Utuy Tatang Sontani: Sang Legenda Sastra – “Bagaimana jika aku tidak mau menerima ajaranmu itu? Jika aku lebih suka meladeni orang Barat daripada menyediakan waktu untuk menerima segala ilmu dari engkau?”
“Kalau itu yang kau katakan, Imbata, maka sebagai kawula yang merasa wajib menasihati sesamanya, aku menunggu nasihat itu dapat masuk kepada yang dinasihatinya. Dan sebagai iparmu yang diam serumah dengan engkau, adalah lebih baik jika aku menjauh dari engkau, supaya tidak jadi gangguan kepadamu. Aku akan pergi jauh dan melihat engkau dari jauh.”
Kepergian itu meninggalkan bekas coretan, penuh makna. Coretan ini kemudian menjadi bagian dari mahakarya Utuy Tatang Sontani, seorang maestro sastra yang namanya melegenda di jagat kesusastraan dan sejarah dunia.
Tanah Sunda Menempa Utuy Sebagai Legenda
Utuy Tatang Sontani lahir di tanah Sunda, tepatnya Cianjur, Jawa Barat, pada 31 Mei 1920. Cianjur, yang diapit oleh wilayah Bogor dan Bandung, terkenal dengan tradisi seni dan budaya. Pengaruh lingkungan inilah yang membuat Utuy di kemudian hari menjadi legenda sastra.
Pada awalnya, Utuy mulai menulis dalam bahasa Sunda. Karakteristik orang Sunda yang digambarkan dalam folklore Si Kabayan mencerminkan dua sifat utama: cerdas dan pemalas. Dalam beberapa catatan, disebutkan bahwa ketika berada di Tiongkok dan Uni Soviet, Utuy sangat produktif menulis. Hal ini jelas mencerminkan karakteristik orang Sunda yang cerdas.
Utuy sendiri pernah mengatakan bahwa Si Kabayan adalah gambaran manusia Sunda yang khas, terutama dalam kemampuannya menertawakan dirinya sendiri. Hal ini selaras dengan pepatah Sunda yang berbunyi: teu nanaon ku nanaon yang berarti ‘tidak apa-apa meskipun apa pun terjadi’.
Jejak Pendidikan Utuy Tatang Sontani
Ia menempuh pendidikan yang sangat singkat di kampung halamannya: tiga tahun di sekolah dasar dan beberapa tahun lagi di Taman Siswa, sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Taman Siswa dikenal menawarkan pengajaran yang menanamkan semangat dan budaya pribumi sebagai alternatif dari sistem pendidikan Barat yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Setelah itu, ia hanya sempat belajar selama empat bulan di Taman Dewasa di Bandung. Namun, berkat pengajaran di Taman Siswa, tanpa kesulitan sebagaimana diceritakannya di bawah, ia mampu menulis dalam Bahasa Indonesia ketika Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan bahasa daerah.
Salah satu karya pentingnya adalah novel Tambera, yang ia tulis dalam versi baru menggunakan Bahasa Indonesia. Selain itu, ia juga menghasilkan berbagai lakon yang dipentaskan dan diterbitkan sepanjang tahun 1950-an, yang membawa kesuksesan besar baginya.
Bergabung Menjadi Anggota Lekra
LEKRA, singkatan dari Lembaga Kebudayaan Rakjat, adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembentukan Lekra dipengaruhi oleh pemikiran pasca Pemilu 1955, di mana ormas dianggap dapat menjadi wadah untuk menghimpun rakyat. Hal ini mendorong berbagai partai dan ormas berbondong-bondong mendirikan lembaga kebudayaan, seperti Lesbumi milik Nahdlatul Ulama (NU) dan Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra) milik PKI.
Menurut Majalah Tempo, Utuy Tatang Sontani menjadi anggota Pimpinan Pusat Lekra sejak 1959. Selain itu, Utuy juga pernah menjadi delegasi pemerintah Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan.
Baca juga: Biografi Mohammad Yamin, Sastrawan Sekaligus Politikus Perumus Piagam Jakarta
Keanggotaan Utuy di Lekra sejalan dengan hubungan yang semakin erat antara Jakarta dan Moskow. Hubungan ini mendorong penerjemahan dan penerbitan berbagai karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Rusia. Salah satu karya milik Utuy yang diterjemahkan dalam bahasa Rusia yaitu Tambera, yang bisa kita baca kutipannya pada kalimat pertama di atas.
