“Kuliah di kampus mana saja itu sama, semuanya tergantung orangnya”
Pernah dengar pernyataan itu atau pernyataan lain yang senada dengan itu? Jika iya, segera tutup kuping kalian rapat-rapat. Faktanya, pernyataan di atas tidak lebih dari kalimat penghibur bagi mereka yang telah gagal berjuang untuk masuk ke kampus impiannya.
Mungkin saya atau bahkan banyak dari kalian juga terlambat menyadari bahwa lingkungan pendidikan dapat dikatakan sebagai langkah awal dalam mempermudah karir di masa depan. Hal itu sulit dibantah, terlebih bagi kita yang tinggal di Indonesia. Tentunya kita sama-sama tahu bahwa di negara kita ini masih terdapat kesenjangan pendidikan. Adanya kesenjangan tersebut juga berdampak pada sektor lain sehingga memunculkan sebuah efek domino yang tiada akhir.
Pernahkah kalian mengikuti seleksi masuk kampus-kampus di Indonesia? Jika iya, apa yang membuat kalian tertarik dengan kampus tersebut? Fasilitas? Kompetensi pendidik? Atau hal lain yang pada intinya menjadikan alasan kampus tersebut terlihat lebih unggul di mata kalian dibandingkan kampus lain.
Pada dasarnya, tidak ada yang salah akan hal itu. Setiap orang punya hak untuk memilih mana yang terbaik untuk dirinya, tetapi pernahkah kalian berpikir sejenak, jika semua orang berlomba-lomba masuk ke kampus yang katanya terbaik itu, lalu bagaimana nasib kampus-kampus lain?
Sederhananya, kampus-kampus yang namanya bahkan tidak kalian ketahui itu pada akhirnya akan kesulitan mendapat mahasiswa/i berkualitas. Berkurangnya mahasiswa/i yang berkualitas pada kampus tersebut pada akhirnya menyebabkan menurunnya akreditasi. Menurunnya akreditasi kampus berakibat pada penurunan peminat dan pemasukan keuangan kampus untuk menunjang kelayakan fasilitas pembelajaran. Menurunnya kelayakan fasilitas pembelajaran, baik secara langsung atau tidak, akan berdampak pada kompetensi alumni sebagai produk dari kampus tersebut yang pada akhirnya menjadikan mereka kesulitan masuk ke dunia kerja atau sektor industri. Sehingga lambat laun sektor industri akan memberikan catatan kepada kampus-kampus terakreditasi rendah tersebut yang menandakan produk dari kampus tersebut tidak berkualitas dibandingkan kampus lain. Sehingga pada ujungnya kampus tersebut benar-benar semakin tenggelam. Bukan hanya karena sepinya peminat, melainkan juga karena alumni sebagai produk dari kampus tersebut dianggap barang kelas dua atau lain sejenisnya dalam sektor industri. Dan fase atau tahapan diatas akan terus berulang, bahkan mungkin sampai kampus tersebut hilang dari peradaban.
Sebaliknya, jika kalian menempuh pendidikan di kampus yang memiliki akreditasi unggul, tentunya hal tersebut akan memudahkan kalian untuk memulai karir satu langkah lebih dulu dibandingkan dengan teman-teman kalian yang menempuh pendidikan di kampus yang terakreditasi rendah.
Selain jaminan kemudahan membangun karir, mereka yang kuliah di kampus berakreditasi unggul tentunya akan mendapat banyak kemudahan, baik dari segi fasilitas penunjang kuliah, kompetensi pendidik yang terjamin, lingkungan pendidikan yang kondusif, dan lain sejenisnya yang mana semua itu berujung pula pada kemudahaan membangun karir di masa depan.
Dan itulah contoh sederhana dari efek domino yang terjadi akibat adanya kesenjangan pendidikan di Indonesia. Bagi kampus yang memiliki nama dan akreditasi unggul, tentu ini sangat menguntungkan bagi mereka. Namun, bagaimana dengan kampus terakreditasi rendah?
Jangankan untuk bersaing meningkatkan kualitas, para dosen dan tenaga pendidik lainnya pun tampaknya lebih sibuk mencari kerja tambahan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Akibatnya, mahasiswa mau tidak mau harus mencari bahan pembelajaran sendiri untuk meningkatkan kualitas diri di perpustakaan. Akan tetapi, lagi-lagi kampus dengan akreditasi rendah sulit rasanya untuk menyediakan bahan bacaan sebanyak dan selengkap kampus akreditasi unggul. Jika masih “ngeyel” untuk cari bahan pembelajaran di jurnal atau situs web internasional, mohon maaf, Nomor Induk Mahasiswa (NIM) atau Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) kalian tidak akan bisa berbicara banyak. Jangankan untuk mengunduh bahan bacaan dan bahan pembelajaran, bisa masuk situs web yang dituju saja rasanya sudah perlu bersyukur.
Dengan adanya ironi seperti di atas, maka akan muncul pertanyaan “Emang segitunya kesenjangan yang ada di kampus-kampus Indonesia?”
Ya, kurang lebih seperti itu. Setidaknya itu berdasarkan pengalaman dan cerita dari mereka yang sudah lebih dulu masuk dunia perkuliahan.
Masih belum percaya adanya kesenjangan?
Baiklah. Saya beri contoh lain. Setiap mahasiswa/i di kampus mana pun di Indonesia tentunya memiliki NIM/NPM yang biasanya dapat diketahui melalui Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Apa sih manfaat dari KTM itu? Jawabannya tergantung di mana kalian berkuliah. Jika kalian kuliah di kampus akreditasi rendah seperti yang sebelumnya telah dijelaskan, KTM kalian tidak lebih sebagai tanda pengenal sekaligus penghias isi dompet kalian. Bahkan, kalian pun bisa dibilang lupa kalo memilikinya saking tidak pernah keluarnya dari dompet kalian. Sekalipun keluar paling hanya untuk mengakses perpustakaan kampus, yang lagi-lagi itu pun kalau kampus kalian memiliki fasilitas perpustakaan yang layak.
Lalu, apa bedanya dengan KTM dari kampus akreditasi unggul? Ya, jawabanya sederhana. Di kampus akreditasi unggul, KTM tidak hanya sebagai tanda pengenal dan penghias isi dompet, melainkan juga dapat digunakan sebagai absensi kehadiran saat di kelas bahkan dapat menjadi uang elektronik untuk berbagai pembayaran. Contoh nyata dari KTM yang dimaksud tersebut dapat dilihat pada kampus kuning di kota Depok, yang tentunya soal akreditasi tidak perlu diragukan lagi.
Pada akhirnya, kita harus sadar bahwa ternyata kesenjangan dalam dunia pendidikan itu ada, tinggal bagaimana kita menyikapi kesenjangan tersebut. Apakah kita akan berlomba untuk mendapatkan tempat terbaik atau justru sebaliknya. Tulisan ini sendiri tidak bermaksud untuk menjatuhkan atau mempromosikan kampus tertentu, melainkan hanya mencoba memberikan gambaran sederhana terkait apa saja perbedaan fasilitas yang akan didapat bila adik-adik kita yang saat ini SMA ingin membuktikan pernyataan “kuliah di kampus mana saja itu sama, semuanya tergantung orangnya”.
Saat ini, saya hanya mencoba membedakan dari segi fasilitas dan efek domino yang dihasilkan. Saya belum menjelaskan secara detail terkait keuntungan lain yang bisa didapat dari kuliah di kampus berakreditasi unggul. Jadi bagaimana menurut kalian? Masih percaya dengan pernyataan di atas atau tidak?
Editor: Widya Kartikasari
Illustrator: Salman Al Farisi