita pada ketidakbebasan yang baru.

Baca juga: Mereka yang Dinamakan Cinta Sakral

Namun ketidakbebasan inilah yang akan dijalani dengan sepenuh hati. Karena ketidakbebasan ini lahir dari pilihan sadar kita yang bebas. Kita memilihnya sebagai manusia yang merdeka, untuk menentukan kepada apa dan siapa kita terikat.

Untuk memilih itu semua. Kita jelas memerlukan banyak sekali pengetahuan. Ini amat penting. Karena ketidakbahagiaan manusia terkadang lahir dari kegagalan dalam membuat pilihan karena ketidaktahuan itu sendiri.

Dalam cerita Alamanda di atas tadi. Sang suami mengetahui bahwa Alamanda tidak mencintainya sedari awal. Ia jelas memiliki pilihan bebas untuk menuruti isi perasaannya atau memilih perempuan lain yang mencintainya.

Jangan-jangan ketika ia jatuh cinta dengan Alamanda, lalu tak bisa berhenti memikirkan sosok gadis cantik itu. Ia lantas menganggap bahwa hal itu adalah bukti dari perasaannya yang kuat.

Apakah setiap perasaan yang seperti itu berarti harus dilanjutkan ke jenjang pernikahan? Saya tidak tahu apakah sang suami pernah mempelajari neurosains apa tidak. Karena hal itu sebenarnya wajar pada proses jatuh cinta seorang laki-laki. Sekitar 85% waktu terjaga dari tidur akan selalu memikirkan orang yang dicintainya.

Hal ini disebabkan oleh aktivitas otak manusia. Ada semacam hormon yang membuatnya demikian. Jadi, sebenarnya laki-laki sendiri tidak mampu terbebas dari memikirkan orang yang ia cintai. Ia tidak bisa melawannya meskipun sangat ingin. Hal ini akan berulang di setiap proses jatuh cinta kepada orang yang berbedapun.

Bagaimana dengan isi kepala sang ayah? Apakah ia pernah mempelajari soal diskriminasi yang dialami perempuan dalam sejarah? Atau membaca perjuangan dan pemikiran dari R.A. Kartini, Simeone de Beauvoir, Gayatri Spivak, dsb.

Lalu bagaimana dengan Alamanda? Atau jangan-jangan, ia hanya gadis kecil yang memang dipaksa menyerah oleh hegemoni patriarkis dari tempat yang dianggap sebagai rumah.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Visual Designer: Al Afghani

Bagikan di:

Artikel dari Penulis