Utuy bukan satu-satunya tokoh besar yang tergabung dalam Lekra. Pramoedya Ananta Toer, penulis terkemuka lainnya, juga merupakan anggota Lekra. Salah satu alasan Lekra dianggap lebih maju dibandingkan lembaga kebudayaan lain adalah karena kemampuan organisasinya yang kuat, sebagaimana diungkapkan oleh Greg Fealy.
Sekilas Tentang Karya Tambera
Novel Tambera menggambarkan dua sikap yang bertolak belakang terhadap penduduk asing. Tokoh Tambera muda digambarkan sebagai sosok yang lemah dan egois, memilih bergabung dengan tentara penjajah karena cinta. Sebaliknya, tokoh Kawista adalah seorang yang brutal, dan sombong, tetapi mengabdikan jiwa dan raganya untuk perjuangan bangsanya.
Pada masa pendudukan Nippon di Indonesia, Utuy mulai menulis sajak-sajak dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh larangan pemerintah Jepang terhadap penggunaan bahasa Sunda. Sajak-sajak tersebut kemudian diterbitkan di majalah kebudayaan Panca Raya di Jakarta.
Karya-karyanya inilah yang membuat Utuy diundang ke konferensi kebudayaan Gunseikanbu di Jakarta. Setelah itu, Utuy bekerja di Pusat Tenaga Rakyat (Putera) cabang Pariangan, Bandung. Hampir setiap minggu, sajak dan artikelnya dimuat di surat kabar Cahaya.
Baca juga: Biografi Abdoel Moeis, Seorang Wartawan, Politikus, dan Sastrawan
Semasa dia bekerja di Putera, Utuy dipertemukan dengan orang yang di kemudian hari akan menjadi sahabatnya, yaitu D.N. Aidit. Bahkan Aidit yang memotivasi Utuy untuk menyelesaikan Tambera versi Bahasa Indonesia. Bahkan, Aidit juga yang menjadi role model untuk mengembangkan tokoh Kawista dalam Tambera, tokoh pemberontak Belanda yang keras dan radikal.
Sebelum dan Sesudah Pecahnya Peristiwa G30S
Menjelang pecahnya peristiwa 30 September 1965, D.N. Aidit sempat menemui Utuy untuk menanyakan kesehatannya. Aidit bahkan menawarkan Utuy kesempatan berobat ke Tiongkok dengan ditemani istrinya. Utuy pun setuju. Dia berangkat pada sekitar tanggal 27 September tanpa didampingi istri karena satu permasalahan.
Tak lama setelah keberangkatannya, peristiwa G30S terjadi. Dalam kondisi terbaring di rumah sakit, Utuy tidak bisa pulang ke tanah air akibat situasi politik yang memburuk.
Sekitar tahun 1973, kondisi Utuy memburuk. Ia mendapat izin berobat ke Belanda dan berangkat menumpang kereta Trans-Siberia. Namun, ketika melewati Moskow, Utuy memutuskan untuk turun dan menetap di sana. Di Moskow, ia memilih hidup bersama para penulis Uni Soviet yang kemudian banyak membantunya. Berkat bantuan merekalah Utuy menjadi pengajar Bahasa Indonesia dan literatur di Institut Asia dan Afrika Universitas Moskow.
Akhir Hayat Utuy Tatang Sontani
Tahun 1975, ketika situasi sudah terpuruk, Ajip Rosidi mencatat kunjungannya ke rumah sakit di Moskow bersama Sikorsku untuk menemui Utuy. Dalam kondisi sakit dan depresi, Utuy mengungkapkan keinginannya agar istrinya menyusulnya ke Moskow. Namun, ketika Ajip kembali ke Jakarta dan menyampaikan pesan tersebut, istrinya tidak menunjukkan keinginan untuk pergi ke Uni Soviet.
Waloe Sedjati, seorang pengungsi politik Indonesia lainnya, yang bermigrasi ke Prancis, menghabiskan tahun 1975 hingga 1982 di Moskow. Selama di sana, ia beberapa kali bertemu dengan Utuy dan bahkan menemani Utuy selama dua minggu di rumah peristirahatannya. Waloe kemudian mencurahkan satu bab pendek dalam memoarnya untuk menceritakan tentang Utuy. Dalam catatannya, Utuy digambarkan sebagai sosok yang pahit, sensitif, dan penuh kemarahan.
Pada bulan September 1979, Utuy menghembuskan napas terakhirnya dalam isolasi di Moskow. Sebelum wafat, Utuy berpesan kepada Kuslam Budiman, seorang pelukis yang merawatnya, bahwa ia ingin dimakamkan sesuai ajaran Islam. Pesan itu pun dipenuhi, dan Utuy dimakamkan secara muslim.
Referensi:
Journal
Youtube