Rekam Jejak Politikus yang Penuh Ironi – Ketika berbicara tentang politikus, yang dimaksud dari istilah politikus tersebut adalah para pemimpin dan wakil rakyat negara kita. Sebenarnya kalau kita telisik lebih dalam, pengertian politikus merujuk pada mereka yang terpilih maupun yang belum terpilih. Agar tidak membingungkan, maka politikus yang dimaksud artikel ini ialah mereka semua baik yang terpilih dan belum. Karena toh sama-sama merepotkan rakyat juga, apalagi yang terpilih.
Kita perjelas sekali lagi, para pemimpin yang dimaksud adalah pemerintah dan wakil rakyat yang duduk di kursi dewan perwakilan di semua tingkat. Ini memang harus kita perjelas biar tidak disangka antek buzzer pemerintah ataupun kacung partai koalisi bahkan oposisi. Setelah diperjelas kita akan tahu orang yang mau kita kritik, lalu timbul pertanyaan sebenarnya kenapa mereka berhak untuk dikritik? Benar, dikritik itu hak, soalnya kita mengingatkan agar tidak berbuat dosa, tetapi seringnya kita malah disuruh tutup mulut.
George Orwell mungkin bisa menjadi rujukan ketika membahas pemerintahan, walaupun seorang penulis fiksi tetapi alegori yang ia ciptakan merupakan satire yang bagus. Seperti dalam novel ciptaannya Animal Farm, bayangkan menyamakan sifat manusia ketika bertemu kekuasaan dengan hewan-hewan ternak khususnya babi. Padahal manusia bisa lebih rendah dari mereka karena menindas sesamanya.
Patut diakui Animal Farm menunjukkan sebuah gagasan tentang politikus, baik pemerintah maupun wakil rakyat, saat mereka mencari suara untuk mewujudkan “janji-janji”, “ide revolusioner”, atau terkadang disebut “perbaikan” dan “reformasi” bisa dilupakan oleh mereka ketika menjabat. Awalnya mereka berkoar-koar soal idealisme tapi pada akhirnya terperdaya dengan realitas politik kotor yang nikmat.
Wah, pastinya negeri kita tercinta ini punya politikus dengan moral yang jauh dari sifat mabuk kekuasaan seperti itu kan? Sayangnya tidak. Justru negara kita ini politikusnya tidak bisa disebut politikus lagi. Waduh, kenapa bisa begitu? Jelas saja mereka sekarang sudah tidak memenuhi syarat ideal politikus.
Baca juga: Menakar Peluang 4 Karakter dari Serial Naruto pada Ajang Pemilihan Presiden (Pilpres)
Asal-Usul Adanya Politikus
Ketika ingin menjelaskan sudahkah “politikus” bangsa ini bisa disebut politikus dalam arti yang ideal, sebuah analogi bisa menjelaskannya. Analogi ini bersifat imajiner tetapi universal karena memang mengambil dari pola sejarah terbentuknya bangsa demokratis.
Bayangkan baru saja manusia turun di bumi mencapai suatu tempat, mereka itu adalah sebuah komunitas berjumlah sepuluh orang. Manusia harus memenuhi kebutuhan tetapi tidak bisa dilakukan sendiri.
Akhirnya bersama-sama memenuhi kebutuhan perut. Kemudian terciptalah pembagian kerja, ditengah pembagian kerja, menjalankan pekerjaan, dan pemerataan hasil pasti selalu ada perseteruan. Baik itu ketidakadilan dan keserakahan. Intinya ada masalah disitu.
Hadirlah pemimpin yang dianggap punya kebijaksanaan dan kewenangan karena dipercaya anggota komunitas untuk menyelesaikan masalah bersama. Rumah tangga yang isinya dua orang pasti ada saja masalahnya dan solusi menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan menunjuk seorang imam untuk memimpin. Terlebih lagi komunitas sepuluh orang yang pasti punya masalah.
Loh, terus wakil rakyatnya bagaimana? Ya tidur. Bukan tidur sebenarnya sih akan tetapi belum dibutuhkan kehadirannya karena belum ada fungsinya.
