Tawuran Pelajar hingga Bullying, Apa yang Salah dengan Pendidikan Kita? – Sebagai wartawan pemula yang menulis segala berita yang ada, saya dituntut untuk objektif dalam menyampaikan infiormasi yang ada. Prolog itu menjadi benteng awal bahwa saya baru saja menulis berita, tentang bullying yang terjadi di sekolah-sekolah. Selain tawuran pelajar, ternyata Indonesia darurat Bulying.
Saya cukup tertekan menulis berita tentang seorang siswa SMP di Bandung yang diserang secara verbal dan fisik, lagi-lagi saya harus objektif. Saya menulis bahwa seorang siswa SMP dianiaya secara verbal kemudian ditendangi hingga korban jatuh ke lantai, sementara beberapa pelaku tertawa terbahak-bahak.
Andai saya bisa menangis, saya lebih tersakiti lagi ketika melihat anak-anak SD di Ternate, yang membuli teman sesame perempuannya sendiri. Sungguh terisis hati saya melihat korban ditendang dan diledeki secara verbal, sementara dirinya masih sangat dini untuk mengalami masa-masa pahit yang akan dikenang hingga tua nanti.
Andai pendidikan itu manusia, bukan sebatas kata. Tentu saya akan buru-buru datang dan menghajarnya habis-habisan. Saya juga berpikir bagaimana bisa rumah pendidikan, sekolah yang harusnya mewadahi anak-anak bangsa untuk mengembangkan diri, malah menjadi rumah duka untuk korban bullying ini.
Baca juga: Kritik terhadap Pendidikan Muhammadiyah
Masalah ini bukan hanya masalah pendidikan atau entah apalah latar kejadian ini. setiap individu punya tanggung jawab pribadi dan sosial untuk memperhatikan kasus yang mengenaskan bagi saya ini. betapa susahnya saya untuk menulis dengan jujur bahwa kejadian ini memang terjadi, sebagai jurnalis saya sungguh tak bisa melanggar kode etik.
Coba mulai dari saat Anda sekalian membaca tulisan ini, ingatkanlah pada anak anda, adik anda, saudara anda, tetangga atau siapapun orang yang berada di sekitar anda untuk saling menghormati sesamanya. Ini bukan hanya masalah individual antara korban dan pelaku pada nantinya, sungguh pedih rasanya jika saya harus menulis berita ini kembali.
Saya tidak bisa menyalahkan siapapun, entah itu sistem pendidikan, peran guru bahkan pelaku sekalipun. Sebab semua telah terjadi dan terekam di jafat maya. Saya hanya ingin menegaskan kembali bahwa peradaban manusia, ditentukan oleh sumber daya akalnya sendiri.
Kasus bullying ini menggambarkan betapa rendahnya rasa empati dan nurani yang kita miliki. Para pelaku tak mungkin melakukan hal iti tanpa faktor yang membelakangi tindakannya, entah itu berasal dari film, apa yang dia tonton, bahkan mungkin kekerasan yang sering dilihatnya. Masyarakat Indonesia perlu meningkatkan lagi kontrol sosial terhadap sekitarnya, mulai dari memberi contoh pada anak-anak sekitarnya.
Ada banyak hal yang membuat kita untuk menjadi jahat, akan tetapi disaat bersamaan kita juga punya pilihan untuk tidak melakukan itu. Mengendalikin diri secara pribadi secara langsung memberi contoh pada siapapun yang melihat bahwa kebaikan memang layak ditiru. Tentang perilaku sosial yang baik, tugas individu menjadi peran yang dilakukan bersamaan dalam pola interaksi yang dilakukan sehari-hari.
Saya berharap semoga kejadian ini merupakan yang terakhir kali yang saya lihat, atau bahkan yang saya tulis di hidup ini. siapa yang tega melihat anaknya, adiknya atau siapapun yang tak dikenal mendapat perlakuan yang berbeda dan tersakiti. Mereka, para korban tentu tak berharap masalah ini menimpa mereka. Tugas kita adalah menerapkan nilai sosial dan kemanusiaan bukan hanya dalam sekolah saja! Melainkan pada seluruh aktifitas umat manusia. Saya kira fungsi implikatif pendidikan presentase terbanyaknya adalah sikap di masyarakat.
Saya berharap sekolah menjadi tempat yang indah, ruang belajar yang lain selain rumah dan alam sekitar. Sungguh miris, menulis berita tragis dari sumber yang empiris.
Editor: Firmansah surya Khoir