Kekuatan Tulisan Kartini
Kartini ditetapkan sebagai pahlawan bukan karena turut membawa senjata dalam melawan penjajah, tetapi karena tulisan-tulisannya secara tidak langsung menjadi senjata bagi kebangkitan bangsa Indonesia. Namun, tidak sedikit yang menyangsikan dan mempertanyakan perjuangan Kartini untuk Indonesia. Apalagi alasan hanya hari lahir Kartini yang diperingati secara khusus juga kerap dipertanyakan. Keraguan ini datang dari banyaknya anggapan apa yang dilakukan Kartini hanyalah menulis, dan hal ini dirasa tidak bisa benar-benar dikatakan berjuang.
Keraguan akan kepahlawanan Kartini terus muncul ketika banyak yang membandingkan Kartini dengan pejuang-pejuang wanita lain yang dirasa lebih layak dan berkontribusi lebih besar. Misalnya, pejuang wanita yang ikut berperang penjajah, seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Christina Martha Tiahahu. Atau Dewi Sartika di Jawa Barat yang mendirikan Sakolah Istri pada tahun 1903. di antara deretan para pahlawan wanita ini, hanya Kartini yang hari lahirnya diperingati setiap tahunnya.
Baca juga: Biografi RA Kartini, Pejuang Pendidikan Wanita Pribumi
Kepopuleran Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia tidak lepas dari tulisan dalam surat-suratnya yang dikumpulkan dalam buku Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang yang dipublikasikan setelah wafatnya Kartini. Buku ini dikumpulkan dan diterbitkan oleh J.H. Abendano pertama kali pada tahun 1911. Di dalam Kata Pengantar dalam buku tersebut, J.H. Abendano menyatakan bahwa pembukuan kumpulan surat ini bertujuan untuk membangkitkan simpati dan menarik kerjasama untuk pembangunan sekolah bagi perempuan pribumi. Hal ini tak lain sebagai sumbangan bagi perwujudan apa yang diperjuangkan Kartini.
Pramoedya Ananta Toer, dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, menyatakan sentimen negatif akan alasan sebenarnya dari pembukuan surat-surat Kartini. Pram menyayangkan beberapa bagian surat yang tidak ikut dibukukan dengan alasan penyusun hanya menyalin bagian-bagian yang dianggap cocok untuk dipublikasikan. Hal ini seolah mengerucutkan pemikiran Kartini yang hanya seputar pada kebebasan wanita dan pendidikan pribumi, tanpa menunjukkan pemikiran-pemikirannya akan hal lain. Pram menyebut buku Door Duisternis Tot Licht disusun dalam kerangka pemikiran Kartini buatan Abendanon.
Sentimen ini juga ditunjukkan Pram lantaran adanya kemungkinan maksud-maksud tertentu dari pihak Belanda, yaitu untuk menunjukkan bahwa Hindia Belanda (yang dijajah Belanda) tidak kalah majunya dengan India (yang dijajah Inggris) dengan memamerkan Kartini sebagai hasil pendidikan Belanda dan pribumi.
Terlepas dari tujuan dan maksud sebenarnya dari pihak Belanda maupun apa pun yang diperbuat Belanda atas tulisan-tulisan Kartini, peran Kartini dan tulisan-tulisannya tidak bisa disepelekan.
Baca juga: Pendidikan Hanya Batu Loncatan untuk Bekerja, Kenapa Tidak?
Walaupun pemikiran Kartini dalam tulisannya tidak akan diketahui banyak orang tanpa terbitnya buku Door Duisternis Tot Licht, yang menjadi pokok terpenting adalah pemikiran Kartini itu sendiri. Hal ini tentu tidak lepas dari peran pengetahuan yang didapat Kartini serta bentuk kritis akan sistem masyarakat feodalisme maupun kolonialisme yang banyak merugikan pribumi kala itu. Tulisan-tulisan Kartini seolah menunjukkan kemajuan pemikirannya di tengah kondisi masyarakat yang masih terbelakang.
Bahkan, Pramoedya Ananta Toer menyebut Kartini sebagai seorang pemikir, konseptor yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan untuk Indonesia untuk pertama kali. Tanpa Kartini, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin. Inilah sebenarnya bentuk perjuangan Kartini, merumuskan dan merinci konsep kemajuan untuk Indonesia, yang selanjutnya menjadi milik bangsa Indonesia.
Maka dari itu, surat-surat Kartini tentu tidak bisa disebut hanya. Tulisan Kartini tentu tidak bisa dikatakan hanya tulisan. Buah pemikirannya pun tidak bisa disebut hanya tulisan.
Dengan segala pengetahuan yang ia dapat dan segala pemikirannya, bayangkan saja jika Kartini tidak menulis. Untungnya, Kartini memilih menulis sebagai alat perjuangannya. Ia secara sadar juga menyatakan bahwa kepenulisan dan sastra merupakan alat yang keramat dalam mewujudkan peradaban yang lebih baik bagi pribumi.
Sebagai pengarang dapatlah aku secara besar-besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi pengankatan derajat dan pengadaban rakyatku.
(Surat kepada Estelle Zeehandelaar, 11 Oktober 1901)
Hal ini menyadarkan kita betapa sangat berpengaruh suatu tulisan. Segala sentimen yang menyatakan bahwa “Kartini hanya menulis, tanpa ada maksud menyebarkan pemikiran melalui tulisannya”, justru semakin menunjukkan kekuatan tulisan Kartini. Walaupun terkesan effortless, nyatanya tulisan Kartini mampu mengubah peradaban.
Tulisan Kartini membawa pengaruh pada bangsa Indonesia maupun dunia. Pemikiran Kartini akan pentingnya pendidikan bagi perempuan dalam surat-suratnya mampu menggerakkan beberapa orang untuk mewujudkan mimpinya, yaitu memberikan pendidikan dan pengajaran bagi para perempuan Indonesia. Sekolah Kartini berdiri tahun 1913 di Semarang atas prakarsa Conrad van Deventer dan istrinya, Betsy Maas, yang mengaku terkesan dengan tulisan-tulisan Kartini.
Fakta bahwa buku ini dicetak ulang lebih dari satu kali dan dialihbahasakan ke beberapa bahasa asing menunjukkan bahwa tulisan Kartini telah menarik perhatian internasional dan turut menyumbangkan pemikiran-pemikirannya tentang demokrasi dan kebebasan pada dunia. Pram menyatakan sedikit atau banyak buku Kartini juga ikut membantu membangkitkan emansipasi wanita Syria. Hal ini tentu semakin menunjukkan bagaimana kekuatan suatu tulisan.
Jika tulisan-tulisan Kartini, pemikiran-pemikirannya dipelajari dan dikagumi di berbagai negara luar, tidak ada alasan bagi masyarakat Indonesia untuk tidak turut menghargai tulisan-tulisannya. Pertanyaan maupun keraguan akan kepahlawanan Kartini alangkah baiknya diimbangi dengan literasi sejarah sehingga kita lebih memahami bagaimana perjuangan dan kontribusinya untuk negara.
Editor: Widya Kartikasari
Illustrator: Umi Kulzum Pratiwi Nora Putri