Ketika komunitas itu berkembang menjadi 10 ribu orang, akhirnya wakil rakyat memilik fungsi di sini. Tentunya satu pemimpin tidak bisa mengetahui masalah 10 ribu orang sebanyak itu. Terpilihlah wakil rakyat dari mereka yang ada di dalam komunitas itu untuk menyampaikan aspirasi dan masalah mereka ke pemimpin.
Orang-orang yang terpilih juga dianggap bijaksana dan paling perhatian akan keadaan masyarakat. Nantinya wakil-wakil itu bertingkat bisa langsung dari 10 ribu orang tersebut ataupun dalam tingkat yang lebih kecil lagi.
Analogi ini secara umum menjelaskan adanya pemimpin dan wakil rakyat membuat pengertian politikus menjadi lebih umum. Bisa diartikan secara ideal politikus itu orang-orang yang memasyarakat, atau sadar akan masalah orang banyak.
Jika didefinisikan seperti itu “politikus” di Indonesia hampir semuanya tak bisa disebut sebagai politikus. Lihat saja masalah yang diselesaikan bukan masalah orang banyak tapi keluarga, kerabat, rekan bisnis, golongan, dan kroni-kroninya. Sudah jelas, pemimpin kita dan wakil rakyat belum bisa disebut politikus.
Begitu Ironi Politikus Negeri Ini
Setelah menyelam secara filosofis dengan analogi seperti para filsuf. Akhirnya kita bisa melihat keironisan politikus negeri ini. Bagi yang belum tahu ironi. Makna ironi sendiri dalam kitab panduan berbahasa bangsa ini, yaitu KBBI, berarti suatu yang bertentangan baik keaadan maupun suatu makna.
Para politikus negeri ini berada dalam keadaan ironis sejak dulu, ini merupakan kontinuitas sejarah yang sampai sekarang belum berhenti.
Pada awal kemerdekaan para founding fathers yang membawa idealisme kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Mereka menawarkan ide-ide kebebasan dari para penindas. Tetapi beberapa dari mereka juga yang mengkhianati idealismenya dan mereka juga yang menjadi penindas bagi rakyatnya sendiri.
Soekarno mengatakan, “Perlawanan kalian lebih berat karena melawan bangsa sendiri.” Mungkin ini pernyataan paling benar dari dirinya karena ia memprediksi masa depannya sendiri. Orang-orang yang ia tunjuk dan ia anggap setia sebenarnya sedang mencengkramnya untuk dijauhkan dari kondisi rakyat.
Orde baru datang yang dalam Supersemar diamanahkan melakukan tindakan seperlunya untuk mengatasi keadaan pasca orde lama, tetapi kebablasan memerintah selama 32 tahun. Bukannya rakyat mendapatkan kesempatan untuk menyejahterakan diri secara bebas, malahan yang sejahtera adalah keluarga penguasa sendiri dan tentunya kroni bendera kuning.
Sekarang pun kita melihat “politikus” Indonesia modern yang terdiri tiga jenis, yaitu mereka yang ikut menumbangkan orde baru, “politikus” muda, dan artis tenar. Beberapa dari mereka yang berkoar-koar membawa perubahan dari kediktaktoran kebanyakan kalah dengan godaan kekuasaan.
Mereka juga banyak yang mengandalkan ketenarannya untuk menyalonkan bukan dedikasi dan niat seorang politikus tetapi seorang pebisnis. Ia berbisnis di perusahaan yang bernama negara. Tak jarang ia mengartikan bantuan masyarakat sebagai ladang mencari uang. Kalau berbicara kelakuan “politikus” zaman sekarang tidak akan selesai 20 halaman lebih, mari kita simpan untuk esok hari.
Pastinya pemerintah sekarang dan wakil rakyatnya sudah jauh dari fungsi keberadaanya. Sudah hak milik mereka untuk dikritik. Sekali lagi itu adalah hak, karena kritik adalah sekedar mengingatkan.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Designer: Design by Ghani