Menjadi Personil Marching Band saat di Sekolah Dasar itu Melelahkan! – Seperti halnya sekolah dasar pada umumnya yang memiliki ekstrakurikuler marching band. Sekolah dasar tempat saya sekolah juga memiliki ekstrakurikuler marching band, kami biasa menyebutnya sih drumband.
Mengikuti ekstrakurikuler marching band merupakan pilihan satu-satunya, karena satu-satunya ekstrakurikuler yang tersedia dis ekolah saya. Saat itu marching band sedang menjadi trend sebagai sebuah ekstrakurikuler pada sekolah dasar. Bahkan semua sekolah dasar di kecamatan saya memiliki marching band yang di setiap bulan Agustus ada perlombaannya.
Di sekolah dasar tempat saya sekolah, yang menjadi personil marching band adalah mereka yang duduk di kelas 5. Sebelumnya, di kelas 4 semester 2 sudah diberikan pelatihan terlebih dahulu. Durasi menjadi personil marching bandnya sampai di kelas 6 semester 1. Beginilah kira-kira proses regenerasinya, sementara itu saya termasuk anggota marching band angkatan kedua.
Saat pelatihan, semua alat marching band diajarkan lali diadakan pemilihan alat yang digunakan masing-masing siswa. Berhubung saya tidak mahir menggunakan marching bell, piano, tenor, quint tom, jadinya saya memegang alat hand symball yang cukup gampang digunakan. Sebenarnya saya bisa memainkan bass drum, tetapi karena badan saya kecil saya tidak diperkenankan untuk memainkan alat tersebut.
Baca juga: Jika Guru Berpihak kepada Murid, Maka kepada Siapakah Sekolah Berpihak?
Gara-gara saya menjadi pemain hand symball dalam marching band. Saya dianggap tidak penting oleh teman-teman yang lain. Padahal kan dalam marching band itu semua berperan penting, bahkan pemegangnya bendera sekalipun. Coba bayangkan kalau tidak ada suara hand symball dalam marching band, pasti suara marching band yang dihasilkan seperti ada yang kurang.
Setiap kali ada hajat sunatan, pasti marching band sekolah saya selalu ditanggap untuk menjadi pengiring pengantin sunat. Baik itu di desa sendiri, maupun desa-desa tetangga. Pernah marching band sekolah dasar saya ditanggap di desa paling ujung di kecamatan, waktu tempuh menuju lokasi tersebut juga lama, ditambah lagi jalannya rusak.
Pihak sekolah sendiri tidak mematok berapa besaran biaya sewa marching band kepada pemilik hajat. Pokoknya bayar seikhlasnya saja. Hal itulah yang menyebabkan marching band sekolah saya menjadi favorit kalau ada hajatan sunat, karena tarif sewanya yang sangat merakyat. Bahkan banyak juga pemilik hajat yang tidak memberikan bayaran alias gratis! Hanya memberikan konsumsi saja. Tetapi pihak sekolah tidak mempermasalahkan hal itu.
Padahal kalau dipikir-pikir rugi juga, karena harga alat drumband lengkap itu ya puluhan juta, belum lagi seragamnya. Lalu juga untuk merias mayoretnya juga memerlukan biaya juga, bahkan harus merogoh kocek sendiri. Menurut salah seorang pembina marching band, enggak dapat uang juga nggak papa yang penting dapat pahala, karena membahagiakan orang lain. Menurutnya yang terpenting yang punya hajat menyediakan konsumsi untuk personil marching band.
Bahkan pernah ada salah seorang pemilik hajat sunat yang menanggap marching band kami, sama sekali tidak memberikan konsumsi, hanya memberikan air mineral gelas saja. Sudah capek-capek tampil marching band, jalan kaki keliling desa, sambil memainkan marching band, hal yang bikin capek bukan? Tetapi tidak tahunya malah hanya dikasih air mineral saja sama yang punya hajat, mbok yo setidaknya dikasih snack gitu loh.
Meskipun begitu, kami saat itu enjoy saja menjadi personil marching band. Walaupun enggak dapat uang, justru malah capek yang didapatkan. Tetapi kami enjoy-enjoy saja dan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Seperti kata orang-orang kalau suka pasti apapun juga akan dilakukan.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Natasha Evelyne Samuel