Pernikahan Beda Status Sosial Memang Lebih Indah kalau Terjadi di Sinetron – Kita tidak pernah bisa memprediksi akan jatuh cinta dan menikah dengan siapa. Kita bisa saja berjodoh pada seseorang yang baru beberapa hari dikenal, tetangga yang jarak rumahnya hanya beberapa blok dari rumah kita, atau anak muda dari keluarga kelas menengah atas.
Ketika hubungan percintaan akan dibawa ke pernikahan, modal cinta saja tidak cukup. Kalau kamu dan pacar—calon pasangan—beda status sosial, tantangan yang dihadapi akan lebih berat.
Jangan berekspektasi terlalu tinggi bahwa kisah cinta beda status sosial antara kamu dan dia bakal seindah di sinetron atau happily ever after kayak dongeng Cinderella. Saya bukan ingin mematahkan harapanmu, tapi memang kenyataannya seperti itu. Tidak sedikit orang pacaran lalu putus atau gagal nikah dengan sang pacar lantaran terganjal perbedaan status sosial.
Apa itu artinya kita tidak boleh menikah dengan orang yang status sosialnya tidak sederajat? Tidak juga. Hanya saja, seperti yang saya bilang sebelumnya, kalau pernikahan beda status sosial itu tidak mudah. Bukan berarti tidak mungkin. Bukan berarti tidak boleh.
Kenapa tidak mudah? Berikut alasannya.
1. Perbedaan gaya hidup
Hal pertama yang penting untuk diingat adalah perbedaan status sosial tidak melulu soal perbedaan jumlah harta atau kekayaan yang dimiliki. Perbedaan status sosial juga akan mempengaruhi gaya hidup seseorang. Misalnya, kamu biasa makan di warteg atau angkringan, sedangkan dia biasa makan di cafe atau restoran. Self-healing ala kamu cukup dengan tidur dan mendengarkan playlist lagu favorit, sedangkan dia harus main ke pantai atau tempat-tempat sejuk dan sebagainya. Nah, bisa tidak kamu dan dia berkompromi soal perbedaan gaya hidup ini?
2. Perbedaan persepsi tentang uang
Perbedaan status sosial membuat seseorang punya persepsi berbeda tentang uang. Termasuk cara mereka menghabiskannya. Seseorang yang kondisi finansialnya mapan dan stabil cenderung lebih mudah untuk menabung, berinvestasi, sambil sesekali self-reward karena kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Sementara untuk mereka yang kondisi finansialnya tidak stabil, gaji di bawah UMR, dan sandwich generation, jangankan kepikiran buat nabung, investasi, dan self-reward, bisa makan dan bayar tagihan rutin bulanan aja udah syukur. Ada juga orang yang karena kondisi finansialnya memadai, mereka menyisihkan sebagian dari gajinya untuk pemenuhan hobi. Namun, bagi orang lain, hal itu bisa jadi dianggap kurang penting dan pemborosan.
3.Perbedaan pola pikir
Perbedaan pola pikir kadang dipengaruhi juga oleh perbedaan tingkat pendidikan. Orang lulusan S1 cenderung punya pola pikir yang berbeda dengan lulusan SMA atau dibawahnya. Namun, ada juga yang tingkat pendidikannya setara, tapi pola pikirnya berbeda jauh. Sehingga terlalu sering berdebat dan bertengkar. Perbedaan pola pikir ini cakupannya luas. Bisa tentang wawasan, cara merespon suatu masalah, cara merespon cerita pasangan, prinsip dan tujuan hidup, rencana atau cita-cita di masa depan, dan sebagainya.
Dengan kata lain, punya pasangan yang tidak sefrekuensi itu ribet dan cuma bikin capek. Misalnya, kamu adalah orang yang berpandangan kalau menikah itu butuh persiapan. Mulai dari masalah finansial, rencana tinggal setelah menikah, rencana punya anak, dan sebagainya. Sementara, dia adalah orang yang menganut prinsip “udah jalanin aja dulu”. Jika kalian bisa mendiskusikan masalah ini dengan kepala dingin dan menemukan jalan tengah, silahkan dilanjutkan. Kalau masing-masing bersikukuh dengan prinsipnya, silahkan pilih mau tetap lanjut atau putus.
Berbagai pertimbangan dalam hubungan beda status sosial
Dua orang yang menjalin hubungan asmara memang selalu dihadapkan pada perbedaan. Perbedaan latar belakang budaya, pola asuh orangtua, kebiasaan, gaya hidup, minat, karakter dan lain-lain. Untuk menjembatani perbedaan tersebut perlu usaha untuk saling memahami, beradaptasi, bekerja sama, dan mengedepankan komunikasi yang baik. Sayangnya, praktik ini tidak semudah teorinya.
Belum lagi kalau ternyata kamu dan dia beda visi-misi. Kamu maunya ke utara, dia maunya ke selatan. Padahal, pernikahan itu ibarat bahtera. Dan visi dan misi adalah kompas yang akan mengarahkan bahtera itu sampai ke tujuan.
Pernikahan beda status sosial juga mesti siap memperjuangkan restu dari masing-masing keluarga. Sebab, tak jarang keluarga dengan status sosial lebih tinggi cukup sulit untuk mengizinkan anaknya menikah dengan seseorang berstatus sosial lebih rendah. Selain itu, faktor omongan orang, terutama orang-orang di lingkaran pergaulan mereka, sering kali membuat mereka khawatir perihal pernikahan beda status sosial ini.
Solusi lain yang tidak kalah sulit adalah menaikkan atau menurunkan level agar bisa setara dengan dia atau minimal mendekati levelnya. Entah dilakukan dengan cara mencari pekerjaan yang lebih baik, mendapat penghasilan yang setara atau lebih tinggi, menurunkan standar dan gaya hidup, memperluas wawasan biar kalau diajak diskusi bisa nyambung, dan sebagainya.
Gimana? Susah kan percintaan beda status sosial di dunia nyata?
Semoga kamu yang sedang berada dalam hubungan ini bisa sama-sama mencari solusi agar hubungan tetap awet. Syukur-syukur kalau bisa berakhir di pelaminan.
Editor: Widya Kartikasari