Quarter Life Crisis dan Prasangka Baik – Banyak yang mengatakan fase terberat dalam hidup adalah di usia dua puluhan. Fahd dalam bukunya “Muda, Berdaya, Karya Raya!” menuliskan “Fase terberat dalam hidup adalah usia dua puluhan, jika seseorang berhasil melewati fase ini dengan baik, hidup akan baik-baik saja hingga akhir. Jika gagal, segalanya menjadi lebih berat lagi di fase berikutnya”.
Quarter Life Crisis
Diakui atau tidak usia 25-an dan awal 30-an banyak orang mengalami krisis hebat, termasuk diri saya sendiri. Tentang hidup yang kadang tidak sesuai dengan ekspektasi, tentang penemuan jati diri, tentang menjadi cocok atau tidak dengan lingkungan, dan tentang menemukan kompas untuk melangkah ke masa depan.
Sementara kita sibuk di antara dilema, bersenang-senang atau bekerja keras? Pacaran atau menikah saja? Bekerja atau berwirausaha? Memanjakan diri atau menabung?
Di fase ini orang menyebutnya Krisis Perempat Usia atau Quarter Life Crisis.
Baca juga: Self Love dan Komentar Negatif Orang-Orang di Sekitar Kamu
Seringkali, saya memimpikan hidup sempurna dengan segala ekspektasi. Melihat kehidupan orang lain di puncak ketinggian, seolah tak ada hambatan, serta melihat hidup orang lain di media sosial dengan berbagai pencapaian, kadang membuat diri saya kecil dan insecure.
Melihat teman yang lulus kuliah dari kampus ternama, melihat teman yang mendapatkan pekerjaan yang mapan dengan gaji besar, melihat teman di media sosial yang traveling dengan segala fasilitas mewah, juga melihat teman yang sudah menikah dan memiliki anak yang lucu. Sementara kita merasa di titik diam seolah tidak bergerak sama sekali.
Tak bisa dipungkiri, saat ini dengan bermodalkan kuota kita bisa mengamati siapa saja di media sosial. Memang benar peribahasa “rumput tetangga kelihatan selalu lebih hijau“. Akan tetapi, perhatikanlah kata “kelihatan”. Kelihatan memang kata yang kurang pasti. Kita tidak bisa mengetahui pasti seberapa dalamnya, bagaimana pastinya, dan kita hanya bisa menerawang, juga mengira-ngira saja.
Pernahkah kita berpikir di balik itu. Sebenarnya mereka memiliki kesulitan dan kebingungan seperti kita. Mereka juga memiliki kesusahan, kepayahan, lelahnya hidup dan banyaknya cobaan. Hanya saja kita tidak mengetahui ujian mereka yang mereka bagikan adalah kebahagiannya, bukan ujiannya. Di balik itu semua, percayalah semua memiliki ujian yang di hadapi. Semua merasakan jalan terjalnya yang tidak sesuai dugaan kita. Tidak ada yang tidak diuji, hanya saja kadarnya berbeda dan cara kita menyikapinya juga berbeda-beda.
Baca juga: Alasan Pentingnya Positive Self-Talk bagi Diri Sendiri
Cobalah Berprasangka Baik
Sebenarnya membandingkan hidup kita dengan orang lain hanya akan menemui labirin-labirin tanpa ujung. Tidak akan ada habisnya, apalagi standar kebanyakan orang pasti berbeda, tidak pernah ada ukurannya.
Memang tidak sepatutnya kita membandingkan hidup kita dengan orang lain, karena kita adalah pemeran utama dalam sebuah film yang kita buat. Apa yang patut dan layak kita bandingkan adalah diri kita sendiri. Apakah sudah lebih baik dari yang dulu? Apakah sudah lebih baik dari yang kemarin? Kemudian, apakah ada kemajuan karakter yang kita perankan, atau apakah ada character development dari episode-episode yang sudah kita lalui? Jangan sampai karena terlalu sibuk membandingkan diri dengan orang lain membuat kita lupa akan mengevaluasi diri sendiri. Sibuk membandingkan diri hingga lupa bahwa kita juga berhak berbahagia atas apa yang kita punya, bersyukur atas apa yang kita miliki sekarang.
Editor SEO: Daliana Fehabutar
Illustrator: Salman Al Farisi