Di Negara Kita, Demokrasi Hanya Tinggal Nama – Bukan menjadi hal asing bagi kita terkait pengertian demokrasi, baik dalam bentuk teks maupun oral kalau kata tersebut berasal dari kata Yunani. Demos yang berarti rakyat atau khalayak dan kratos yang berarti pemerintahan. Kemudian disimpulkan bahwa demokrasi adalah kepemerintahan yang berjalan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Akan tetapi perlu kita sadari jika pengertian tersebut mulai berbanding terbalik dengan fakta. Sebab di negara kita sekarang, kita tidak benar-benar merasakan adanya demokrasi ini, dan saya yakin tanpa harus diberi tahu pun banyak dari pembaca sekalian yang sudah menyadari problem ini. Namun pembaca sekalian mungkin masih belum sempat menyampaikan kesadarannya ini. Entah, saya belum tahu juga.
Dalam demokrasi kita sebagai rakyat diberikan kebebasan untuk berpendapat atau pun megkritik pemerintah. Karena hal ini sudah diatur dalam UUD 1945 utuk memberikan perlindungan, penghormatan, pemenuhan terhadap kebebasan berpendapat. Dalam pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 (amandemen ke-4) sudah ditegaskan secara eksplisit bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Hal ini juga dapat dikuatkan dengan berpijak pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 23 Ayat 2 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yakni: “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya, secara lisan dan tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara”.
Namun sekali lagi, sebagaimana saya sebutkan kalau demokarasi kita saat ini mengelami kecacatan, mengapa demikian? Wong kita sekarang itu makin dikungkung untuk sekadar berpendapat. Saya ambil contoh acara ILC yang harus tiba-tiba ditutup tanpa ada keterangan yang mendasar.
Kenapa acara tersebut harus ditutup? Padahal ILC itu adalah wadah yang memberikan kebebasan untuk menuangkan aspirasi akademis dalam membaca masalah pemerintah yang up to date, juga dalam tayangan tersebut menunjukan kenetralan dan taransparansi dalam menyediakan data. Nah, pertanyaanya apa mungkin pemerintah takut atau tidak mau dikritik? Katanya kritik itu dibutuhkan agar bangsa ini bisa lebih terbagun.
Perlu kita ketahui bahwa dalam demokrasi, kebebasan berpendapat itu laksana ruh dalam tubuh. Kita tidak bisa memaksa si A untuk berkata hidup kepada si B yang jelas-jelas tak memiliki ruh. Jadi tidak salah jika saya menamakan demokrasi di negara kita sebatas nama saja. Kita tahu namanya akan tetapi tidak merasakan keberadaanya, kita paham pengertiannya akan tetapi tidak dapat menerapkannya. Sebab ruh tersebut sudah dicabut atau lebih tepatnya dibunuh oleh para oknum di balik cangkang kekuasaan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kasus yang menimpa seorang motivator pada 2021 kemarin yakni, Haikal Hassan atau yang akrab di sapa Babe Haikal. Dia dilaporkan kepada kepolisian hanya gara-gara dalam pidatonya menceritakan pengalamannya bermimpi bertemu Nabi Muhammad. Hal ini menjadikan motif utama dia dilaporkan dengan dalih melanggar UU ITE pasal 28 Ayat 2 Nomor 19 Tahun 2016 karena menyebarkan kebohongan yang meneyebabkan keonaran dan rasa kebencian.
Dari kasus ini saya makin ironis memandang demokrasi di negara kita. Bayangkan perihal mimpi saja yang setiap manusia memilliki hak untuk itu. Entah bermimpi siapa pun dan apa pun yang merupakan hak kebebasan individual, ternyata masih bisa dipidanakan. Maka dari itu saya lebih memilih diam jika ditanya perihal demokrasi, karena di negara kita hal tersebut hanya sebatas pengetahuan yang tidak dijadikan ilmu.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Visual Designer: Al Afghani