Diskon Hukuman Ringan Koruptor di Tengah Pandemi
Kejahatan Korupsi
Indonesia adalah negara berlandaskan hukum, keadilan di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang. Proklamasi, negara dan hukum dirancang agar berpihak kepada rakyat dan keadilan sosial, namun yang terjadi, seringkali berlaku sebaliknya. Keuntungan negara masuk ke kantong penguasa, sementara rakyat kecil terus menderita akibat kezaliman yang tak kunjung reda. Lain di mulut, lain di hati. Lebih bejatnya lagi, rakyat kecil yang merasakan penderitaan akibat ulah mereka. Dengan adanya kondisi seperti ini, menunjukkan tujuan nasional yaitu penegakan hukum dan keadilan tidak lebih dari tinta hitam di atas kertas, sekedar ada namun tak bermakna. Nawacita terhadap penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak lebih dari strategi politik saja.
Menurut pernyataan dari ketua komisi pemberantasan korupsi (KPK) Jendral Polisi Drs. Firli Bahuri, M.Si. Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa, disebut sebagai kejahatan luar biasa karena korupsi bukan hanya merugikan uang negara, tetapi dapat berdampak pada seluruh program pembangunan. Korupsi menyebabkan kualitas pendidikan menjadi rendah, kualitas bangunan juga menjadi rendah, mutu pendidikan jatuh, serta kemiskinan tidak tertangani. Korupsi adalah kejahatan yang merampas hak rakyat, hak asasi manusia. Melakukan tindak pidana korupsi sama saja dengan melawan kemanusiaan.[1]
Saat ini tidak hanya Covid-19 yang merajalela tapi juga perilaku korupsi. Sebenarnya korupsi bukanlah masalah baru di negara ini, karena telah ada sejak era tahun 1950-an. Korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan negara. Pelaku tindak pidana korupsi juga dari berbagai kalangan, dari pelaku usaha, kepala daerah, menteri, bahkan aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi, juga pengacara. Meskipun telah memahami bahaya korupsi namun penanganan terhadap tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum ataupun pemerintahan Presiden Joko Widodo terbilang tidak serius. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang terjadi, dari kasus korupsi bantuan sosial yang menyeret mantan menteri sosial hingga kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali oleh Djoko Djandra yang melibatkan mantan Jaksa Pinangki.
Komitmen Aparat Penegak Hukum
Juliari Peter Batubara mantan menteri sosial yang saat itu masih berstatus sebagai menteri melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp32,4 miliar, lebih kejamnya lagi dana tersebut merupakan dana bantuan sosial kepada masyarakat yang menderita di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi hingga saat ini. Lucunya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) “hanya” menuntut majelis hakim agar menghukum Juliari Peter Batubara dengan pidana 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.
Jika kita merujuk pada pasal Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 tahun 1999, yang menjelaskan bahwa praktik korupsi yang dilakukan baik oleh penyelenggara negara maupun individu dan korporasi yang dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman mati. Dengan demikian dari kedudukan dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh Juliari Peter Batubara saat pandemi Covid-19 tersebut, maka hukuman yang pantas seharusnya adalah hukuman mati. Tuntutan 11 tahun penjara tersebut menunjukkan bahwa aparat penegak hukum tidak serius dalam penanganan tindak pidana korupsi, sebab pada sisi lain masyarakat menjerit karena kelaparan akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung tertangani.
Selain diskon hukuman terhadap koruptor bantuan sosial, aparat penegak hukum juga memberikan diskon hukuman terhadap Djoko Chandra dan mantan jaksa Pinangki. Djoko Chandra yang awalnya mendapatkan hukuman 4,5 tahun penjara kemudian mendapat potongan masa tahanan menjadi 3,5 tahun penjara. Menilik perbuatan jahat yang dilakukan oleh Djoko Chandra seperti melakukan tindak pidana korupsi, menyuap aparat penegak hukum, kemudian bersama dengan kroninya bermufakat jahat agar dapat melepaskan diri dari pidana yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap. Seharusnya hukuman penjara 4,5 tahun tersebut terlalu ringan.
Kemudian mantan Jaksa Pinangki pada awalnya divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, diberi diskon menjadi 4 tahun penjara oleh majelis hakim PT DKI Jakarta. Dengan adanya diskon hukuman koruptor seperti ini, aparat penegak hukum baik KPK, Kejaksaan, maupun lembaga Kehakiman telah bertindak inkonsistensi dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, terlebih lagi KPK yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan permasalahan korupsi di Indonesia.
Pengaruh Diskon Hukuman Koruptor
Adanya diskon hukuman terhadap para koruptor ini dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap wibawa aparat penegak hukum, kepercayaan masyarakat, juga terhadap efek jera bagi para koruptor. Seharusnya KPK yang dibentuk secara khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi dapat menggerakkan lembaga hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan agar lembaga-lembaga penegak hukum tersebut dapat melakukan pemberantasan korupsi lebih efektif. Apabila lembaga yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi kehilangan arah, maka itu dapat menjadi kelemahan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kelemahan tersebut dapat menyebabkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi juga mengakibatkan hilangnya efek jera bagi para pelaku. Jika aparat penegak hukum yang berwenang dalam mengatasi perilaku korupsi kehilangan wibawa, maka masyarakat akan berhenti mempercayai aparat penegak hukum dan karena hilangnya efek jera kepada para koruptor akan membuat mereka semakin berani dalam menjalankan aksi mereka. Apabila kondisi ini terus berlanjut maka dapat mengakibatkan runtuhnya Indonesia sebagai negara bermoral dan bermartabat.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Dr. Jan S Maringka bahwa dengan terlibatnya lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam suatu kasus korupsi adalah sebuah gambaran umum bahwa korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian secara finansial dan menghambat proses pembangunan, namun juga mengancam fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan korupsi dapat menjadi babak terakhir dari perjalan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat.[2]
Miris dan memprihatinkan, beginilah jejak negeri jenaka, negara yang penuh dengan orang-orang humoris, namun kehilangan panggung karena dirampas oleh pejabat bermental bandit, bertopeng demokrasi, dan berkarakter orang-orang feodal.
[1] http://www.lemhannas.go.id/08/10/2020
[2] Marinka, Jan S. 2017. Reformasi Kejaksaan dalam Sistem Hukum Nasional. Yogyakarta: Sinar Grafika