Memahami Arti Kemuliaan Sejati – Pengakuan, sebuah kata yang terkadang terkesan pamrih, kadang kala terkesan sombong. Namun, sejatinya pengakuan adalah kebutuhan setiap manusia, bukan hanya sebagai individu semata, bahkan sebagai golongan sekalipun, pengakuan sangatlah dibutuhkan.
Untuk mendirikan negara misalnya, diperlukan pengakuan, baik secara de facto maupun de jure. Agama, ras, suku, organisasi, kelompok, hingga lembaga semua butuh adanya pengakuan sebagai bukti eksistensinya.
Kadang, rasanya menyesakkan sekali ketika kita hanya bisa terdiam dan melihat bagaimana orang lain diakui. Ya, kita hanya melihat saja, tidak lebih. Ada rasa berkecil hati, rasa rendah diri, juga rasa iri. “Kenapa aku tidak bisa seperti itu?”
Baca juga: Sudahi Overthinking, Mari Fokus Ber-positive Thinking!
Hierarki Kebutuhan Maslow
Merujuk pada teori Hierarki Kebutuhan yang digagas oleh Abraham Maslow, dikatakan bahwa manusia memiliki lima kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika kebutuhan pertama tidak dipenuhi, kebutuhan kedua dan seterusnya juga tak akan bisa terpenuhi.
Kebutuhan tersebut antara lain, yaitu:
- Kebutuhan fisiologis,
- Kebutuhan keamanan (safety),
- Kebutuhan dimiliki dan cinta (belonging and love),
- Kebutuhan harga diri (self esteem), dan
- Aktualisasi diri.
Jika berdasar pada teori Maslow tersebut, kebutuhan kita akan pengakuan menempati posisi keempat, yaitu kebutuhan harga diri (self esteem). Sebuah kebutuhan terhadap pengakuan keberadaan diri dari pihak lain. Dengan begitu, barulah kita mampu untuk masuk ke tahap pemenuhan kebutuhan berikutnya, yaitu aktualisasi diri.
Demi memenuhi kebutuhan ini, ada yang menggunakan kekayaan, pangkat, prestasi, pakaian, keturunan, kendaraan, dan masih banyak lagi. Semua ditujukan agar diakui oleh orang lain. Bukan sekadar keberadaan, tetapi juga value (nilai/kualitas) kita sebagai seorang manusia. Dengan begitu kita akan memiliki kebanggan diri dan merasa dihormati oleh orang lain berbekal pengakuan itu.
Pengakuan dari Sudut Pandang Islam
Dalam Islam, ada sebuah istilah bernama “izzah” yang berarti kemuliaan atau harga diri yang mulia dan agung yang ada dalam setiap jiwa seorang muslim. Membahas kebutuhan manusia terhadap pengakuan dari sudut pandang Islam amatlah menarik. Mengapa?
Sebelumnya telah disinggung, demi mendapatkan pengakuan, kita kerap kali menggunakan kekayaan, prestasi, pangkat, atau keturunan. Semua itu adalah hal-hal yang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki status tinggi di mata manusia, yang mana dengan memilikinya kita pun akan dihormati oleh manusia lain.
Menariknya, Islam justru berkata lain. Dalam Qs. Fathir: 10, dikatakan bahwa:
“Barangsiapa menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah. Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya. Adapun orang-orang yang merencanakan kejahatan mereka akan mendapat azab yang sangat keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.”
Quraish Shihab menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya, Al-Misbah jilid 11, bahwa semua manusia mendambakan dan saling berlomba-lomba mendapatkan kemuliaan (izzah). Allah pun menegur sikap ini dan mengingatkan bahwa siapapun yang menginginkan kemuliaan, tidak selayaknya kita mencarinya melalui pengakuan manusia. Karena sesungguhnya kemuliaan itu adalah milik Allah, maka Allah pula yang akan menganugerahkan kemuliaan kepada sesiapa yang dikehendaki.
Baca juga: 5 Mindset Ini Wajib Dimiliki si Introvert yang Suka Minder
Harga diri, pengakuan, atau dalam hal ini adalah kemuliaan. Dari sini kita paham bagaimana Islam mengambil sikap, bahwa kemuliaan bukanlah sekadar kebanggan semu yang kelak akan sirna bersama waktu. Akan tetapi kemuliaan sejati terletak pada bagaimana hubungan kita terhadap Yang Maha Mulia dan Pemilik Kemuliaan itu sendiri, yaitu Allah SWT.
Tentunya kita tidak dapat menyimpulkan bahwa status duniawi adalah hal yang tidak penting. Tetap penting, hanya saja itu bukanlah kemuliaan sejati. Sebab ketika di hadapan Allah kelak, semua status dan pengakuan itu tidaklah berarti. Untuk itulah, kita harus tahu bagaimana cara tepat dalam menyikapinya.
Cara Tepat Menyikapi ‘Pengakuan’
Ketika kita memiliki status yang tinggi atau ketika mendapat pengakuan dan pujian, tak sepantasnya lupa diri dan bersikap sewenang-wenang terhadap yang lain. Pun sebaliknya, jangan sedih ketika tidak mendapatkan pengakuan atau kemuliaan dari manusia. Sebab pemilik kemuliaan yang sesungguhnya adalah Allah SWT.
Hal ini sangat penting untuk kita pahami. Sebab di era digital macam sekarang ini, kita bisa dengan mudah melihat hidup orang lain, walau tidak secara keseluruhan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya media sosial, kita kerap kali mudah berucap, “Ih, enak banget sih hidupnya. Pengen, deh, seperti dia.” Seperti kata sebuah pepatah, rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau.
Ya, kita mudah sekali iri pada pencapaian orang lain, lalu hilanglah self esteem dan rasa percaya diri. Kebutuhan akan harga diri yang tak terpenuhi itu membuat kita kelabakan, lalu mencari—cari pengakuan lewat segala cara dengan mengandalkan status-status duniawi. Maka dari itu, kita memerlukan pemahaman yang tepat bagaimana cara memandang kebutuhan kita terhadap pengakuan, agar tidak terjerumus pada pengakuan semu yang meresahkan.Lain kali, jika rasa iri atau rendah diri timbul ketika melihat pencapaian orang lain dan ketika menyadari minimnya prestasi diri, yuk cek lagi deh, kemuliaan yang sebenarnya itu apa? Dengan begitu, kita tak akan menjadi pribadi yang mudah overthinking dan lebih legowo dalam menjalani kehidupan.