Dampak Jangka Panjang Intermittent Fasting pada Metabolisme dan Hormon – Intermittent Fasting (IF) adalah pola makan dengan periode puasa bergantian dan periode makan terbatas. Pola ini semakin populer sebagai cara menurunkan berat badan dan meningkatkan kesehatan. Meskipun belum ada studi jangka panjang yang sangat panjang, banyak penelitian menunjukkan efek IF pada metabolisme dan hormon. Artikel ini membahas jenis-jenis IF yang populer serta dampak positif dan risiko potensial jangka panjangnya, khususnya terkait sensitivitas insulin, pembakaran lemak, dan hormon seperti insulin, leptin, dan kortisol. Kalian juga bisa cek website pafikabpnbrebes.org untuk mendapatkan info lebih lanjut.
Jenis-jenis Puasa Intermiten Populer
- Time-Restricted Feeding (mis. 16:8): Makan bebas selama 8 jam, berpuasa 16 jam. Contoh: sarapan siang jam 12 dan makan malam sebelum jam 8 malam, lalu puasa hingga siang esok.
- 5:2 Diet: Lima hari makan normal, dua hari (tidak harus berturut-turut) membatasi kalori sekitar 500–600 per hari.
- Alternate-Day Fasting (ADF): Puasa satu hari penuh (atau sangat rendah kalori), hari berikutnya makan seperti biasa.
- Eat-Stop-Eat: Puasa 24 jam sekali atau dua kali seminggu, sisanya makan normal.
Setiap metode IF memiliki variasi, misalnya ada yang menjalankan puasa dini (tidak makan malam) atau puasa larut (tidak makan pagi). Yang penting, IF menekankan periode puasa yang konsisten sehingga tubuh beralih ke sumber energi cadangan lemak.
Pengaruh Intermittent Fasting pada Metabolisme
Penurunan Berat Badan dan Pembakaran Lemak
Banyak penelitian menyatakan bahwa IF efektif menurunkan berat badan dan lemak tubuh. Sebuah review menemukan IF dapat menurunkan berat badan serupa dengan diet pengurangan kalori konvensional, dan bahkan cenderung lebih banyak mengurangi massa lemak. Misalnya, puasa selang-seling 8–12 minggu dapat menurunkan kolesterol LDL sebesar 20–25% dan trigliserida 15–30%. Mekanismenya, setelah cadangan glikogen habis (12–36 jam puasa), tubuh beralih ke membakar lemak menjadi energi dan membentuk keton. Hal ini termasuk peningkatan laju lipolisis (pemecahan lemak) dan bahkan aktivasi jaringan lemak cokelat yang meningkatkan pembakaran kalori. Dengan demikian, IF membantu mengurangi lemak perut dan memperbaiki profil lemak darah.
Sensitivitas Insulin dan Glukosa Darah
Intermittent fasting sering dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas insulin, meski hasil studi bervariasi. Beberapa penelitian kecil menunjukkan peningkatan besar. Contohnya, penelitian 5 minggu pada orang pradiabetes dengan early time-restricted feeding (makan lebih pagi) menemukan peningkatan sensitivitas insulin dan fungsi sel beta pankreas. Namun, beberapa meta-analisis besar melaporkan bahwa efek IF pada insulin puasa dan HbA1c relatif kecil atau tidak signifikan dibanding diet biasa. Kesimpulannya, IF dapat membantu mengontrol gula darah, terutama jika diiringi penurunan berat badan, tapi tidak selalu lebih unggul daripada pembatasan kalori konvensional untuk jangka panjang.
Profil Lipid dan Tekanan Darah
Bukti terbaru menunjukkan IF juga berpotensi memperbaiki profil lipid. Beberapa studi melaporkan penurunan kolesterol total, LDL, dan trigliserida setelah menjalani IF. Sebagai contoh, time-restricted eating 12 minggu dapat menurunkan kolesterol total dan tekanan darah. Namun demikian, bukti pada parameter metabolik seperti glukosa dan lipid masih beragam. Selain penurunan lemak tubuh, perbaikan ini kemungkinan terjadi karena penurunan asupan kalori total. Efek spesifik jangka panjangnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Pengaruh Intermittent Fasting terhadap Hormon
Hormon Insulin
Insulin adalah hormon utama pengatur glukosa. Saat berpuasa, kadar insulin turun, lalu naik saat makan. IF yang berhasil menurunkan lemak tubuh sering diikuti penurunan resistensi insulin. Sejumlah penelitian menunjukkan IF dapat meningkatkan respon insulin meski penurunan berat badan minimal. Namun hasilnya tidak konsisten: banyak studi besar menemukan perbedaan kecil pada insulin puasa antara kelompok IF dan kontrol. Meski begitu, bila IF mengakibatkan pengurangan berat badan, secara otomatis sensitivitas insulin biasanya ikut membaik.
