Kesepakatan Lingkungan Tersukses dalam Sejarah Manusia

Kesepakatan Lingkungan Tersukses

Kesepakatan Lingkungan Tersukses dalam Sejarah Manusia

If we could do it then, it’s not impossible to do it again.

Sejak tanggal 1 hingga 12 November 2021, para pemimpin dari berbagai negara menghadiri konferensi perubahan iklim di Glasgow Skotlandia, COP26, untuk menyampaikan rencana dari masing-masing negara untuk menekan emisi karbon untuk menghentikan kenaikan suhu Bumi. Namun, hasil dari konferensi tersebut dinilai kurang memuaskan dimana belum adanya kesepakatan ambisius yang kuat dan terukur untuk mencapai target utama pemanasan global maksimum 1,5 derajat Celcius. Bahkan sejumlah negara besar seperti India, Saudi Arabia dan Australia mengusulkan pelonggaran target berdasar kepentingan nasional masing-masing. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena seharusnya COP26 bisa menjadi momentum untuk para pemimpin dunia untuk mengambil langkah serius dalam menangani krisis iklim.  

Asal Muasal COP

Pada November 1988, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Otoritas Lingkungan Dunia (UNEP) membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan ilmu iklim tertinggi dunia di bawah naungan PBB yang bertugas mengkaji perubahan iklim secara saintifik. IPCC merilis laporan pertama pada November 1990 yang menyatakan emisi yang dihasilkan dari aktivitas manusia secara substansial meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Bersamaan dengan perilisan laporan ini, IPCC juga menghimbau adanya perjanjian global di Konferensi Iklim Dunia selanjutnya. 

Pada 11 Desember 1990, Majelis Umum PBB membentuk Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk menyusun struktur kesepakatan tentang perubahan iklim, dimana lebih dari 150 negara membahas komitmen, target, dan jadwal yang mengikat untuk pengurangan emisi. Pada Juni 1992, kesepakatan yang disebut dengan The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ini disepakati dan ditandatangani oleh 196 negara selama konferensi Earth Summit di Rio de Janeiro, dan mulai berlaku sejak 21 Maret 1994.

Untuk meninjau sejauh mana pelaksanaan kesepakatan tersebut, semua negara yang ikut menandatangani kesepakatan akan bertemu di Conference of Parties, atau COP. Selain itu, COP juga membahas langkah global dalam upaya pengendalian krisis iklim, termasuk mengambil keputusan yang diperlukan untuk mengatasi krisis iklim. COP1 merupakan perhelatan konferensi pertama yang diadakan di Berlin pada bulan April 1995.

Konferensi rutin COP terus diselenggarakan setiap tahunnya, hingga pada COP21 Desember 2021, lahirlah Paris Agreement. Pada perjanjian ini, 195 negara sepakat untuk memerangi perubahan iklim dan berkomitmen untuk menuju masa depan yang rendah karbon, tangguh, dan berkelanjutan. (Inilah kenapa para aktivis lingkungan menuntut pemerintah untuk patuh terhadap Perjanjian Paris). Perhelatan konferensi ini terus rutin diadakan hingga yang baru saja usai yaitu COP26.

Timeline tentang konferensi perubahan iklim bisa dipelajari di sini.

Bisakah Perjanjian Antarnegara Mengatasi Krisis Iklim?

Hasil COP26 yang dinilai kurang memuaskan seolah menunjukkan ketidakseriusan para petinggi negara dalam menangani krisis iklim. Hal ini tentu membuat kita mempertanyakan keefektifan konferensi antar negara serta perjanjian-perjanjian yang dilakukan selama ini. Mengingat proses panjang penanganan perubahan iklim sejak tahun 1988 hingga saat ini dirasa belum ada tindakan yang serius untuk memerangi krisis iklim.

Tidak heran jika Greta Thunberg dalam orasinya selama COP26 berlangsung menyatakan bahwa COP26 tidak lebih dari sebuah global greenwashing festival, dimana para pemimpin dunia seolah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim tanpa benar-benar melakukan tindakan serius.

