Biografi Soe Hok Gie: Lebih Baik Diasingkan daripada Menyerah pada Kemunafikan

biografi soe hok gie

Biografi Soe Hok Gie: Lebih Baik Diasingkan daripada Menyerah pada Kemunafikan – Soe Hok Gie adalah salah satu tokoh mahasiswa yang hingga kini tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dengan semangat intelektual yang tinggi, ia mengkritik pemerintahan yang dianggap korup dan menindas rakyat. Meskipun hidupnya singkat, pemikirannya terus hidup dan relevan hingga saat ini.

Profil Soe Hok Gie

NamaSoe Hok Gie
Orang TuaSoe Lie Piet (ayah), Nio Hoe An (ibu)
SaudaraSoe Hok Djin (Arief Budiman) dan lainnya
PekerjaanAktivis, Penulis, Sejarawan
Tempat, Tanggal LahirJakarta, 17 Desember 1942
Tempat, Tanggal MeninggalGunung Semeru, 16 Desember 1969
MakamTaman Pemakaman Karet Bivak, Jakarta

Biografi Soe Hok Gie

Masa Kecil Soe Hok Gie

Soe Hok Gie lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942 dalam keluarga Tionghoa yang mendorong anak-anaknya untuk berpikir kritis. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kakaknya, Soe Hok Djin, yang kemudian lebih dikenal sebagai Arief Budiman, juga menjadi aktivis dan akademisi terkemuka.

Sejak kecil, Gie menunjukkan ketertarikannya pada dunia sastra dan sejarah. Ia gemar membaca buku-buku karya penulis besar seperti Pramoedya Ananta Toer dan Karl Marx. Kebiasaannya ini membentuk pola pikir kritis yang nantinya membuatnya berani melawan berbagai bentuk ketidakadilan.

Pendidikan dan Pemikiran Kritis

Soe Hok Gie menempuh pendidikan di SMA Kanisius, sebuah sekolah Katolik bergengsi di Jakarta. Di sinilah bakat intelektual dan aktivismenya mulai berkembang. Ia sering menulis di majalah sekolah dan mengutarakan pemikirannya yang tajam tentang kondisi sosial dan politik di Indonesia.

Setelah lulus SMA, Gie melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia (UI), Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah. Di kampus, ia semakin dikenal sebagai mahasiswa yang berani, vokal, dan sangat kritis terhadap situasi politik di Indonesia. Ia tidak segan-segan menyampaikan kritik terhadap pemerintahan yang menurutnya tidak berpihak kepada rakyat.

Aktivisme dan Perlawanan terhadap Ketidakadilan

Tahun 1960-an adalah periode yang penuh gejolak bagi Indonesia. Pada masa ini, Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno mengalami ketidakstabilan politik dan ekonomi. Soe Hok Gie adalah salah satu mahasiswa yang paling keras menentang kebijakan pemerintah saat itu.

Gie tidak hanya menentang pemerintahan Orde Lama, tetapi juga Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Ia melihat bahwa pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dalam hal korupsi dan penindasan terhadap rakyat. Kritiknya tajam dan tegas, membuatnya sering kali dianggap sebagai ancaman oleh pihak berwenang.

Baca juga: Biografi Greta Thunberg: Aktivis Lingkungan Pendesak Pemimpin Dunia

Ia juga aktif dalam organisasi mahasiswa, salah satunya adalah Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia). Selain menjadi tempat menyalurkan kecintaannya pada alam, Mapala juga menjadi wadah baginya untuk berdiskusi dan mengembangkan pemikiran kritis bersama teman-temannya.

Tempat Soe Hok Gie Menulis

Soe Hok Gie aktif menulis di berbagai media dan jurnal mahasiswa. Beberapa media tempat ia sering menulis antara lain:

  • Kompas: Menulis banyak artikel, termasuk artikel berseri “Menaklukan Gunung Slamet” pada 14-18 September 1967.
  • Harian Kami: Sering melayangkan kritik terhadap pemerintahan Soeharto.
  • Sinar Harapan: Salah satu media tempatnya menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
  • Mahasiswa Indonesia: Ia menjadi staf redaksi di koran mingguan ini, yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan ’66 di Bandung.
  • Indonesia Raya: Juga menjadi salah satu media tempatnya menulis kritik dan gagasan.

Di media tersebut, Gie sering menyampaikan kritik terhadap rezim pemerintah dan menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan. Tulisan-tulisannya yang tajam dan berani menjadikannya figur yang dihormati dan ditakuti oleh penguasa saat itu.

Kumpulan Kata-Kata Soe Hok Gie

Soe Hok Gie dikenal dengan kata-kata bijaknya yang mencerminkan idealismenya dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Beberapa kutipan terkenalnya antara lain:

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”

“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda. Dan yang tersial adalah berumur tua.”

“Saya lebih suka sepi seperti gunung daripada keramaian yang penuh kepalsuan.”

“Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”

“Seorang intelektual tidak boleh hanya berpikir tentang dirinya sendiri. Ia harus mengabdikan dirinya kepada masyarakat.”

“Kita tidak mencari popularitas. Kita hanya ingin melakukan yang benar, meskipun dunia tidak menyetujuinya.”

Kata-kata Soe Hok Gie mencerminkan pemikirannya yang mendalam tentang kehidupan, perlawanan, dan idealisme. Ia percaya bahwa seseorang harus tetap teguh pada prinsip meskipun menghadapi tantangan besar.

Akhir Hidup yang Tragis

Pada 16 Desember 1969, satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, Soe Hok Gie meninggal dunia saat mendaki Gunung Semeru bersama rekan-rekannya dari Mapala UI. Kematiannya diduga akibat menghirup gas beracun yang keluar dari kawah gunung.

Kematian Soe Hok Gie meninggalkan duka mendalam bagi teman-temannya dan para mahasiswa yang mengenalnya. Namun, pemikirannya tetap hidup melalui karya-karyanya, yang terus menginspirasi generasi muda untuk berani melawan ketidakadilan dan tidak tunduk pada kemunafikan.

Warisan dan Pengaruh Soe Hok Gie

Meskipun usianya terbilang singkat, pengaruh Soe Hok Gie dalam dunia aktivisme dan pemikiran kritis di Indonesia sangat besar. Buku “Catatan Seorang Demonstran” masih banyak dibaca oleh mereka yang ingin memahami sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia.

Di era modern, banyak anak muda yang masih mengagumi dan meneladani semangat juangnya. Nilai-nilai yang ia perjuangkan, seperti kejujuran, integritas, dan keberanian dalam menyuarakan kebenaran, masih relevan hingga saat ini.

Baca Juga Soe Hok Gie dan Keterasingan Menjadi Manusia Bebas

Penutup

Soe Hok Gie adalah sosok yang luar biasa dalam sejarah Indonesia. Ia tidak hanya sekadar aktivis, tetapi juga seorang pemikir yang tajam dan kritis terhadap ketidakadilan. Melalui tulisan dan aksinya, ia mengajarkan kita untuk tetap teguh dalam memperjuangkan kebenaran, meskipun harus menghadapi risiko besar.

Kata-kata Soe Hok Gie terus hidup dalam benak banyak orang, menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan ketidakadilan harus terus berlanjut. Ia memang telah tiada, tetapi gagasan dan semangatnya tetap abadi.

Seperti yang selalu ia katakan, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”

Bagikan di:

Artikel dari Penulis