Keilmuan Tarekat Alawiyyah di Betawi Abad ke-19 dan 20 M

Keilmuan Tarekat Alawiyyah

Keilmuan Tarekat Alawiyyah di Betawi Abad ke-19 dan 20 M — Sebagai sebuah jalan sufi, Tarekat Alawiyyah merupakan sebuah ajaran yang dibentuk dari perjalanan keluarga Bani Alawi yang memiliki ketersambungan nasab dengan Nabi Muhammad Saw. Ajaran ini masuk ke Nusantara bersamaan dengan hadirnya para imigran dari Hadramaut yang mulai masuk ke Nusantara pada kisaran abad ke 14 hingga 15 M, dalam rangka menyebarkan agama Islam. 

Dalam perkembangannya, Tarekat Alawiyyah ini kemudian berkembang di berbagai wilayah, termasuk Betawi. Meskipun, dalam banyak catatan, masyarakat Betawi tidak begitu tertarik dengan lembaga ketarekatan, kehadiran tokoh-tokoh Alawiyyah memberikan  dampak yang besar terhadap pembentukan identitas keislaman masyarakat Betawi. Pengaruh tersebut terlihat tidak hanya dalam ranah keagamaan, tetapi juga dalam budaya dan pola kehidupan sosial masyarakat lokal.

Komunitas Arab dan Betawi

Masyarakat Arab merupakan salah satu rumpun bangsa besar di dunia yang melakukan diaspora lintas wilayah. Diaspora masyarakat Arab terjadi karena beberapa faktor. Seperti perdagangan, penyebaran agama, serta konflik dan peperangan yang berkepanjangan di beberapa negara Arab. Di antara mereka, sebagian besar berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan, yang dikenal dengan Sayyid. 

Dalam struktur berbasis silsilah, kaum Sayyid Hadramaut menempati posisi yang unggul disebabkan secara nasab biologis bersambung kepada Nabi Muhammad. Hal ini menjadikan para Sayyid begitu mudah diterima, baik oleh penguasa atau masyarakat setempat. Menurut Ismail Fajrie Alatas setidaknya ada tiga faktor kaum Sayyid diterima di banyak kawasan. 

  1. Kemampuan bepergian yang dimudahkan oleh jaringan perdagangan. 
  2. Hubungan intelektual mereka dengan jaringan ulama internasional menjadikan keilmuan mereka terverifikasi. 
  3. Penguasaan bahasa Arab yang menjamin penghormatan penguasa kepada mereka.

Baca juga: Jejak Komunitas Arab-Hadrami dalam Persepakbolaan Indonesia

Di Betawi, sebagai golongan yang diakui memiliki otoritas keagamaan, para Sayyid dengan mudah mendapatkan ruang penting dalam kehidupan sosial masyarakat Betawi. Dalam penelitiannya Islam dan Masyarakat Betawi, Abdul Aziz mencatat bahwa sejak abad ke-19 M, masyarakat Betawi memandang orang Arab, khususnya keturunan Sayyid, sebagai bangsa yang paling mulia dan paling tekun dalam beribadah.

Metode pengajaran para Sayyid bersifat sederhana dan mudah dipahami oleh penduduk lokal. Mereka mengandalkan sistem pengajaran tradisional yang bertumpu pada pemahaman teks-teks keagamaan seperti al-Qur’an, hadis, fikih, ratib, dan maulid—yang sangat sesuai dengan tradisi keislaman masyarakat Betawi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam proses itu terjadi hubungan yang begitu harmonis antara Sayyid dan masyarakat Betawi. Hal itu bisa dilihat dari lahirnya kebudayaan Betawi yang bernafaskan Islam, seperti musik gambus dan marawis. Bahkan, keharmonisan ini terjalin juga dalam ranah keilmuan. 

Jaringan Keilmuan Tarekat Alawiyyah di Betawi

Perkembangan Tarekat Alawiyyah di Betawi berlangsung melalui beberapa tahap penting yang mencerminkan dinamika dakwah Islam di kawasan ini.