Namun, mengingat permasalahan perubahan iklim yang merupakan tanggung jawab bersama, tentu masalah ini hanya akan terselesaikan jika seluruh negara saling bahu-membahu menangani krisis ini. Kesepakatan dan komitmen antarnegara adalah jalan satu-satunya untuk memberikan perubahan yang signifikan dalam mengatasi krisis iklim. 

Faktanya, dunia juga pernah mengalami krisis lingkungan, yaitu menipisnya lapisan ozon. Permasalahan ini ditangani dengan suatu perjanjian antarnegara yaitu Montreal Protocol, yang dianggap sebagai the most successful environmental agreement in human history. Kesepakatan lingkungan paling sukses sepanjang sejarah manusia.

Kisah Montreal Protocol

Pada 1974, ahli kimia Amerika, F. Sherwood Rowland dan Mario Molina, merilis hasil penelitian yang menyatakan bahwa senyawa chlorofluorocarbon (CFC)yang terdapat di botol spray, styrofoam, lemari es dan ACdapat merusak molekul ozon. Ketika berada di permukaan Bumi, CFC tidak berbahaya. Namun, begitu berada di stratosfer, radiasi matahari memecahnya menjadi klorin yang kemudian mengikat ozon membentuk oksigen dan klorin monoksida. Atom oksigen yang lepas mengikat atom klorin lain dan merusak lebih banyak molekul ozon. Begitu seterusnya hingga menyebabkan reaksi berantai. Lebih parah lagi, CFC memiliki umur panjang sekitar 50-150 tahun di atmosfer yang akhirnya menyebabkan lebih banyak molekul ozon yang terkikis.Berdasarkan temuan ini, penggunaan CFC mulai dilarang di Amerika Serikat, Norwegia, Swedia, dan Kanada pada 1978.

Pada 1985, penelitian dari Jonathan Shanklin menunjukkan bahwa adanya lubang di lapisan ozon di Kutub Selatan. Hingga pada 1986, para ilmuwan menginvestigasi lebih lanjut mengenai penyebab lubang ozon di Antartika. 

Pada 1987, para ilmuwan mengadakan konferensi pers untuk menginformasikan kepada publik tentang temuan jumlah ozon di atmosfer yang berkurang sebesar 50%, dan mendesak adanya tindakan yang diperlukan. Banyaknya kesadaran publik akan ancaman lubang ozon memberikan tekanan pada pemimpin di dunia untuk segera mengambil tindakan. 

Hingga akhirnya, Protokol Montreal diresmikan pada 15 September 1987. Kesepakatan ini menjadi satu-satunya perjanjian PBB yang pernah disetujui setiap negara di dunia198 Negara Anggota PBB. Perjanjian ini mengakui bahwa emisi perusak ozon dari seluruh dunia dapat mengikis lapisan ozon dan mengakibatkan efek buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan. Perjanjian ini berisi langkah-langkah pengendalian untuk mengurangi zat perusak ozon, termasuk bantuan bagi negara berkembang yang membutuhkan teknologi alternatif dan produk pengganti. 

Sejak mulai diberlakukan pada 1 Januari 1989, konsumsi bahan perusak ozon termasuk CFC menurun drastis. Setelah larangan CFC dimulai, Hydrofluorocarbons (HFC) mulai marak digunakan sebagai pengganti CFC. HFC tidak merusak lapisan ozon, tetapi merupakan gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim. Maka pada tahun 2016, Protokol Montreal diamandemen untuk melarang penggunaan HFC serta beberapa senyawa perusak ozon lainnya.

Kini, lebih dari tiga puluh tahun setelah Protokol Montreal ditandatangani, lubang ozon telah menyusut dan diperkirakan akan pulih sepenuhnya pada 2065.
Namun, permasalahan lubang ozon merupakan sebagian dari permasalahan lingkungan yang lebih besar, perubahan iklim. Sama halnya dengan lubang ozon, perubahan iklim juga memerlukan solusi praktis dari seluruh negara, mengingat adanya ancaman perubahan iklim yang hampir merugikan semua sektor kehidupan di dunia. Komitmen dan keberhasilan dari Montreal Protocol inilah yang juga diharapkan bisa diterapkan dalam penanganan krisis iklim. Jika kita pernah berhasil melakukannya di masa lalu, bukan tidak mungkin jika hal yang sama akan terulang kembali.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis