Siapakah Kaya dan Siapakah Miskin? – Beberapa waktu lalu, masih dalam keadaan pandemi dengan mayoritas keadaan sosial serba sulit dan kekurangan, masyarakat dihibur oleh salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang entah apa makna dan motivasinya membeberkan jumlah pendapatannya. Adanya pengakuan tersebut menimbulkan pertanyaan besar, terutama bagi orang-orang awam yang selalu mempertanyakan se-berisiko apa pekerjaan tersebut. Lucunya tak hanya dari masyarakat umum, bahkan dari partai yang menjadi naungannya sendiri juga memberi arahan. Hingga akhirnya sang politikus yang juga seorang penyanyi perempuan itu meminta maaf.
Terlepas dari gaji selangit yang meskipun kita membahasnya juga tidak akan kecipratan, marilah kita mencoba memaknai kembali, memperjelas arah dan tujuan akan keinginan dan angan-angan kita terhadap “uang”, “gaji” ataupun “kaya”. Agar suatu hari nanti, jika kita melihat lagi kasus “pamer gaji” oleh pejabat pemerintah, kita tidak menyebutnya sebagai kaya ataupun mewah, melainkan biasa-biasa saja.
Saya setuju jika kata “kaya” dapat diturunkan maknanya menjadi sesuatu yang banyak. Namun, saya juga setuju bahwa kaya tidak dapat diukur dari banyaknya harta yang dimiliki saja. Kaya adalah perihal jiwa. Bahwa di dalam jiwa itulah letak kekayaan. Bahwa kekayaan adalah mentalitas yang diciptakan oleh orang yang memang merasa punya, cukup, dan mau berbagi kepada sesamanya. Bahwa jika ada yang terus menerus mencari harta, terus menerus merasa kurang, kikir, pelit, rakus, dan tak mau berbagi, maka sebenarnya itu adalah mentalitas miskin, terlepas dari seberapa bayak harta yang dimiliki.
Dengan menancapkan dalam diri kita bahwa kaya adalah suatu mentalitas yang terbentuk dalam jiwa, kapanpun kita menerima informasi tentang beratus-ratus atau bermilyar gaji seseorang, kita tak buru-buru gusar tak buru-buru menginginkan hal itu, melainkan bersikap biasa saja karena di dalam diri kita terdapat kekayaan yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang yang bergaji besar sekalipun, yaitu kekayaan hati.
Ada sebuah kutipan dari seorang Emha Ainun Nadjib, “Bila air yang sedikit dapat menyelamatkanmu dari rasa haus, tak perlu meminta yang banyak, barangkali itu bisa membuatmu tenggelam”.
Memaknai kalimat itu secara pribadi, penulis menemukan adanya relativitas dalam memandang kebutuhan bagi setiap manusia. Batas itu terletak pada rasa syukur dan rasa kecukupan pribadi seorang manusia yang kemudian akan menyelamatkan dirinya sendiri dari rasa kikir, serakah dan berlebih-lebihan yang mungkin akan menjadi serangan bagi dirinya sendiri. Perasaan sederhana, merasa cukup dan kaya hati menjadi alasan Tuhan untuk terus mengisi keberkahan. Bahwa harta yang dipamer-pamerkan tidak akan menggoyahkan hati kita yang sudah kaya, dan kita tidak perlu sibuk bertanya apakah pekerjaan menjadi DPR lebih berisiko dari guru, kuli bangunan, petani, tukang becak ataupun profesi lain yang membanting dirinya sendiri tanpa tunjangan apapun dan aspirasi apapun kecuali rahmat Tuhan yang memang mudah datang kepada orang-orang yang lebih tau bagaimana cara mensyukuri kehidupan. Tidak ada lagi berita-berita aneh soal kinerja pejabat negara yang sedang dalam kesibukannya di tempat-tempat tertentu, tugas-tugas tertentu, hal-hal tertentu yang tak kita tahu, dan kemudian terciduk di kasus tertentu. Dan jangan sampai profesi-profesi lain memamerkan sesuatu kecuali kebesaran jiwa dan ketulusan hati saja.