Mempertanyakan Gagasan Poros Maritim Dunia: Lanjutkan atau Acuhkan? – Indonesia diberkati laut yang luas serta sumber daya alam yang melimpah ruah. Flora-faunanya yang beragam dan terumbu karang, menunjukan negeri kita adalah negeri yang pantas disebut “Nusantara”.
Berdasarkan sejarah Indonesia, ada 2 (dua) kekuatan yang sangat besar yang menguasai kemaritiman, yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Dua kerajaan tersebut menguasai Selat Malaka yang kala itu telah menjadi regional transhipment port untuk jalur pelayaran antara India dan Tiongkok. Ditambah lagi dengan kekuasaan Nusantara yang mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.
Majapahit merupakan kerajaan maritim yang luas. Kerajaan ini menguasai wilayah-wilayah di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan sebagian wilayah Filipina. Kekuasaan Majapahit meluas hingga ke bagian barat daya Filipina, menjadikannya salah satu kekuatan maritim terbesar di Asia Tenggara pada zamannya (Yanyan, Monrantrama, 2015).
Saat ini, Indonesia merupakan negara kepulauan besar yang memiliki kurang lebih 17.506 pulau yang tersebar dalam luas lautan yang mencapai 5,8 juta kilometer persegi. Indonesia berada pada posisi silang yang sangat strategis. Posisi ini sangat menguntungkan karena letak strategisnya yang berada di persimpangan dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Pasifik serta dua benua yaitu benua Asia dan Australia.
Baca juga: KRI Irian dan Simbol Kedigdayaan Maritim Indonesia di Masa Lalu
Dengan luasnya laut tersebut, apakah ke depannya Indonesia sudah bisa beralih transisi kepemimpinan? Bisakah Indonesia memperkuat Blue Economy, Maritim Culture, Blue Ecology, Seafood Sovereignty untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia?
Revolusi Biru: Dari Ekonomi Biru ke Kedaulatan Pangan Laut
Gagasan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia merupakan gagasan yang sangat brilian, ini memang diinisiasi dari pemerintahan Jokowi-JK. Namun, dibalik gagasan tersebut, yang paling menonjol dan memprakarsai gagasan tersebut adalah Rizal Sukma mantan Direktur Eksekutif lembaga think tank ternama Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Pemerintahan Jokowi mempercayainya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Inggris Raya dan Irlandia.
Menurut Darmansjah Djumala, Pertama Dimensi Hukum, Gagasan PMD merupakan gagasan yang merefleksikan perjuangan bangsa indonesia untuk berkancah di politik internasional berdasarkan tiga dimensi. Pertama, menjamin kepastian hukum dengan teritorial dan negara tetangga. Kedua, Dimensi Keamanan, yaitu menjamin stabilitas keamanan dari ancaman- ancaman yang ada. Ketiga, Dimensi Ekonomi, di mana ekonomi berperan untuk menjembatani kerjasama maritim untuk meningkatkan perekonomian nasional.
Untuk mewujudkan gagasan tersebut langkah awal yang dilakukan yakni mengerti dan memahami “Blue Economy”, sebagai wahana pemeliharaan dan pembangunan memaksimalkan Indeks Pembangunan. Ekonomi Biru terbukti menjadi konsep penting bagi pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Konsep ini dikembangkan karena keprihatinan terhadap dampak lingkungan yang semakin berkurang seiring dengan meningkatnya permintaan akan sumber daya kelautan.
Baca juga: Biografi Boyan Slat, CEO dan Penemu Alat Pembersih Lautan
Ekonomi Biru juga terkait bagaimana manajemen tata kelola sebuah wilayah laut atau pesisiran. Negara-negara berkembang dan maju, khususnya negara kepulauan, hendaknya memanfaatkan lautan sebaik-baiknya, tanpa merusak ekosistem dan lingkungan. Berdasarkan prinsip ekonomi biru, pembangunan wilayah kepulauan harus fokus pada pertumbuhan inovasi, penguatan partisipasi masyarakat, optimalisasi sumber daya sekitar, dan pemanfaatan teknologi berbasis budaya dan pengetahuan lokal.
