Satu Agama, Banyak Pemahaman

Satu Agama, Banyak Pemahaman

Satu Agama, Banyak Pemahaman – Salah satu kelompok KKN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjumlah 21 orang tergabung pada kelompok 90 yang dinamai dengan sebutan Widya Geni yang berakar pada Wiyata Madya Gencar Berani. Nama ini memiliki makna filosofi bahwa pendidikan harus seimbang dan merata, untuk itu perlu dilakukan dengan cepat dan berani. Lokasi KKN kami berada di Desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Kesan pertama saat berkunjung ke Desa Palasari ialah desa yang warganya sangat religius dan ingin menerapkan nilai-nilai ajaran Islam. Contoh kecilnya seperti berupa spanduk yang berisikan larangan rentenir memasuki wilayah warga, larangan meminjam uang bank, dan lain sebagainya. 

Sarana keagamaan di sana terhitung banyak, terdapat seperti majelis taklim, masjid, musala dan pesantren. Ada 20 pesantren yang bercorak salafi (tradisional). Karena bercorak salafi, corak pemahaman mereka pun terhadap ajaran Islam bisa dibilang tradisional, misalnya dilarang memakai speaker

Mereka sangat berpegang teguh terhadap salafi tradisional, misalnya ada seorang guru ngaji mengatakan kepada kami “Saya mah salafi tradisional, bukan salafi modern”. Padahal sebelumnya kami tidak menyinggung soal salafi.  Perkataan itu dikatakan ketika kami ingin meminta izin mengajar ngaji di tempatnya. Namun, sayangnya guru ngaji tersebut tidak mengizinkan. Hal itu seakan menunjukkan kepada kami bahwa mereka berpegang erat terhadap ajaran pendahulunya.

Sebetulnya tidak semua seperti itu, ada sebagian dari mereka pada RT tertentu yang sudah terbuka dengan modernitas, misalnya mereka yang sudah menerima speaker. Desa ini memberi gambaran bahwa walaupun agamanya Islam, namun memiliki pemahaman yang berbeda. 

Beragam pemahaman atas ajaran Islam sering kali timbul sikap fanatik, merasa benar terhadap ajaran yang mereka yakini. Namun, di samping itu seringkali mereka menyalahkan atas kegiatan yang diselenggarakan oleh Desa. Seperti merayakan hari kemerdekaan dengan diadakannya berbagai macam lomba. Bagi ulama setempat hal itu malah dianggap mendatangkan mudharat. Baginya, merayakan hari kemerdekaan cukup dengan mengadakan tasyakuran sebagai ungkapan syukur atas merdekanya bangsa ini. Padahal sebelum diadakan lomba, malamnya di Desa sudah menggelar acara tasyakuran. 

Sebagaimana tadi disinggung bahwa masyarakatnya sangat religus. Terlihat pada anak-anak yang pandai membaca kitab-kitab klasik. Informasi ini saya dapatkan dari Kepala Desa Palasari, Aip Syarifudin. Keadaan tersebut membuat saya takjub di mana kebanyakan anak-anak apalagi remaja yang lebih memilih bersenang-senang. 

Pandai membaca kitab klasik menjadi potensi Desa Palasari melahirkan manusia-manusia intelektual karena bisa mengambil peradaban klasik melalui pembacaan karya klasik. Benar saja, saat salah seorang teman saya mengajar ngaji yang juga bisa membaca karya klasik, ada seorang murid yang dicoba untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan logat Sunda. 

Tentu pengalaman tersebut menjadi pelajaran sekaligus pengalaman baru bagi saya yang selama ini belum dihadapi oleh keberagaman realitas keagamaan. Tidak masalah bagi saya selama tidak menimbulkan perpecahan apalagi sampai kepada keributan. Selama KKN saya bersama teman-teman tentu tidak menimbulkan keributan. Hanya saja ada pandangan yang berbeda. Hal yang sangat biasa dan lumrah dalam hubungan kemasyarakatan. 

Perbedaan itu rahmat, tidak seharusnya perbedaan malah mendatangkan keributan bahkan perpecahan. Dari perbedaan kita bisa mengambil intisari kehidupan, yaitu bagaimana menghargai perbedaan dan menanamkan sikap inklusif pada setiap individu. 

Boleh saja mengikuti pemahaman yang sesuai menurutnya. Tapi jika dihadapkan oleh perbedaan, penting bersikap menghargai pandangan lain tanpa harus menghakimi bahwa pandangan lain salah.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Salman Al Farisi

Bagikan di:

Artikel dari Penulis