Pertama, periode awal penyebaran terjadi pada abad ke-15 dan 16 M, beriringan dengan masuknya Islam ke wilayah Betawi oleh tokoh-tokoh agama seperti Syekh Quro dari Karawang.

Kedua, fase pertumbuhan pada abad ke-18 ditandai dengan kedatangan para Alawiyyin dari Hadramaut, khususnya tokoh seperti Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus dari Luar Batang, yang memainkan peran penting dalam memperkuat basis keagamaan masyarakat pesisir.

Ketiga, periode perkembangan pesat berlangsung pada abad ke-19 dan 20 M. Pada masa ini, Tarekat Alawiyyah semakin mengakar melalui peran tokoh-tokoh sentral. Seperti Habib Usman bin Yahya, Habib Ali al-Habsyi Kwitang, Habib Ali Alatas Bungur, dan Habib Salim bin Jindan, yang aktif dalam pendidikan, dakwah, dan pembentukan jaringan keilmuan.

Pada paruh akhir abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20, mayoritas guru Tarekat Alawiyyah di Betawi terhubung dengan jaringan keilmuan Haramain (Makkah dan Madinah), yang pada masa itu menjadi pusat studi Islam bagi para ulama Nusantara. Salah satu pemikiran penting yang memengaruhi perkembangan Tarekat Alawiyyah adalah paradigma Haddadiyah yang dirumuskan oleh Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Paradigma ini, yang berkembang di Hadramaut, menekankan keseimbangan antara ilmu, amal, dan akhlak—serta memiliki pengaruh besar terhadap pola penyebaran dan pendekatan dakwah Tarekat Alawiyyah di Betawi.

Baca juga: Dancukologi: Bahasa, Luka, dan Tafsir Spiritual

Para guru Tarekat Alawiyyah memperkenalkan ajarannya dengan pendekatan yang sederhana dan membumi. Mereka tidak menekankan riyadhah (latihan) fisik yang berat atau pola kezuhudan yang ketat. Melainkan lebih fokus pada pembinaan akhlak dan amaliah keseharian.

Di Betawi pada abad ke-19 dan 20 M, Tarekat Alawiyyah tidak berkembang sebagai tarekat dengan praktik ritual yang kaku—seperti wirid berjamaah dalam waktu lama—melainkan lebih mengalir sebagai gerakan dakwah Ahlussunnah wal Jamaah yang berakar pada kegiatan pengajaran dan penyebaran ilmu agama.

Proses yang berorientasi ta’lim wa at-ta ‘allum (belajar-mengajar) ini merupakan karakter Tarekat Alawiyyah di Betawi abad ke-19. Ajaran-ajarannya ditransformasikan ke dalam bentuk pengajaran dan dakwah, dengan menekankan tiga pilar keilmuan: akidah yang berpijak pada pandangan Imam al-Asy‘ari, fikih dalam kerangka mazhab Syafi‘i, dan akhlak sebagaimana diajarkan oleh Imam al-Ghazali.

Semua ajaran tersebut dipraktikkan secara sederhana, disertai dengan zikir dan wirid ringan yang konsisten. Sehingga, mudah diterima oleh masyarakat luas tanpa harus melalui tahapan spiritual yang berat.

Dengan demikian, Tarekat Alawiyyah memainkan peran penting dalam membentuk corak keislaman masyarakat Betawi: Islam yang moderat, berbasis tradisi, dan menjunjung tinggi akhlak. Keberadaan tarekat ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara ulama Hadramaut dan masyarakat lokal bukan sekadar hubungan keilmuan, tetapi juga kultural dan spiritual.

Referensi:

Mabda Dzikara. Jaringan Keilmuan Guru Thariqah Alawiyyah di Betawi Abad ke-19 dan 20. Jakarta: TareBooks (Taretan Sedaya Internasional), 2020. 235 hlm. ISBN: 978-

Bagikan di:

Artikel dari Penulis