Hidup di Jakarta: Pilihan atau Tuntutan? – Memasuki tahun keenam tinggal di Jakarta, saya kembali bertanya perihal alasan logis yang mengharuskan saya terus melanjutkan hidup di kota ini. Saya lupa persis peristiwa apa yang membawa saya ke kota yang konon metropolitan, yang saya ingat hanya euforia kelulusan SMA dan ekspektasi bekerja di ibu kota yang sering dituturkan dengan sangat fasih oleh para perantau ketika bertandang ke kampung halaman.
Memang, Jakarta sampai hari ini masih menjadi tujuan favorit mayoritas pelancong dari desa kami, disusul Bekasi, dan Tangerang menempati posisi ketiga. Lah kok jadi kaya lomba, ada juara-juara gitu?
Lanjut. Berbekal sempitnya informasi tentang Jakarta, lantas saya memberanikan diri nebeng mobil pick up milik salah seorang tetangga yang kebetulan bekerja di bilangan Jakarta Selatan. Saya cuma menyodorkan selembar kertas berisi alamat seorang kerabat untuk kemudian diantar ke sana. Barangkali, itulah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Jakarta. Tanah yang seperti dilansir oleh kompas.com, per meter persegi dibanderol seharga Rp65 juta sampai dengan Rp70 juta. Sebut saja seperti kawasan Sudirman Center Business District (SCBD), Senayan, Kebon Melati dan Menteng.
Baca juga: Tantangan Menjadi Minoritas di Tengah Kota yang Mayoritas Rival
Jakarta Bukan Pilihan, Melainkan Satu-satunya.
Arus urbanisasi setiap tahunnya terus menghantui Pemerintah DKI. Selain dinilai cukup ‘seksi’, hal itu diperparah oleh tabiat para perantau yang masif mengajak rekan dan famili dari kampung halamannya sehingga terbentuk semacam kultur turun-temurun bahwa Jakarta menjadi satu-satunya kota tujuan untuk kaum urban. Hal itulah yang mungkin terjadi dengan saya juga kawan-kawan lainnya, yang terpikirkan setelah lulus SMK, ya, berangkat ke Jakarta. Tidak begitu peduli apakah ada kota lain sebesar dan seterkenal Jakarta, tak begitu penting apakah kota kelahiran ternyata belakangan lebih menyenangkan dan membikin rindu selepas ditinggal, tak berpikir panjang bahwa ternyata meninggalkan kekasih di kampung halaman cukup melelahkan hati dan pikiran. Haha.
Jakarta Selatan dan Tegal Bagian Selatan.
Untuk satu gelas kopi yang sama, jangan ditanya harga sudah tentu jauh berbeda. Di Tegal bagian selatan, saya cukup merogoh kocek sebesar Rp10 ribu untuk segelas hot americano, sementara di Jakarta Selatan, mesti menggelontorkan empat hingga lima kali lipatnya, itu belum termasuk PPN sebesar 10 persen.
Itu baru untuk satu gelas kopi, belum printilan-printilan lain, seperti sewa kos, bayar listrik, air, sampai transport. Hal tersebut mesti diperhitungkan secara matang-matang.
“Tapi kan, standar upah minimum DKI Jakarta gede, toh?”
Percaya atau tidak, untuk menyentuh upah di angka Standar Upah Minimum itu tidak semudah yang kita sangka, terutama bagi teman-teman yang bekerja di sektor UMKM. Upah mereka ditetapkan hanya melalui kesepakatan lisan yang kemudian secara otomatis diamini oleh pekerja. Sebuah ironi, bahwa ternyata masih banyak pekerja yang dibayar di bawah upah minimum pekerja.
Hal tersebut dibuktikan dengan Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2021, sebanyak 49,67 persen pekerja masih digaji di bawah upah minimum. Artinya, hampir separuh dari total pekerja di Indonesia dibayar di bawah standar.
Tulisan ini terlihat seperti ibu-ibu yang sedang ngomel, atau bapak-bapak yang sedang sambat?
Memang betul, barangkali tulisan ini mewakili sambatan bapak-bapak yang selama ini suaranya menghiasi pos-pos ronda, atau omelan ibu-ibu di lapak tukang sayur. Sekaligus memberi kabar bahwa hidup di Jakarta itu enak, cuma senggak enak-enak banget.
Editor: Widya Kartikasari
Illustrator: Natasha Evelyne Samuel