Privilege Bukan Syarat Mutlak Meraih Sukses

Privilege Bukan Syarat Mutlak Meraih Sukses

Privilege Bukan Syarat Mutlak Meraih Sukses – Ketika saya iseng-iseng menelusuri explore di Instagram, saya menemukan satu unggahan yang terbilang sangat menarik. Unggahan tersebut menyatakan bahwa yang namanya sukses itu ternyata dipengaruhi oleh privilege yang didapat oleh seseorang. 

Berbicara lebih lanjut terhadap unggahan yang saya lihat tersebut ada beberapa contoh yang diambil. Mulai dari Nadiem Makarim, Bill Gates, Mark Zuckerberg, hingga Maudy Ayunda. Dijelaskan bahwa orang-orang tersebut bisa meraih kesuksesan berkat privilege yang dimilikinya, yakni berupa latar pendidikan serta kondisi keluarga mereka.

Bagi yang belum tahu, privilege atau dalam Bahasa Indonesianya disebut sebagai privilese dapat diartikan sebagai keistimewaan atau keunggulan yang dimiliki oleh seseorang. Sederhananya sih bisa disebut sebagai modal untuk sukses lah. 

Saya sendiri tak bisa memungkiri jika privilege memainkan peran yang besar terhadap kesuksesan seseorang. Meskipun demikian, saya menganggap jika privilege tak ubahnya seperti sebuah kendaraan. Sementara orang yang diberi privilege adalah supir.

Baca juga: Hidup di Jakarta: Pilihan atau Tuntutan?

Untuk mencapai tempat yang dinamakan kesuksesan, tetap tergantung kepada supir yang diberi privilege. Jika sang supir tak mau mengemudikan privilege dengan baik, maka dia tak akan bisa atau sulit mencapai kesuksesan. Bahkan dia bisa saja disalip atau ditinggal oleh orang-orang yang tak punya privilege sepertinya.

Dengan analogi yang telah dijelaskan sebelumnya, jangan sampai tidak punya privilege membuat kita menjadi insecure apalagi sampai putus asa. Setiap orang di muka bumi ini berhak untuk meraih kesuksesan. Tidak peduli dia datang dari latar belakang apa. Yang terpenting, dia mau berusaha serta berdoa.

Berbicara soal privilege dan kerja keras, setidaknya saya ingin membandingkan diri dengan salah satu teman sewaktu SMA dahulu, Jane. Kebetulan saya dan Jane merupakan alumni dari salah satu SMA terkemuka di Lampung. Banyak dari alumni SMA saya yang mampu melanjutkan pendidikan di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) terkemuka di Indonesia.

Baca juga: 5 Bahaya Name Dropping Berlebihan, Adakah Tandanya pada Dirimu?

Meskipun demikian, nasib saya dan Jane benar-benar berbanding 180 derajat. Saya sendiri gagal menembus PTN mana pun. Sementara Jane berhasil menembus Universitas Gadjah Mada (UGM). Bahkan dia berhasil menjadi salah satu lulusan terbaik dari universitas tersebut.

Saya sendiri tidak merasa heran dengan apa yang dicapai oleh Jane. Selama menjadi temannya, saya mengenal dia sebagai salah satu murid terpintar di kelas. Bahkan di level angkatan saya saja, Jane adalah salah satu murid unggulan. Kepintarannya bisa diadu dengan murid-murid dari kelas lainnya.

Meskipun demikian, hal tersebut tak serta merta membuat Jane masuk ke PTN dengan mudah. Sebelum diterima di UGM, ternyata dia pernah mengalami kegagalan untuk menembus universitas tersebut via jalur SNMPTN dan SBMPTN. 

Saya yang mengetahui kegagalan Jane menembus UGM via postingan Facebook miliknya benar-benar merasa terkejut. Bak tersambar petir di siang bolong rasanya. Bagaimana tidak, mayoritas teman sekelas saya berhasil lolos PTN melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN. 

Singkat cerita, Jane pun mencoba tes UM (Ujian Masuk) UGM dan PKN STAN. Pada akhirnya, dia berhasil diterima di Fakultas Kedokteran Gigi UGM. Lalu dia juga berhasil lulus dalam tes PKN STAN. Benar-benar luar biasa!

Kesuksesan Jane untuk menjadi mahasiswa UGM tidak bisa dilepaskan dari kerja kerasnya. Sewaktu masih duduk di bangku SMA, Jane mengikuti berbagai kursus agar menembus universitas yang melahirkan sosok seperti Pak Jokowi. Dia tidak hanya mengandalkan nama besar maupun modal pendidikan dari sekolahnya saja.

Andai Jane mengikuti saya, mungkin saja dia tidak akan menembus UGM. Pasalnya, saya tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk mengamankan satu kursi di PTN. Dalam hal ini, saya tidak memetakan serta menjalankan strategi belajar yang baik dan juga efektif. Saya cenderung bersikap naif dan juga malas-malasan. Kalaupun belajar, saya juga hanya mempelajari materi-materi yang disukai.Pada akhirnya, saya ingin kembali menegaskan bahwa privilege bukan faktor utama yang menentukan kesuksesan seseorang. Lagipula saya pernah melihat unggahan seorang influencer di Linkedin yang mengatakan bahwa yang namanya privilege bisa dibangun melalui koneksi yang intens. Tapi ingat, jangan sampai jatuhnya menjadi panjat sosial alias pansos ya. Hehehe.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Natasha Evelyne Samuel

Bagikan di:

Artikel dari Penulis