Indonesia dan Argentina: Kembar Perkara Gila Bola – Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kegilaan warganya akan cabang olahraga paling populer seantero dunia, sepak bola. Sepak bola Indonesia akhir-akhir ini terus memancing atensi media nasional hingga internasional. Hal ini sejalan dengan terukirnya catatan sejarah yang sebelumnya belum pernah terwujud. Sebut saja lolos dan bermain di Piala Asia yang telah menjadi dambaan kontestasi yang telah lama dirindukan. Kebanggaan ini semakin menjadi istimewa ketika Indonesia lolos babak kualifikasi, yang selama ini menjadi tembok besar untuk dapat turut berpartisipasi di turnamen paling bergengsi di benua Asia itu. Tim Indonesia, yang dinilai sebagai tim terlemah di turnamen, menjelma menjadi black horse yang lolos ke babak 16 besar. Di Piala Asia U23, Indonesia nyaris menjadi finalisasi turnamen dan lolos ke Olimpiade Paris.
Berbagai prestasi sepak bola Indonesia di hampir seluruh lini usia, yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh negara dengan kegilaan bolanya ini, menciptakan kemeriahan di setiap laga timnas. Kemeriahan ini menyeruak seolah tim Indonesia tengah berlaga di babak final World Cup. Bahkan, kerupawanan para punggawanya pun mencuri perhatian khusus para kaum kartini. Meskipun, tetap saja, hal ini akan terus membawa perdebatan-perdebatan kecil di baliknya. Fans fomo, suporter karbitan, serta munculnya pelatih-pelatih online menjadi bumbu-bumbu lucu yang begitu asyk untuk diperbincangkan.
Baca juga: Memahami Piala AFF, Bukan Hanya Soal Sepak Bola namun Juga Gengsi antar Negara ASEAN
Kecintaan warga Indonesia dengan sepak bola sebenarnya tak jauh beda dengan Argentina. Kegilaan sepak bola itu pun bahkan sampai saya bawa ke tulisan ini. Dengan membandingkan dua negara dengan kultur sepak bolanya yang teramat kental dan istimewa dengan instrumen sederhana, ternyata cerita timnas Indonesia dan Argentina rada-rada mirip, loh.
Kala Kalah
Berbagai isu-isu sepak bola di negeri ini selalu begitu menarik. Oknum-oknum suporter yang suka menghujat pemain setelah bermain kurang memuaskan, menjadi salah satu ulasan yang menarik mengapa saya mengatakan Argentina dan Indonesia sebagai saudara kembar. Hujatan-hujatan ini membuat saya mengingat kembali peristiwa Lionel Messi CS yang gagal memenuhi ekspektasi masyarakat negeri Tenggo, sebab harus beberapa kali gagal mengangkat piala juara yang hanya selangkah lagi digapai. Tak bisa hilang dari ingatan, pada laga final piala dunia 2014, gol semata wayang Gotze pada menit 113’ menghantarkan Jerman menjadi juara dunia sekaligus memupuskan harapan juara Argentina pada piala dunia edisi 2014 itu. Titik tersebut menjadi pukulan yang begitu telak bagi masyarakat Argentina yang begitu menantikan piala berlapis emas itu kembali ke negaranya.
Hujatan-hujatan luar biasa dilayangkan kepada tim ini, terutama kepada mega bintangnya yang dinilai gagal mengangkat marwah tim nasional di kancah dunia. Bahkan, isu keinginan pensiunnya menjadi bumbu yang menarik kala itu. Terlebih komentar legenda Argentina, Maradona, yang bahkan meragukan kehebatan GOAT dalam dunia sepak bola ini. Kegagalan demi kegagalan diiringi cibiran kepada tim, hingga pada akhirnya asa menjadi tim terbaik mulai menemukan jalannya. Bahkan, kisah ini diabadikan dalam series dokumenter Netflix yang berjudul Captains of The World dan film dokumenter Apple TV berjudul Messi’s World Cup: The Rise of the Legend.
