KRI Irian dan Simbol Kedigdayaan Maritim Indonesia di Masa Lalu – Merunut dari banyak literasi sejarah, kekuatan militer Indonesia di era orde lama dianggap menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Bahkan, penyematan yang lebih tegas menyebutkan bahwa kekuatan militer Indonesia saat itu merupakan yang terkuat di belahan bumi selatan. Penyematan predikat tersebut tentunya cukup masuk akal mengingat kekuatan Indonesia pada dekade akhir 1950 hingga dekade 1960-an memang diperkuat berbagai alutsista unggulan di masa tersebut.
Kekuatan matra yang paling mencolok tentunya dari matra udara dan laut. Jika di matra udara kita memiliki beragam pesawat jet tempur keluarga MiG dan pesawat bomber strategis TU-16, maka di matra laut kita memiliki salah satu kapal tempur terbesar yang pernah dioperasikan oleh TNI-AL hingga hari ini, yakni KRI Irian.
Kapal yang dikategorikan sebagai Cruisers atau kapal penjelajah ini sejatinya merupakan kapal bekas pakai dari angkatan laut Uni Soviet kala itu. Tentunya di dekade akhir 1950-an hingga awal dekade 1960-an Indonesia terkenal memiliki hubungan yang cukup mesra dengan Uni Soviet. Bahkan alutsista Indonesia di era tersebut hampir dikatakan didominasi oleh buatan Uni Soviet dan negara blok timur lainnya. Salah satunya adalah KRI Irian.
Baca juga: Biografi Tatang Koswara, Sniper Legendaris TNI yang Menjadi Momok Pasukan Fretilin
Lantas, apakah memang segarang itu kekuatan militer Indonesia di matra laut? Apa memang seperkasa itukah KRI Irian sehingga menyandang predikat sebagai kapal tempur utama TNI-AL di masa orde lama? Menurut saya sendiri statement tersebut sedikit terlalu dilebih-lebihkan. Terutama mengenai kedigdayaan dari KRI Irian yang dianggap banyak media Indonesia, sebagai yang terkuat dalam jajaran kapal tempur TNI-AL kala itu.
Kapal Besar dengan Segudang Permasalahan
Kapal kelas Sverdlov-class yang merupakan kategori dari KRI Irian lahir pada akhir dekade 1940-an hingga awal dekade 1950. Sverdlov-class sendiri terdiri dari 14 kapal yang berhasil diselesaikan. KRI Irian sendiri dahulunya sebelum dibeli oleh Indonesia memiliki nama Ordzhonikidze yang berdinas di Angkatan laut Uni Soviet sejak tahun 1952 sebelum dijual ke Indonesia pada tahun 1962 dan berganti nama menjadi KRI Irian.
Kapal ini sendiri memiliki berat yang cukup fantastis yakni sekitar 13.600 ton dan panjang 210 meter. Tentunya ukuran tersebut cukup masuk akal apabila kapal ini menjadi kapal tempur TNI-AL terberat dan terbesar yang pernah dioperasikan hingga hari ini. Sistem persenjataan kapal ini yakni 4 meriam triple 152 mm dan 6 meriam twin 100 mm sebagai sistem persenjataan utama. Kapal ini juga dilengkapi dengan 16 meriam perlindungan udara twin 37 mm dan juga sistem peluncur torpedo 533 mm. Ketebalan armor kapal tersebut cukup bervariasi, yakni mulai dari 50 mm hingga 175 mm.
Jika melihat sistem persenjataannya tentu banyak orang akan beranggapan bahwa kapal ini sangat perkasa. Mungkin dari segi ukuran dan perlindungan kapal ini memang cukup luar biasa, namun dari sistem persenjataan kapal ini terbilang sudah cukup ketinggalan zaman ketika dibeli oleh Indonesia kala itu. Belum lagi permasalahan mesin yang seringkali menghampiri kapal ini membuat kapal tersebut tidak lebih dari baja mengapung yang susah untuk bergerak.
Bahkan, karena ukurannya yang cukup besar membuat kapal ini tidak mampu bersandar di banyak pelabuhan di Indonesia saat itu. Hingga pada akhirnya karena segudang permasalah tersebut menyebabkan KRI Irian pada tahun 1963 harus disandarkan dan dikirim kembali ke Uni Soviet untuk menjalani perbaikan di tahun 1964.
Banyak hal yang menjadi faktor dari pengiriman kembali kapal KRI Irian ke Uni Soviet untuk menjalani perbaikan. Mulai dari awak yang kurang piawai dalam merawat kapal dengan tonase sebesar itu, hingga tidak cocoknya iklim tropis untuk kapal yang memang didesain berlayar di lingkungan dingin Eropa. Belum lagi kapal dengan ukuran besar tentunya memerlukan biaya besar pula untuk merawatnya.
Penyematan Maskot Maritim di Era Orde Lama yang Kurang Tepat
Penyematan KRI Irian sebagai alutsista yang melambangkan kedigdayaan maritim Indonesia di masa lalu bisa dibilang tepat, namun juga bisa dikatakan kurang tepat. Penyematan tersebut tepat ketika berbicara ukuran kapal ini yang bisa diibaratkan sebagai “monster” di jajaran kapal tempur TNI-AL kala itu. Akan tetapi, penyematan tersebut menjadi kurang tepat jika disematkan bila melihat sistem persenjataannya yang dianggap sudah ketinggalan zaman.
Justru, armada laut TNI-AL kala itu yang lebih ditakuti adalah kapal cepat rudal (KCR) Komar-class yang mampu membawa rudal anti-kapal P-15 “Termit” yang dianggap lebih berbahaya daripada sistem persenjataan di KRI Irian. Belum, lagi deretan kapal cepat torpedo (Torpedo-Boat) dan armada kapal selam Whiskey-class yang dianggap lebih berbahaya jika berhadapan dengan armada AL Belanda yang kala itu diperkuat oleh Kapal Induk HNLMS Karel Doorman.
Satu-satunya hal yang cukup dimungkinkan dari penggunaan KRI Irian, jika sampai perang terbuka dengan Belanda terjadi saat Operasi Trikora adalah sebagai kapal bantuan tembakan untuk mendukung gerak infanteri darat dengan kaliber meriamnya yang terbilang besar. Kapal ini juga dapat digunakan sebagai pusat komando atau kapal bantuan logistik terbatas.
Meskipun demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa KRI Irian menjadi salah satu simbol kekuatan maritim Indonesia di masa lalu. Entah kapan simbol kekuatan itu maritim akan kembali disandang oleh salah satu armada kapal negara dengan daerah perairan terluas di Asia tenggara tersebut. Meskipun akhir kisah KRI Irian harus berakhir tragis di dekade 1970-an dengan menjadi besi tua. Akan tetapi memori tentang raksasa laut yang pernah dimiliki oleh TNI-AL tersebut tentunya akan tetap abadi.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Salman Al Farisi