Kampus dan Segudang Koloni Dedemit yang Menyertainya: Bagian Dua – Kisah ini sesuai dengan judulnya adalah bagian kedua atau lanjutan dari bagian pertama. Untuk yang belum baca, bisa dibaca di Kampus dan Segudang Koloni Dedemit yang Menyertainya: Bagian Satu.
Kejahilan yang tiada terkira
Lebih dari 30 menit telah berlalu. Suara berisik dari lab sebelah mulai berhenti dan yang tersisa adalah suara dengkuran dari pak dosen. Saya mulai mencoba untuk tenang dan memberanikan diri menengok ke arah Mas Rudi yang tidur di dekat saya.
Saat mulai tenang, saya kembali memejamkan mata dan berusaha untuk membayangkan hal-hal lain yang membuat saya tertidur. Seperti menghitung sapi atau yang lainnya. Tiba-tiba terdengar seperti ada suara yang mengetuk pintu lab kami, 3 kali ketukan!
Terdengar tak begitu keras dan agak samar, namun karena saya memperhatikan dengan seksama maka ketukan pintu tersebut menjadi jelas. Saya dapat memastikan suara ketukan ini berasal dari pintu lab yang saya tempati. “Tok, tok, tok” Tepat 3 kali dengan jeda sekitar 2 detik per ketukan. Keparat bukan main.
Adrenalin saya meningkat, jantung berdetak makin kencang, dan ini adalah perasaan ketakutan yang amat mendalam.
“Brakkk!!” Terdengar dengan jelas suara seperti ada seseorang yang melempar sesuatu di depan lab! Asuuu tenan, kesabaran saya sudah habis dibuatnya. Kelakuan dedemit-dedemit keparat ini di luar batas dan melanggar norma setan. Pelanggaran, ini pasti pelanggaran! Mereka memanfaatkan ketakutan saya dengan sempurna. Pokoknya ini celaka betul.
Serangan balik
Karena kekesalan yang makin meluap-luap, saya coba menyerang balik. Konon pertahanan terbaik adalah menyerang. Saya memberanikan diri untuk menggerakkan kaki, menendang-nendang pelan Mas Rudi yang tertidur.
“Heh, heh opo?” respon Mas Rudi.
“Mas, dengar suara benda dibanting, ora?”
“Iya, dengar aku.”
“Dicek yo, sopo ngerti maling, Mas.”
Mendengar tawaran saya, Mas Rudi pun terbangun dan saya mengikutinya. Tidak disangka, Mas Rudi juga mendengar suara tadi. Sebenarnya, saya ingin coba menanyakan tentang ketukan dan lainnya. Akan tetapi, alih-alih memperburuk suasana saya memilih untuk diam. Lampu lab dibiarkan dalam keadaan mati, karena dosen kami yang masih tidur. Enggak enak kalau lampunya tiba-tiba dinyalain. Bermodalkan senter pada gawai, Mas Rudi membuka pintu lab.
Sesaat setelah pintu dibuka, udara dingin malam langsung menusuk tulang kami. Rupanya di luar sedang gerimis. Kami pun mengarahkan cahaya senter pada sekitar lab dan tak ada apapun yang kami temui. Sialan, benar-benar seolah tak terjadi apapun. Saya coba menengok pada lab sebelah. Mencoba untuk meyakini bahwa memang anggota lab sebelah adalah anak-anak rajin yang mungkin masih berkutat dengan praktikum meski di tengah malam.
Namun alangkah sial dikata, lab sebelah sepi ditandai dengan matinya lampu pada lab. Gelap, pertanda tak mungkin ada orang. Namun saya mencoba berpikir positif, bahwa mungkin mereka pulang sesaat sebelum ada suara ketukan pintu. Jangan-jangan mereka yang dengan jahil mengetuk pintu? Atau memang mereka melakukan praktikum dan kini sudah selesai, kemudian tertidur pulas. Alasan tersebutlah yang terasa masuk akal mengingat lampu lab yang kini dalam kondisi mati dan sepi.
Karena tak menemukan apapun, saya dan Mas Rudi memutuskan untuk kembali tidur. Kali ini, saya mengambil handsfree dan memutar lagu. Ini adalah pertahanan lapis ganda terbaik yang saya miliki. Tak lama, kami berada dalam posisi masing-masing.