Sepintas terlihat, ini juga terjadi di dalam tubuh timnas Indonesia. Pemain-pemain yang tampil kurang memuaskan sesuai kehendak suporter juga dihujat habis-habisan. Sampai-sampai diserang pada akun media sosial pribadi si pemain. Meskipun demikian, tetap ada sebagian suporter yang berupaya memberikan pengertian terhadap hal tersebut dan bersikap bijak. Tapi, ya, inilah negeri yang gila akan sepak bola. Terkadang kewarasan harus dikalahkan dengan ekspektasi yang tak terwujud. Dan memang itulah artinya gila.
Tidak hilang dari ingatan bagaimana Justin Hubner (salah satu punggawa timnas) memberikan komentar atas fenomena ini, “Haha kamu tidak bisa membuat kesalahan jika bermain untuk Indonesia. Suatu hari kamu menjadi pemain terbaik, tapi di hari lain kamu bisa jadi pemain terburuk, lucu melihat beberapa komentar, tapi salam cinta untuk semua orang,” komentar Hubner di postingan Instagram jebreeetmedia. Melihat komentar yang sedikit menggelitik ini, sepertinya punggawa timnas mulai menerima dan menormalisasi kegilaan ini. Sekali lagi, masyarakat yang satu ini memang gila.
Kala Menang
Sudah saya senggol di awal bagaimana suporter Argentina memiliki reaksi yang sangat ekstrim ketika tim nasionalnya kalah dan menang. Menang seperti menjadi harga mati bagi suporter. Sesekali boleh kalah, asalkan piala menjadi jaminan transaksi gemuruh suporter dengan para punggawa.
Argentina beberapa tahun terakhir melewati jalan yang begitu curam hingga akhirnya mampu kembali ke panggung yang selayaknya diinginkan penggemar, Copa America menjadi titik awal tim ini naik ke panggung megah sebagai pemilik piala yang didambakan itu. Hingga tulisan ini ditulis, Argentina mampu menjuarai Piala Finalissima 2022, paling spesial ketika World Cup 2022, dan menjuarai kembali Copa America 2024. Di titik itulah para punggawa akan dipuja setinggi-tingginya.
Baca juga: Biografi Nol van der Vin, Pemain Sepak Bola Keturunan Belanda Pertama Indonesia
Euforia kemenangan tak pernah berubah dari sisi penggemar. Baik menyaksikan langsung ke stadion atau nobar di setiap sudut kota menjadi pilihan cara untuk memberikan dukungan gilanya. Pemandangan selebrasi gila-gilaan di setiap kota ketika sang piala berhasil diarak pulang menjadi tanda bagaimana masyarakat belahan dunia lain ini terhanyut dengan kegilaannya.
Apakah Anda menemukan kemiripannya dengan negeri ini? Ya, itu fenomena familiar yang dapat kita temukan di negeri ini. Bahkan lebih gila lagi, tim kelompok umur yang berlaga pun harus mendapat sorak sorai dukungan yang tetap tidak biasa. Timnas Day menjadi istilah yang mesti dimasukkan ke dalam list kegiatan di hari laga. Satu kemenangan seperti telah memenangkan laga final piala dunia. Bukan lebay, tapi memang begitu lah negeri yang gila dengan sepakbolanya. Level permainan tinggi dan persaingan dengan negara unggulan yang selama ini dianggap dongeng saja, mulai sekarang telah menemui jalan cara mengukir catatan sejarah itu.
Prestasi yang Belum Seiras
Dua poin di atas seakan saya menceritakan kegilaan ini hanya terpancar dari masyarakatnya saja. Tidak juga, ambisi berapi-api itu juga muncul pada tubuh skuadnya. Ambisi menjadi yang terbaik menjadi misi yang harus dituntaskan Argentina, pun dengan Indonesia. Budaya perjuangan bermain habis-habisan di setiap laga menjadi pecutan tersendiri demi kebanggaan pribadi dan negara.
Ya, bagian ini dibuat untuk menyertakan harapan baik ke dalam tulisan ini. Memang. level timnas kita belum setinggi Argentina. Akan tetapi, setidaknya dengan modal-modal yang sama ini menjadi formula dan resep spesial menuju level yang lebih tinggi itu. Dengan topangan kegilaan yang juga diselaraskan dengan kegigihan, ambisi, pengalaman historis, dan mental juara. Semoga ujung jalan timnas Indonesia akan seiras dengan cerita manis yang diperoleh Argentina, setelah jalan cerita yang curam dan suram.