Seputar Relevansi KKN Mahasiswa hingga Kehidupan Petani Tembakau Desa Canggal

Relevansi KKN Mahasiswa

Seputar Relevansi KKN Mahasiswa hingga Kehidupan Petani Tembakau Desa Canggal

Barangkali saya keliru sejak awal, bahwa mengalami proses pendidikan strata satu atau menjadi mahasiswa hanyalah sebuah tindak lanjut agar seseorang bisa bergaya dan memakai jas almamater. Namun ternyata ketertarikan saya terhadap “nggaya” itu hilang ketika saya sadar bahwa tampang saya yang buruk rupa dan kesempatan memakai jas juga tertunda sebab benda itu hilang entah ke mana.

Barangkali saya juga sangat keliru ketika memandang universitas sebagai satu-satunya ladang belajar yang sesungguhnya. Sebab karena adanya pandemi Covid-19 saya dapat memebedakan apa itu sekolah dan belajar. Bahwa sekolah belum tentu belajar dan belajar tak harus di sekolah. Dua tahun terakhir terlihat jelas mana orang yang belajar, mana orang yang hanya sekolah, mana orang yang hanya belajar sekolah, dan orang yang konsisten tak pernah belajar.

Dalam hidup ini, saya sering mengalami kekeliruan-kekeliruan yang saya anggap hal yang lumrah dilakukan oleh seorang mahasiswa pasif, manusia pemalas seperti saya untuk terus belajar dari tingkah laku dan sikap dunia ini. Akan tetapi, sebagai mahasiswa akhir saya selalu berprasangka baik kepada kampus mengapa mereka memberi program bernama Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang beberapa waktu saya lalui sebagai bagian masa seseorang menjadi mahasiswa. Prasangka saya dan sangat saya sangat yakini kampus mengadakan kegiatan tersebut dengan makasud baik. Sebab segala hal yang ada di dunia ini tidak sia-sia dan ber-impact pada manusia meski pada kadar entitasnya.

Baca juga: Kesepakatan Lingkungan Tersukses dalam Sejarah Manusia

Pernah saya menduga bahwa KKN merupakan kegiatan sederhana yang melibatkan masyarakat dalam segala kultur aktifitasnya. Karena bagi seorang pemalas seperti saya, ber-KKN hanya berpindah tempat meletakkan kemalasan. Namun berbeda halnya yang saya rasakan hampir dua bulan itu. Entah kenapa saya terus merasa emosional dan bertanya-tanya.  Mengapa harus ada KKN di dunia ini? Dalam perjalanan pulang Temanggung-Salatiga saya terus berpikir dan menemukan sebuah analogi.

Logikanya begini, tolong kawan bayangkan kita hidup di lingkungan baru selama lebih dari 40 hari. Di mana angka 40 itu merupakan jumlah sakral bagi seseorang yang ingin memulai kebiasaan atau rutinitas yang baru. Setelah melewati proses bermukim selama lebih dari 40 hari dan terjalin suatu ikatan sosial yang unik antara kelompok kami dan masyarakat Desa Canggal. Hal itu saya alami seperti saya diwajibkan akrab dengan seseorang, namun ketika telah memiliki ikatan perasaan, kami dipaksa pulang sebab waktu dan kewajiban lain yang harus kami penuhi pula. Demikian adalah salah satu hal paling menyakitkan yang saya alami.

Tentu ikatan itu tidak kami sadari dari awal, sebab kami memang tidak bermaksud apa-apa kecuali ngunduh kaweruh bersama masyarakat. Di masyarakat dengan alamnya yang indah itu saya belajar bagaimana tanaman kopi hidup dan menghidupi masyarakat kecil. Lalu pengalaman saya bertemu petani-petani kopi dan mencicipi aneka jenis kopi serta bermacam teknik pengolahannya. Maka saya ucapkan banyak terima kasih pada waga Desa Canggal dan semua yang terlibat di dalam masa KKN sebagai subjek asah pengalaman saya.

Baca juga: Sawah Merupakan Tempat Saya Bermain Sekaligus Tempat Mencari Lauk

Kemudian saya tahu salah satu alasan masyarakat menanam tembakau adalah memang karena tembakaulah tanaman yang cocok ditanam di musim panas. Miris, melihat harga rokok yang makin melonjak sementara harga tembakau terus merosot, siapakah sebenarnya yang kaya atas transaksi pedih itu. Pemerintah, tukang pajak, petani, tengkulak atau segelintir orang yang memang diam-diam menyusup dibalik rangkai jua beli tembakau di Temanggung? Masyarakat Canggal, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung yang kami temui ini lebih dari seorang yang sering mengumbar senyum daripada tangis. Kami heran dan kagum pada orang-orang yang dapat hidup bahagia dengan kesederhanaan dan kekayaan hati, tanpa kepentingan dan maksud merugikan siapapun dalam hidupnya.

Pada akhir tulisan ini, saya melaporkan keadaan diri saya sendiri. Setelah hampir empat tahun berhenti merokok, saya memulai aktifitas itu kembali sebagai respon syukur dan pengalaman sejarah saya yang pernah hidup di masyarakat petani tembakau. Saya yang memiliki pengetahuan tentang tumbuhan tembakau, masyarakat, dan pemanfaatan tembakau ciptaan Tuhan serta dapat menikmati rokok sebagai alat yang memaksa saya untuk mengingat dan berpikir.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Natasha Evelyne Samuel

Bagikan di:

Artikel dari Penulis