Lelah dan sedikit menyerah
Pada saat memutar lagu, biasanya antara lagu satu dengan lainnya memiliki jeda masing-masing. Ada yang 2 detik dan bahkan sampai sekitar 7 detik. 2 lagu awal telah habis diputar. Transisi dari lagu kedua dengan lagu ketiga memiliki jurang hening sekitar 5 detik.
Keparat, kenapa harus terasa sepi lagi? 5 detik terasa begitu lama. 3 detik berjalan dan saya kembali mendengar suara gaduh dari lab sebelah. Tunggu dulu, bukankah lab sebelah telah sepi dan lampunya pun mati?
Lagu selanjutnya adalah akustik. Tak banyak instrumen yang melatarbelakangi. Lagu kali ini terdengar lebih pelan ketimbang dua lagu sebelumnya. Aduhai sial, suara berisik dari lab sebelah kembali terdengar, yang bahkan alunan lagu yang saya putar tak cukup kuat untuk menahan suara dari luar. Suara gesekan antar benda kembali terdengar. Bahkan kali ini lebih ramai ketimbang tadi! Jancuk tenan, kapok! Saya benar-benar dibuat kapok. Karena perlu mengganti lagu, saya memberanikan diri menyalakan ponsel dan mengganti dengan segera ke lagu yang lebih ramai instrumennya.
Sesaat saya melihat jam pada gawai saya, waktu menunjukkan pukul 03.45 sudah di penghujung malam. Saya hanya perlu bersabar sampai azan subuh datang. Setidaknya bila doa saya tak begitu mempan, pastinya azan akan membuat koloni dedemit ini buyar. Apalagi, dilafazkan secara bersahutan dari satu masjid ke masjid yang lain.
Tak terasa lagu demi lagu selesai diputar dan setengah jam berlalu. Rasa kantuk yang berat mulai merasuk dan kepala mulai terasa berat. Tak tertahankan kali ini. Membuat saya lebih acuh akan apa yang terjadi di luar. Dalam sekejap, kesadaran saya menghilang. Ya, saya tertidur lelap.
Kemenangan itu bernama subuh
Dinginnya ruangan membuat saya tiba-tiba terbangun dan dengan segera saya melihat jam yang ada di gawai, kali ini menunjukkan pukul 04.55. Ya, sudah pagi! Ruangan lab pun lebih terang bersamaan dengan cahaya pagi yang masuk pada celah-celah jendela. Ini adalah pertanda kemenangan. Saya terbangun sembari menggoyangkan tubuh Mas Rudi, “Subuh, Mas”, ajak saya. Memang hampir terlambat, namun lebih baik daripada tidak sama sekali.
Kami berdua bergegas keluar. benar saja, di luar sudah cukup terang, udara segar pagi hari menyambut saya seolah mengatakan bahwa, “Para demit kenthir itu sudah pergi, wes ora popo cah bagus. Kamu kuat senajan megap”. Setelah salat Subuh di musala fakultas, saya kembali ke lab dengan niat meminta izin untuk pulang. Sesampainya di lab, rupanya pak dosen telah bangun dari tidur pulasnya.
Setelah saya menyerahkan tugas yang telah selesai, saya buru-buru pamit. Sebelum beranjak pergi, saya memberanikan diri bertanya pada beliau, “Pak, tadi malam dengar suara gaduh, mboten?” Jawaban beliau sudah dapat ditebak, bahwa beliau tidak mendengar apapun. Ini wajar, lah wong ngoroknya saja bersaing dengan ramainya suara demit-demit bangsat kemarin.
Saat keluar dari lab, saya coba melihat pintu lab sebelah. Rasa penasaran memaksa saya untuk memastikan ada atau tidaknya kehidupan disana tadi malam. Bisa saya pastikan bahwa memang tidak ada seorangpun di lab sebelah. Hal tersebut saya pastikan setelah saya melihat langsung lewat jendela yang ternyata tidak ada orang. Informasi dari kawan saya yang merupakan anggota lab sebelah bahwa anggota labnya ternyata pulang tadi malam pada sekitar pukul 10. Hal ini menegaskan saya akan dua hal, pertama bahwa kemarin saya memang sedang dikerjain oleh demit-demit keparat, kedua saya dibuat kapok dan untuk selanjutnya saya akan mencari segenap cara buat enggak menginap di lab lagi.