Beberapa Ciri Lulusan Sosiologi yang Rada-Rada Redflag – Anak sosiologi punya karakteristiknya tersendiri ketika sudah lulus dari masa bakti kepada tri dharma perguruan tinggi. Tapi, ada beberapa hal yang bikin lulusan sosiologi jadi rada-rada red flag, baik itu lulusan jurusan Sosiologi murni maupun Pendidikan Sosiologi.
By the way, tulisan ini dituliskan berdasarkan POV saya sebagai pribadi yang berlatar belakang Sosiologi, ya. Sehingga kata-kata yang muncul di sini murni lahir dari keresahanku atas realitas yang ada pada mahasiswa Sosiologi dan para lulusannya.
Kurang Kemampuan Literasi
Pada dasarnya, semua disiplin ilmu di muka bumi ini memang mesti memiliki seperangkat kemampuan yang satu ini. Namun, Sosiologi memiliki kekhususan yang lebih dibandingkan disiplin ilmu lain. Hal ini tidak terlepas dari Sosiologi sendiri yang lahir dari bentuk respon dan mencari jawaban pada fenomena sosial di dalam masyarakat. Proses merespon tersebut tentunya harus dibarengi dengan kemampuan literasi yang baik pula.
Baca juga: Biografi Auguste Comte, Seorang Filsuf yang Dikenal Sebagai Bapak Sosiologi
Nah, supaya kita berada pada pemahaman yang sama, perlu rasanya saya menjelaskan apa yang dikatakan dengan kemampuan literasi tersebut. Yakni kemampuan mendalam dalam kegiatan membaca dan menulis yang mencakup lima aspek: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks ataupun visual. Lima verba tersebut adalah alat fundamental yang memang mesti dimiliki seorang lulusan Sosiologi.
Sehingga, secara umum, lulusan Sosiologi yang ideal seharusnya memiliki kemampuan kritis yang matang dalam berpikir dan bertindak atas isu sosial yang terjadi dalam masyarakat. Mulai dari proses penerimaan informasi hingga memprosesnya menjadi wujud analisis. Jadi, tidak ada ceritanya, tuh, lulusan Sosiologi yang mudah kemakan hoax.
Anti Social-Social Club
Ansos di sini berarti anti-sosial, ya. Bukan introver. Introver tidak berarti ansos, kok. Anak Sosiologi seharusnya malah lebih cerdas dalam bersikap pada kondisi dan situasi tertentu, terlepas apakah ia adalah seorang introver ataupun extrover.
Apakah kalian beranggapan bahwa extrover akan lebih unggul? No! Extrover dan introver memiliki kelebihannya masing-masing. Extrover akan cenderung mudah berinteraksi sosial langsung di dalam masyarakat. Namun, dalam hal sensitivitas atas apa yang terjadi, si introver jauh lebih unggul, loh.
Nah, kalau ansos, mah, haram banget hukumnya buat anak Sosiologi. Ya, gimana ceritanya anak sosiologi yang basic-nya sosial banget, tapi anti sama kehidupan sosial? So, introvert or extrovert is doesn’t matter guys!
Anti-Politik
Sebegitu panasnya isu politik di negeri ini dari hari ke hari. Namun, ada segmen masyarakat yang memilih untuk menarik diri dari isu-isu politik ini. Mirisnya, terkadang dipopulerkan pula oleh para influencer. Bagi disiplin ilmu eksak, masih bisa dimengerti, lah. Tapi, kalau anak sosial, khususnya anak sosiologi, ini kureng banget, sih.
Baca juga: Biografi Emile Durkheim, Bapak Sosiologi Modern
Seperti kita tahu, politik yang selalu terkait dengan pembuat kebijakan akan pasti berpengaruh terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Semua fenomena sosial itu tidak akan lepas dari aspek struktural yang akan mengendalikan bagaimana arah masyarakat dari atas. Kalau tidak mengikuti dengan baik terkait isu politik yang terjadi, ya, bagaimana bisa mencapai analisis yang holistik dalam mempelajari fenomena sosial di masyarakat? Salah satu ciri ilmu Sosiologi adalah holistik, toh. Kalau tidak paham-paham amat, minimal jangan menarik diri juga.
Poin ini berbicara tentang isunya, ya, guys. Bukan memotivasi anak Sosiologi jadi salah satu bagian dari pemangku jabatan politik. Tapi, kalau memang berkompeten dan rela berjuang lewat jalur yang baik dan benar, ya, gas aja, sih.
Nomor Satu Kalau Nge-judge Individu atau Kelompok Tertentu
Toleransi seharusnya menjadi campaign terdepan yang dibawakan oleh anak Sosiologi, idealnya, gak ada ceritanya anak sosiologi yang judging-judging-an tak beralasan kepada individu dan kelompok sosial tertentu. Sebab anak Sosiologi, terlebih lulusannya, semestinya lebih pakar ketika sedang berbicara tentang keberagaman. Dan, amit-amit, jangan sampai menjadi bagian dari segmen masyarakat yang etnosentris hingga rasis. Anak sosiologi, idealnya, lebih memahami dengan dalam tentang isu perbedaan. Karena anak Sosiologi tidak mungkin lewat dari materi stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Nah, idealnya lulusan sosiologi bakal jauh dari sifat dan tindakan diskriminatif.
Alergi Akan Perubahan Sosial
Perubahan sosial di masyarakatlah yang sebetulnya melahirkan disiplin ilmu ini. Berawal dari Revolusi Industri di Perancis dengan gejolak dan dinamikanya, melahirkan revolusi yang amat cepat di masyarakat, hingga pada akhirnya Sosiologi hadir guna memahami apa yang terjadi kala itu. Sekaligus menjawab resolusi yang saat itu menjadi pertanyaan paling sulit untuk dijawab. Ya, Sosiologi ini tidak akan jauh-jauh dari perubahan di masyarakat, karena di sanalah gejala sosial itu muncul. Kalau kamu menemukan anak Sosiologi paling alergi dengan hal yang baru, nah, ini anak Sosiologi red flag, nih. Tapi, dengan catatan, bukan berarti ada tren langsung fomo mau ikutin, ya. Mesti idealis juga dengan value yang menjadi prinsip hidup.
Menurut saya, anak Sosiologi itu akan terus bersinggungan dengan isu perubahan sosial. Jadi, mau tidak mau, dia harus responsif dengan apa yang sedang terjadi hari-hari ini. Terlebih lagi dengan begitu cepatnya informasi yang berseliweran kemana-mana lewat sosial media. Lulusan Sosiologi mau tak mau harus mampu pula mengikuti isu-isu yang berkembang di berbagai platform. But, balik lagi ke poin pertama, ya, mesti memiliki kemampuan literasi yang baik juga.
Akhir kata, manusia berlabel Sosiologi ini, melalui tulisannya, hanya berharap agar teman-teman lulusan Sosiologi agar berhati-hati supaya tidak terjerat pada poin-poin yang sudah saya jabarkan di atas.