Leptin dan Hormon Lapar (Ghrelin)
Leptin adalah hormon yang dilepas oleh sel lemak, memberi sinyal kenyang ke otak. Secara umum, ketika berat badan turun, leptin menurun. Salah satu studi puasa di Ramadan melaporkan penurunan signifikan leptin meski penurunan berat badan ringan. Penurunan leptin biasanya beriringan dengan penurunan cadangan lemak tubuh. Sementara hormon ghrelin (hormon lapar) biasanya meningkat saat perut kosong, adaptasi IF dapat membuat fluktuasinya lebih teratur. Studi Ramadan lain menemukan ghrelin juga menurun setelah puasa sehari penuh tiap hari. Artinya, orang yang terbiasa dengan IF kadang melaporkan kurang lapar, meski perlu diingat reaksi tiap orang berbeda.
Kortisol (Hormon Stres)
Kortisol memiliki ritme sirkadian pagi-malam. Saat berpuasa jangka panjang, tingkat kortisol bisa naik. Penelitian puasa total beberapa hari menunjukkan peningkatan produksi kortisol serta pergeseran puncaknya ke sore hari. Artinya, puasa sangat lama (>24 jam) adalah stres bagi tubuh. Namun, puasa harian moderat seperti Ramadan (puasa dini hari, makan malam) umumnya tidak mengubah kadar kortisol secara signifikan. Intinya, intermittent fasting yang normal (misal 16:8) biasanya tidak membuat kenaikan hormon stres kronis, asalkan tetap mendapatkan istirahat dan nutrisi cukup saat jendela makan.
Risiko dan Pertimbangan Jangka Panjang
Meskipun banyak manfaat, IF tidak tanpa risiko potensial. Sampai saat ini, bukti jangka panjang tentang keamanan IF masih terbatas. Beberapa hal perlu diperhatikan:
- Adaptasi Ritme Tubuh: Perubahan pola makan bisa mengganggu ritme sirkadian jika tidak teratur. Suatu kajian menyebut gangguan ritme makan bisa meningkatkan stres oksidatif dan resistensi insulin. Maka, lakukan puasa dengan pola yang konsisten dan terencana agar tubuh bisa beradaptasi.
- Efek Stres Fisiologis: Puasa terlalu ekstrem atau terlalu lama dapat meningkatkan hormon stres (kortisol). Kortisol tinggi kronis berisiko memicu inflamasi dan gangguan metabolik. Penting mendengarkan sinyal tubuh – jika lelah berlebihan, pusing, atau susah konsentrasi, mungkin perlu menyesuaikan jendela makan.
- Keseimbangan Gizi: Selama jendela makan, orang cenderung makan lebih padat kalori. Risiko kekurangan vitamin, mineral, atau serat bisa muncul jika pola makan kurang bervariasi. Selalu prioritaskan makanan bergizi tinggi (sayur, buah, protein tanpa lemak) agar kebutuhan nutrisi tetap tercukupi.
- Perempuan dan Kondisi Khusus: Wanita hamil, menyusui, atau yang punya gangguan metabolik tertentu (seperti diabetes tipe 1, gangguan tiroid) perlu hati-hati. Beberapa laporan anekdotal menyebut IF kadang mempengaruhi siklus menstruasi jika lemak tubuh turun drastis. Konsultasi dengan dokter dianjurkan sebelum memulai IF dalam kasus tersebut.
- Potensi Gangguan Makan: Bagi beberapa orang, pola makan ketat bisa memicu kecenderungan makan berlebihan saat jendela makan atau stres psikologis. Faktor psikologis ini penting diperhatikan agar puasa tidak berbalik memicu gangguan makan.
Secara keseluruhan, IF cenderung aman bila diterapkan dengan bimbingan dan pemantauan. Para peneliti menekankan bahwa data jangka panjang masih kurang. Sehingga IF harus dilakukan secara bijak: teratur, tidak berlebihan, dan selalu menyertakan pola makan sehat serta konsultasi profesional bila perlu.
Kesimpulan
Intermittent fasting dapat menjadi alat efektif untuk manajemen berat badan dan perbaikan beberapa parameter metabolik, terutama jika diiringi pola makan sehat. Penelitian menunjukkan IF mampu meningkatkan pembakaran lemak dan terkadang memperbaiki sensitivitas insulin serta profil lipid. Dampak pada hormon seperti insulin, leptin, dan kortisol umumnya positif atau netral—sensitivitas insulin sering meningkat, leptin turun sejalan dengan kehilangan lemak, dan kortisol hanya meningkat jika puasa terlalu ekstrem. Namun, manfaat ini datang dengan catatan potensi risiko jika tidak dilakukan hati-hati. Sebaiknya IF dijalankan secara bertahap dan konsisten, serta didampingi asupan nutrisi cukup. Pada akhirnya, IF bukanlah metode tunggal, melainkan bagian dari gaya hidup sehat yang holistik.