Mengenal Duck Syndrom, Si Pura-Pura Bahagia – Pernahkah kalian punya teman yang dirasa hidupnya selalu terlihat mulus? Lulus dengan nilai memuaskan, punya pekerjaan bagus, masuk kampus ternama atau selalu update jalan-jalan? Terlihat sangat menikmati hidup. Begitu bahagia dan baik-baik saja. Seperti enggak pernah susah dalam hidupnya. Eitss, tunggu dulu terkadang di balik itu, siapa sangka justru ia sedang menyembunyikan segudang masalah dan tekanan dipundaknya. Kondisi inilah yang disebut sebagai Duck Syndrom. Di mana seseorang yang tampak tenang dan baik-baik saja, ternyata mengalami banyak tekanan dan tuntutan dalam hidupnya.
Mengenai Duck syndrom istilah ini muncul pertama kali di Stanford University, salah satu universitas terkenal di dunia. Nampaknya sindrom ini muncul sebagai fenomena di kalangan mahasiswi di sana. Istilah Duck Syndrom sendiri memiliki arti seekor bebek yang berenang di permukaan air. Bebek ini berenang nampak tenang, namun kakinya berjuang keras untuk mengayuh dan menjaga tubuhnya agar tetap seimbang. Kiasan ini digunakan untuk orang-orang yang terlihat bahagia, namun justru menanggung beban berat, banyak kecemasan, dan tekanan dalam hidupnya. Duck syndrom, secara resmi memang bukan tergolong penyakit mental, tetapi akibatnya bisa menimbulkan stres berat bahkan berkepanjangan.
Umumnya Duck syndrom bisa terjadi pada kalangan pelajar, mahasiswa, atau orang dewasa muda di lingkungan kerja baru. Siapa pun bisa berpotensi mengalami sindrom ini. Meski merasakan banyak tekanan atau stres, beberapa pengidap sindrom ini masih bisa produktif dan melakukan aktivitasnya dengan baik. Namun, pengidap sindrom ini juga bisa berisiko mengalami masalah mental tertentu, seperti gangguan kecemasan dan depresi. Berikut adalah penyebab seseorang mengalami Duck syndrom di antaranya:
1. Perfeksionisme
Sifat perfeksionisme bisa menjadi pemicu munculnya sindrom ini. Biasanya seseorang yang perfeksionis akan menetapkan standar hidup yang tinggi. Karena itu, bisa jadi ia tidak mau menerima kekurangan atau kegagalan dalam diri. Sehingga, hal tersebut bisa saja disembunyikan. Ia akan bersikap baik-baik saja seolah tidak terjadi apa-apa.
Baca juga: Sindrom Cinderella Complex, Apakah Kamu Salah Satunya?
2. Ekspektasi keluarga atau teman
Faktor keluarga berpeluang besar memicu Duck Syndrom. Pengasuhan dari orang tua yang terlalu over protektif kepada anak bisa menjadi penyebab utama. Pengasuhan yang seperti ini, membuat perkembangan emosional anak terhambat. Akibatnya, anak tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Alhasil, saat masalah melanda anak bisa berpura-pura baik-baik saja dan memanipulasi diri demi orang lain.
3. Self esteem yang rendah
Menghargai diri sendiri penting untuk dilakukan. Seseorang yang memiliki self esteem rendah rentan terkena sindrom ini. Kenapa? Karena mereka sulit memahami diri sendiri. Mereka bisa memanipulasi dirinya berdasarkan pandangan orang lain.
4. Tuntutan akademik atau pekerjaan
Tuntutan dari akademik atau pekerjaan bisa menjadi salah satu sebab sindrom ini muncul. Dari tuntutan tersebut bisa melahirkan kesulitan. Seseorang yang tidak bisa merespon kesulitan itu dengan baik, maka dipastikan akan menjadi beban. Contohnya, jurusan yang tidak sesuai dengan minat dan bakat mahasiswa atau lingkungan kerja yang tidak cocok.
5. Pengaruh media sosial
Tidak dapat dipungkiri teknologi sekarang sudah berkembang pesat. Kebanyakan pengguna Facebook, Twitter, atau Instagram sering menampilkan hal-hal yang dianggap menawan. Seperti kehidupan sempurna yang harus dipublikasikan. Mereka berlomba-lomba ingin terlihat sempurna melalui postingan. Dampaknya, banyak mata yang memandang takjub dan muncul keinginan untuk menjadi seperti itu. Akibatnya, ketika melihat unggahan tersebut, tidak menutup kemungkinan bisa membuat seseorang menipu jati dirinya sendiri dan hanya memperlihatkan sisi baiknya saja di media sosial. Di mana hal itu bisa berbeda atau jauh dari kenyataan.
6. Memiliki traumatis di masa lalu
Seseorang yang memiliki pengalaman traumatis di masa lalu bisa menjadi salah satu alasan munculnya Duck Syndrom. Seperti kekerasan, pelecehan seksual, atau kematian atas orang yang dicintai. Peristiwa tersebut bisa membuat seseorang sangat terpukul dalam hidupnya. Untuk bisa menjalani hidup, mereka menganggap dengan menutupi perasaan sakit adalah solusi dan jalan keluarnya. Padahal, hal tersebut bisa menyebabkan hati semakin tersiksa karena kamu harus berperan ganda. Menutupi luka dan berpura-pura semua baik-baik saja.
Seiring waktu bergulir, hidup memang menyuguhkan tantangan dan hal yang tidak terduga sekalipun bisa terjadi. Setiap tahapan dalam hidup yang di lewati akan membuat individu menjadi berkembang dan mampu belajar. Terkadang keadaan yang terjadi di dalam hidup bisa membuatmu retak bahkan di lain waktu benar-benar hancur. Keadaan tidak akan bisa seperti semula. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah membangunnya kembali.
Tahukah kamu sebuah filosofi dari jepang yang bernama “kintsugi” yang artinya proses yang dilakukan orang jepang untuk memperbaiki benda yang rusak dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih indah dan bernilai dari semula. Mereka memperbaiki bukan dengan menyembunyikan retakannya, tapi meng-highlight nya dengan emas dan merayakan nilainya.
Seperti analogi atas, alih-alih mengabaikan atau berpura-pura yang terburuk tidak pernah terjadi. Mereka memberi makna tujuan retakan tersebut dan menggunakannya untuk meningkatkan hidup secara keseluruhan. Poin pentingnya adalah diperlukan kejujuran untuk menerima diri sendiri. Harus bisa menyadari bahwa apa yang dimiliki saat ini adalah hal terbaik. Tidak perlu menipu diri sendiri. Kamu harus bisa menerima diri sendiri untuk menjadi pribadi yang autentik. Karena setiap masalah atau rasa sakit yang kamu lalui adalah bentuk latihan hidup untuk membantu kamu menjadi versi terbaik.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Umi Kulzum Pratiwi Nora Putri