Keunikan Bahasa Terkadang Rentan Menimbulkan Salah Paham – Dahulu, tahun pertama menginjakkan kaki di salah satu Pondok Pesantren yang terletak di Paciran, Lamongan, ada salah satu teman asli Paciran yang dengan panjang lebar bercerita tentang ayahnya. Terdapat satu kata yang selalu diulang-ulang oleh teman saya tersebut, yakni ‘misuh’. “Bapak misuh-misuh enggak karu-karuan.” Begitu kurang lebih dia menggunakan kata ‘misuh’ dalam salah satu kalimatnya yang mampu saya ingat.
Berulang-ulang kali saya mbatin, “Kok bisa sih, orangtua misuhi anaknya? Sejengkel apapun dia, semenyebalkan apapun anaknya, misuhi itu bukan suatu pilihan yang baik, apalagi bijak!”
Usut punya usut, ternyata kata ‘misuh’ yang diucapkan teman saya itu berbeda secara makna dengan kata ‘misuh’ yang saya pahami selama ini. ‘Misuh’ menurut pemahaman saya adalah sejenis kata tertentu yang kasar dan jorok seperti kata Jancok. Sedangkan teman saya memaknai kata ‘misuh’ sama dengan marah, kalau memisuhi berarti memarahi. “Bapak misuhi aku” itu bukan berarti bapaknya melontarkan kata-kata kasar seperti Jancok, Picek dan yang lainnya, melainkan bapaknya memarahinya entah bagaimanapun cara memarahinya.
Baca juga: Panduan Mengobrol dengan Bapak-Bapak
Padahal, daerah tempat saya tinggal dan daerah tempat teman saya tinggal itu masih satu kabupaten, ternyata banyak juga kata-kata yang dimaknai secara berbeda. Berdosa saya yang sudah men-judge dan berasumsi yang tidak-tidak mengenai bapak teman saya itu.
Kata itu bersifat arbitrer (sewenang-wenang)—lambang yang berupa bunyi yang tidak memberi ‘saran’ atau ‘petunjuk’ apapun untuk mengenal konsep yang diwakilinya. Semisal gagasan ‘rumah’ dengan konsep ‘tempat tinggal manusia’ tidak ada hubungan intern sama sekali dengan urutan bunyi r-u-m-a-h yang merupakan penandanya. Penanda dapat diungkapkan oleh bentuk apapun—kata juga akan berubah maknanya jika disandingkan dengan kata lain.
Bahasa sederhananya, selain memiliki makna tekstual, kata juga memiliki makna kontekstual. Untuk mencapai keutuhan makna, atau mendekati maksud dari penutur, kita tidak bisa semata-mata hanya mengandalkan makna etimologinya saja, melainkan juga makna secara terminologi sekaligus.
Masih berkaitan dengan bahasa, suatu kali saya tengah berbincang-bincang dengan adik perempuan saya yang masih duduk di bangku Aliyah. Kita lagi membicarakan mengenai pernikahan salah seorang sepupu laki-laki yang tidak lama lagi akan berlangsung di pertengahan Februari tahun ini. Kebetulan perempuan yang dinikahinya adalah teman saya sewaktu duduk di sekolah menengah atas. Belum lagi tetangga belakang rumah juga akan menikah dengan kakak kelas saya di sekolah dulu.
Saya spontan bilang begini, “Besok bakal banyak orang nih.” Maksud saya, besok di desa saya itu jadi banyak teman saya. Namun, adik saya dengan karakter ketusnya bilang, “Yo emboh, orang enggak pernah ngado kok berharap banyak orang yang datang di pernikahannya.” Mendengar hal itu, perasaan saya seketika ngilu, bagai tersayat sembilu, karena saya mengira bahwasanya kalimat adik saya itu ditujukan ke saya—karena memang saya jarang datang ke acara pernikahan jika diundang, yah salah satunya karena status saya sebagai mahasiswa pengangguran yang uang masih minta orangtua, mau ngamplop dua puluh ribu sungkan, mau lebih dari itu enggak punya uang, haha—akhirnya terjadilah kesalahpahaman itu. Kita yang awalnya makan sambil ngomong ngalor-ngidul dibarengi ketawa-ketiwi seketika hening—walau akhirnya kita baikan lagi.
Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan adik saya yang salah memahami maksud saya karena kalimat yang saya lontarkan tidak utuh, masih ambigu. Tanggapan pertamanya saja salah, sudah bisa dipastikan tanggapan-tanggapan berikutnya akan jauh melenceng dari pernyataan awal.
Dari kejadian itu, saya dapat menyimpulkan bahwasanya pemahaman seseorang terkait dengan teks, baik yang ditulis atau dituturkan, tidak serta merta karena bahasa saja, melainkan juga kondisi psikologis pengirim dan penerima pesan. Tidak hanya itu, keadaan ketika teks itu dituturkan pun turut memengaruhi. Semisal kita berbicara di tempat yang ramai dengan jarak yang relatif jauh, tentu hal itu juga akan berpengaruh terhadap kualitas bunyi yang ditangkap oleh penerima pesan. Faktor lainnya lagi yang dapat memengaruhi keutuhan makna adalah faktor biologis. Semisal salah satu dari pihak yang berkomunikasi itu memiliki gangguan pendengaran, hal ini tentu juga akan berpengaruh terhadap bagaimana ia merespon informasi yang ditangkap.Jadi, walaupun fungsi utama bahasa adalah untuk berkomunikasi, yang penting saling ngerti apa yang dimaksud satu sama lain, perlu digarisbawahi bahwa untuk mencapai ‘saling mengerti’ itu adalah dengan mematuhi aturan bahasa yang telah ditetapkan. Ingat kata Ferdinand—ahli linguistil modern—selain bersifat arbitrer bahasa juga bersifat konvensional.
Editor: Widya Kartikasari
Designer: Design by Ghani