Meramal Pesta Rakyat dan Huru-hara Caper Sosial Media – Pesta rakyat yang diistilahkan oleh para politikus sejatinya hanya alibi dari mereka untuk memeriahkan momentum tersebut. Mohon maaf, istilah “pesta” saja sudah aneh bagi telinga masyarakat yang tiap hari hanya duduk merenung di warung kopi, meratapi inflasi, hutang pribadi yang terus menumpuk, genteng rumah bocor atau bahkan bahan pangan yang makin melonjak dan tidak mampu terbeli. Sebenarnya di mana letak pestanya? Apakah di dalam demokrasi?
Alih-alih menjadi pesta yang sebenarnya, rakyat hanya digunakan sebagai alat pengumpulan suara lima tahun sekali. Hal penting yang harusnya dilakukan para pejabat pertama-tama ialah meningkatkan kinerjanya di sisa-sisa waktu yang ada (kalau bisa), atau memberi solusi dan menyelesaikan berbagai problematika dalam kuasa jabatannya.
Baca juga: Rekam Jejak Politikus yang Penuh Ironi
Namun dalam realitanya, masyarakat malah dihibur oleh kelakuan para anggota pejabat yang lebih jenaka dari pelawak sekalipun. Tidak perlulah dijelaskan panjang lebar mengenai mengenai perayaan ultah di gedung DPR, membagikan kaos dengan melempar dan senyum kecut, maraknya kasus korupsi, pembunuhan polisi, hingga menanam padi dengan maju.
Saya perlu berterima kasih atas hiburan-hiburan yang telah terjadi di negeri ini. Akan tetapi, sungguh rasa terima kasih itu akan lebih besar jika para pejabat negara ini lebih fokus lagi dalam mengurusi wilayah dan porsi kerjanya. Cukup pelawak saja yang menghibur, meski kenyataannya akhir-akhir ini saya agak kebingungan perihal profesi pelawak, penyanyi, artis dan pejabat yang kini bisa barter tempat kerja dan kurang jelas membedakannya.
Tahun 2024 masih lama, namun peperangan demi mendapatkan perhatian dari masyarakat untuk pemilu sudah memanas akhir-akhir ini. Media sosial telah diisi oleh tim-tim yang mungkin sengaja dibentuk untuk mengharumkan nama, mengabadikan kegiatan sosial atau memaksakan interaksi bersama “wong cilik” yang sering menjadi korban adegan iklan.
Sebenarnya bukankah hal itu merupakan tindakan yang wajar bukan? Bangsa kita selalu dapat meramal perhartian, bahkan hasil suara pemilu sekalipun.
Bagaimanakah reaksi kita terhdap hal-hal demikian? Apa kita perlu ikut andil merayakan pesta rakyat yang sebenarnya kita tidak merasa dipestai? Toh perubahannya begini-begini saja.
Masyarakat kecil tidak akan paham jika dijelaskan apa itu visi, misi, dana aspirasi, tunjangan, dana beras, kunjungan kerja, dana komunikasi dan seterusnya. Mereka hanya melihat dampak, hasil dan perubahan progres para pemimpinnya. Saya sungguh memahami jika memimpin orang banyak itu berat, bahkan untuk memimpin diri sendiri saja sudah susah.
Baca juga: Kaum Miskin Dipelihara Youtuber
Akan tetapi jika saudara-saudara telah menyalonkan diri, disumpah dan diberi tanggungjawab dalam masa jabatan, maka mulai dari detik itulah pengabdian anda lebih meluas. Tidaklah aneh bahkan jika harus mengesampingkan kepentingan pribadi.
Bagi masyarakat desa seperti saya, yang kesehariannya berinteraksi dengan masyarakat yang kuat, tabah dan sabar, saya terharu. Masyarakat Indonesia telah melewati berbagai dinamika kepemimpinan sejak tahun merdekanya hingga kini. Namun lihatlah mereka saat ini, sangat sederhana masyarakat Indonesia menemukan kebahagiaan.
Saya kagum terhadap kekuatan masyarakat Indonesia, yang meski dibanting oleh permasalahan dan tekanan hidup, mereka masih bisa tersenyum. Saya lebih percaya, bahwa kata-kata mutiara yang sesungguhnya biasanya keluar dari mulut ibu, bapak, keluarga bahkan tetangga-tetangga melarat seperti saya. Kata-katanya ikhlas, jawabannya tulus, dan tentu untuk menasihati orang, mereka tidak perlu menunggu acara seminar, undangan lembaga pemerintah atau bahkan menunggu dana aspirasi turun.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Salman Al Farisi