Filsafat Qabil dan Habil dalam Kekuasaan di Era Postkolonial

Filsafat Qabil dan Habil

Konflik Qabil dan Habil tentang Kekuasaan

Manusia merupakan manifestasi proyeksi Tuhan di bumi, ia sebagai makhluk mikrokosmos menjadikannya khalifah di dunia. Bukan untuk menguasai, tetapi mengukir keindahan dunia dengan ilmu dan pengetahuan. Sejarah manusia, yang meliputi catatan menjadikanya manusia dan membentuk esensinya di dunia ini. Sesuatu yang berjalan ini tidak berujung sia-sia tetapi memiliki nilai aksiologisnya untuk merefleksikan pergerakan dan perkembangan di masa depan.

Dalam kitab suci dijelaskan bahwa manusia yang pertama adalah Nabi Adam As. Nabi Adam diciptakan dari tanah dan Roh Tuhan yang ditiupkan kepada jasad Adam. Kontradiksi tanah dan Roh Tuhan, menjadikan manusia sebagai makhluk absurditas. Karena setiap perilakunya tidak bisa ditebak, terkadang melakukan kebaikan tetapi terkadang juga melakukan keburukan.

Filsafat yang berperan untuk menjelaskan makna tersirat dari sebuah periodesasi sejarah, kini harus merendahkan bahasanya untuk menggali sesuatu yang berharga. Qabil dan Habil adalah representasi dari kedua anak Adam yang memiliki ideologi berbeda. Peperangan mereka bersifat subjektif dengan Habil sebagai era ekonomi berbasis padang rumput, sedangkan Qabil merepresentasikan sistem pertanian dan kepemilikan individu (kapitalis) atau monopoli.

Baca juga: Mengenal Filsafat Bersama Ustaz Fahruddin Faiz

Kekuasaan monopolistik atau sumber-sumber produksi atau alat-alat produksi sebenarnya tidak ada. Segala sesuatu sama-sama berfungsi melayani kepentingan masyarakat semangat dan penghormatan yang lebih tua ketabahan memenuhi kewajiban-kewajiban moral, kepatuhan mutlak dan tidak dapat dilanggar terhadap batasan-batasan kehidupan bersama. Kita bisa menjadikan Habil sebagai simbol itu.

Kemudian sistem qabil mencoba mengambil alih dengan menjadikannya kekuasaan dan pemaksaan yang memberinya kelanggengan atas kekuasaan dan menguatkannya dengan menjadikannya sesuatu yang legal dan alamiah. Kepemilikan pribadi membelah masyarakat. Ketika perolehan dan kepemilikan pribadi menjadi norma, tidak ada orang yang puas dengan jumlah yang dibutuhkan.

Konsep Kekuasaan Postkolonial yang Semakin Kompleks

Kekuasaan bukan semata-mata wewenang tapi juga termasuk bagian dari pengaruh seorang penguasa terhadap aspek-aspek sekitar masyarakat.  Pengaruh tersebut bisa dimanifestasikan sebagai ranah dalam menguasai sesuatu untuk tujuan pribadi atau kolektif, bisa melalui media, kebijakan, ultimatum, konsensus. Zaman yang semakin kompleks penguasaan akan sesuatu (kapitalis) kini hanya sebagai pemilik tapi belum tentu pengelola (management) biasanya pekerja. 

Kaitanya dengan Postkolonial, jika dahulu koloni berhubungan dengan konsep penaklukan dan penguasaan. Akan tetapi dalam perkembangannya musabab hubungan penduduk pendatang (yang menguasai) dan penduduk lama (yang dikuasai). Menimbulkan banyak masalah seperti praktik penjarahan, pembunuhan, perbudakan.

Dari konsep ini makna koloni semakin luas menjadi penaklukan atau penguasaan. Di zaman digital ini koloni dan kekuasaan semakin mengerucut, setiap individu bisa menguasai suatu data, misalnya pembobolan data, hack, pelemahan web. Jadi setiap individu juga memiliki kekuasaan di zaman ini. Tetapi langkah tersebut adalah disfungsional pengetahuan manipulatif. Kekuasaan semakin bercabang-cabang, setiap cabang memiliki kuasa atas sesuatu hal, apakah kaum proletariat kini, jika pengetahuan sudah ia kuasai apalagi dengan media digital. Semua menjadi raja dari wilayahnya. Adapun tokoh-tokoh yang sering mengkaji hal ini adalah Edward said, Gayatri C. SPivak, Frantz Fanon, Homi K. Bhabha dan lain lain.

Postkolonial hari ini menyebabkan imperialisme semakin luas. Modernitas yang digadang-gadang kejayaan umat manusia, kini runtuh di depan mata, teknologi memanjakan manusia, dan hanya beberapa yang memiliki pengetahuan akan teknologi dan menguasainya. Kekuasaan menjadi hal yang baru dari agresi menuju dominasi dan hegemoni. Timbulnya perasaan inferior dari bangsa bekas jajahan kala berhadapan dengan bangsa penjajah adalah salah satu bentuk hasil dari kolonialisme.

Baca juga: Titik Temu Pemikiran Karl Marx dan Sigmund Freud

Postkolonial berusaha mengkritik ilmu pengetahuan dari barat yang diagung-agungkan terhadap dunia timur. Seperti digambarkan orang timur, irasional, mistik, dan metafisik. Tetapi pada kenyataanya bangsa timur lebih berbudaya dan berdedikasi tinggi nilai spiritual daripada bangsa barat. Para tokoh postkolonial juga berusaha membongkar konstruksi pengetahuan yang dikonstruksi bangsa penjajah sebagai bangsa yang selalu superior. Bangsa ini adalah cerminan dari bangsa Qabil, yang tamak serakah terhadap kekuasaan.

Penanaman doktrin akan penjajah sebagai bangsa yang maju adalah hal yang ilusi, adapun pengetahuan akan saling berkaitan dari kebudayaan kekuasaan satu dan kebudayaan kekuasaan lain. Tiada orisinalitas, pengetahuan yang natural (murni). Kini kajian akan kekuasaan di era postkolonial dan hubungan bilateral dengan historis sejarah sebagai landasan. Semakin banyak diminati. Sebaiknya kita harus kritis dan tidak fanatik buta dengan keilmuan barat dan timur. Semua diambil dari sisi positifnya dan negatifnya dijadikan sebagai muhasabah kolektif untuk membangun peradaban dan kebudayaan yang berkemajuan. Sekian 

Wallahul Muwafiq Ila Aqwa Min Thariq 

Wasalamualaikum wr wb.

Sumber Referensi :

Ali, Syariati. (2011). Sosiologi Islam: Pandangan dunia Islam dalam kajian sosiologi untuk gerakan baru. Rausyan Fikr.

Ahkyar, Yusuf. (2016). Buku pemikiran kritis kontemporer dari teori kritis, culture studies, feminisme, postkolonial, hingga multikulturalisme. Rajawali Press.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Salman Al Farisi

Bagikan di:

Artikel dari Penulis