Ekonomi biru juga membutuhkan perangkat teknologi yang memanfaatkan potensi alam (cahaya/matahari, angin, arus laut/sungai, gelombang laut), tanpa merusak alam. Sampah dan limbah dapat dialih fungsikan untuk menciptakan solusi inovatif yang tidak merusak lingkungan. Selain itu, mampu merangsang semangat dan kreativitas yang dikembangkan dengan sentuhan yang memiliki nilai ekonomi dan membantu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Hal ini harus didasari dengan kepedulian sosial (social inclusiveness) yang dilaksanakan secara kreatif dan inovatif, berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas, serta efisiensi penggunaan materi. Tentu kita ingin menjaga keseimbangan pembangunan berkelanjutan (sustainable growth equity), terutama di wilayah yang bercirikan kepulauan.
Dari perencanaan akan pembangunan ekonomi biru, diharapkan terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia. Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah mencanangkan lima pilar utama untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia. Pertama, merekonstruksi Budaya Maritim Indonesia. Yang kedua, fokus membangun kedaulatan hasil laut melalui pembangunan perikanan yang berpusat pada nelayan, serta berupaya melindungi dan mengelola sumber daya laut. Yang ketiga, komitmen untuk mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim melalui pembangunan jalan raya maritim, pelabuhan, logistik dan industri maritim, serta pariwisata maritim. Yang keempat, diplomasi maritim. Yaitu dengan mengajak seluruh mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang maritim. Yang kelima, memperkuat pertahanan maritim.
Menunggu Gebrakan Baru untuk Kepemimpinan Baru
Dengan beralihnya kepemimpinan dari Jokowi menuju Prabowo Subianto, dengan menatap potensi bonus demografi ke depan, adakah arah baru Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)? Atau hanya melanjutkan kebijakan yang lama, walaupun kebijakan KKP yang lama tersebut juga menuai kritik?
Dalam kurung beberapa tahun, pemerintahan Jokowi belum memberikan sebuah program gebrakan yang terintegrasi dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Dari jumlah 16.056 pulau kecil yang telah didepositkan ke PBB pada Juli 2017, pemerintah belum menyusun cetak biru (Blue Print) pengelolaan pulau kecil yang mandiri. Kemudian, penjaminan kesejahteraan masyarakat perikanan skala kecil harus dimaksimalkan. Karena merekalah yang pada akhirnya sebagai aktor utama rantai dagang produk perikanan di Indonesia. Sumber daya laut juga memerlukan pemanfaatan secara optimal untuk membentuk lingkungan yang mendukung ekosistem laut.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, lambannya kinerja KKP dalam menjalankan amanah Undang-Undang No.7/2016 terkait Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, menjadi permasalahan apabila KKP tidak memprioritaskan aspek yang mendukung gagasan Ekonomi Biru.
Dengan begitu, harapan kedepan kabinet yang akan datang harus memikirkan kembali juga tentang permasalahan laut dan kemaritiman, untuk mewujudkan gagasan PMD sebagai visi. Maka, kebijakan harus dilandasi dengan kemanusiaan dan sumber daya alam yang ada. Supaya kedepannya hasil semua itu bisa dinikmati oleh anak cucu kita nanti.
Daftar Pustaka
Yantan, Monrantrama. 2015. “INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA: SUATU TINJAUAN GEOPOLITIK”, Jurnal Pertahanan Agustus, Vol. 5, No. 2, hlm. 29.
Rosyidin Muhammad. 2019. “Indonesia: Menuju Kekuatan Global Abad 21”(PT Elex Media Komputindo: Jakarta), Hlm.9.
Sujiwo Sahid. 2023. “PENGEMBANGAN TATA KELOLA EKONOMI BIRU UNTUK MEMPERKUAT BLUE ECONOMY DEVELOPMENT INDEX DI INDONESIA”, Jurnal Perikanan dan Kelautan, Vol. 13 No. 1, hlm. 72.
M Ambari. 2018. “Empat Tahun Kepemimpinan Joko Widodo, Bagaimana Capaian Sektor Kelautan dan Perikanan?”, Mongabay:https://www.mongabay.co.id/2018/10/24/empat-tahun-kepemimpinan-joko-widodo-bagaimana-capaian-sektor-kelautan-dan-perikanan/