Stagnasi Adalah Wahana Menghargai Hidup: Self-Esteem Islam

Stagnasi adalah Wahana Menghargai Hidup Self- Esteem Islam

Stagnasi Adalah Wahana Menghargai Hidup: Self-Esteem Islam – Manusia memang merupakan mahkluk yang aneh, keanehannya bukan dilihat secara fisik tetapi dilihat dari segala tindakan yang mungkin “absurd”. Keabsurdan manusia sebagai mahkluk yang penuh kontradiksi dengan jiwanya, yang suatu saat bisa terbang tinggi melampaui malaikat, suatu saat juga lebih rendah dengan setan. Tidak konsistennya menjadikan manusia mahkluk yang sulit ditebak.

Mungkin kita pernah mendengar pertobatan seorang pendosa namanya Bisyr Al Hafi. Pemabuk yang kemudian di suatu peristiwa ia menemukan kertas lafadz Allah, membawanya dan mengharumkan kemudian menciumnya. Hingga ada mimpi dari Wali Allah lain yang kemungkinan memberitahu bahwa Bisyr Al Hafi akan menjadi Kekasih Tuhan, yang kemudian oleh Allah Swt mengangkat derajatnya menjadi ulama besar.

Begitulah kehidupan dan manusia tidak bisa ditebak. Hidup ini sangat penuh kompleksitas kita hidup di sini ada jaring laba-laba dari Tuhan yang kita tidak bisa menghindarinya. Mungkin beberapa dari kalian sudah merasakan kepenatan hidup yang panjang, hidup hanya begini, tidak ada pemasukan, sering dihina, dan sering direndahkan.

Cobalah sesekali kita menyendiri dari segala bentuk kerumitan hidup yang kita jalani. Ini bukan soal introvert maupun ekstrovert. Tetapi kebutuhan tubuh kita untuk mencharge spirit serta lebih open minded dengan menggali seberapa penting dan berharganya kita atau bahasa psikologinya yakni Self-Esteem Islam.

Mencintai Diri Sendiri Bukan Egoistik, Tetapi Bentuk Rasa Syukur

Mencintai diri sendiri merupakan bentuk hal yang fundamental untuk mengetahui dan memilah- milah takdir yang datang maupun akan, untuk kita meraih apatheia, yakni kebahagiaan tanpa penderitaan. Kerap kali penjara penderitaan itu dari kita sendiri, seperti Kalam Allah QS Al- Ma’arij Ayat 19:

۞ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”.

Kebahagiaan tidak pernah akan kita rasakan kecuali kita merasakannya sendiri. Tuhan sebagai kekasih telah berulang kali menegur kita, bahwa terkadang ketika kita berada di atas puncak lupa dengan yang di bawahnya atau lupa dengan Tuhannya sendiri. Tapi ketika kita di posisi bawah kerap kali kita menyebut-nyebut nama Tuhan, atau mencari teman kita.

Itu suatu keniscayaan dan pasti, kita pun begitu. Maka dari itu perlunya kita menyendiri pada suatu waktu, bukan untuk berhenti dari perjuangan, tetapi untuk kita berkenalan lebih dalam dengan diri kita sendiri. Sekali lagi bukan soal introvert, ekstrovert, atau ambivert. Tetapi ini kebutuhan kita selain makhluk sosial kita juga makhluk spiritual (Homo Religius).

Kesendirian itulah yang akan mengajari kita makna kehidupan yang banyak, dan mulai merencanakan proker-proker kehidupan yang belum kita inginkan. Jangan menuruti keinginan kita, tetapi sediakanlah ruang untuk diri kita berbicara dengan cermin, tentang apa yang sudah kita lakukan selama ini.

Roja’ (Pengharapan) Berpegang dengan Semangat Hidup

”Harapan adalah mimpi seseorang yang terjaga”

Aristoteles.

Harapan merupakan aspek terbesar manusia dapat hidup. Tanpa harapan kita akan terombang-ambing dengan arus kehidupan yang tidak jelas. Maka dari itu sepenat-penatnya kita, jangan berhenti berharap dengan diri-sendiri dan berharap dengan Tuhan. Karena dengan berharap Spirit kita akan tumbuh kembali walau sudah tumbang diterpa badai kehidupan. Seperti Firman Allah Swt:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah mempersekutukan dengan apapun dalam beribadah kepada Rabbnya”. (QS. Al-Kahfi: 110)

Arti yang mendalam dari pengharapan adalah ketika kita mungkin stuck dan masih mempunyai keinginan untuk melanjutkan hidup tanpa pikir panjang. Kemusyrikan itu bukan sesuatu hal yang tekstual seperti menyembah patung, menyembah setan dan lain-lain. Tetapi kemusyrikan itu ketika kita menggantungkan hidup dan harapan kita hanya dari pengaruh orang lain.

Maka dari itu perlunya kita berhenti dan menyendiri. Berusaha untuk memahami diri sendiri lebih dalam, karena yang tahu kapasitas kita berjuang ya diri kita sendiri. Jangan menyalahkan siapapun, karena dalam perjuangan tidak ada yang salah, dimensi niat hanya Tuhan yang tahu. Tugas kita adalah berbuat baik semaksimal mungkin dan berusaha.

Selain itu dengan kita berstagnasi beberapa waktu, kita juga bisa menyiapkan rencana-rencana untuk kita terbang lagi menggapai angkasa impian. Kita harus memerdekakan diri kita sendiri sebelum kita memerdekakan orang lain. Karena jika kita ingin menjadi sesuatu, kita juga perlu learn to have keinginan belajar untuk memiliki. Memiliki apa? Memiliki pemahaman akan diri sendiri dan keadaan sekitar.

Orang yang besar adalah orang yang memiliki pemahaman luas dan mendalam terhadap segala sesuatu. Bukan hanya soal teoritis tapi juga praktis. Semoga apa yang saya tulis dapat mengubah pandangan kalian dan menjadikan kalian lebih mencintai diri kalian sendiri. Sekian!

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwa Min Thariq.
Wassalamualaikum wr wb.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Visual Designer: Al Afghani

Bagikan di:

Artikel dari Penulis