Titik Temu Pemikiran Karl Marx dan Sigmund Freud

Pemikiran Karl Marx dan Siegmund Freud

Titik Temu Pemikiran Karl Marx dan Sigmund Freud – Karl Marx dan Sigmund Freud memang adalah dua tokoh dengan background keilmuan yang berbeda. Sigmund Freud sebagai seorang ahli Psikologi dengan teori Psikoanalisisnya. Sedangkan Karl Marx sebagai seorang Polymath dalam berbagai bidang seperti; ekonomi, sosiologi dan Filsafat. Akan tetapi pemikiran Karl Marx dan Sigmund Freud walau dua teorinya sangat bertolak belakang, tetapi tidak ada perselisihan mengenai sifat-sifat mendasar manusia. Teori Marxisme dan Freudian sangat melengkapi dan memperkaya satu sama lain. serta memandang manusia sebagai subjek irasional yang memperlambat jalan hidupnya. 

Bagi marx kekuatan irasional itu bermuara dari dunia sosial dan ekonomi, dua yang telah gagal dalam mengembangkan kemajuan teknis dan ilmiah. Sementara bagi freud, irasionalitas manusia lahir dari kesuntukan masa kanak-kanak dan cara berkehidupan manusia dewasa. Irasionalitas dunia sosial menguarkan irasionalitas psikologis pada individu setiap manusia.

Pemikiran Karl Marx

Pernyataan Karl Marx yang paling terkenal adalah “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world and the soul of soulness conditions. It is the opium of the people”. Kutipan terkenal ini merepresentasikan posisi Marx bagaimana ia memandang agama. Agama telah menjadi tempat berkeluh kesah bagi kaum yang tertindas, ia hanyalah opium. Agama bukan petunjuk, tapi ia tak lebih dari masalah dari manusia itu sendiri. Bukan malah memberi sebuah petunjuk untuk menyelesaikan masalah, ia malah menjadi opium atau penenang. Opium di sini bermakna sebagai sebuah obat yang dapat meringankan rasa sakit yang nyata. Penenang yang dimaksud adalah ilusi belaka, yang tidak akan mampu menyelesaikan masalah nyata yang ada di masyarakat. Singkatnya agama merupakan sebuah kepalsuan.

Baca juga: Membumikan Filsafat sebagai Jalan hidup

Selain itu, dengan pemikiran bahwa agama mampu memberikan ketenangan dan membuat orang berserah, maka agama kerap dimanfaatkan oleh golongan kelas atas. Kelas atas akan bisa lebih mengeksploitasi kelas bawah dengan menengok bahwa agama membuat kelas bawah untuk tidak protes dengan penghasilannya. 

Terlebih juga, agama memberikan tawaran hadiah atas penderitaan hidup sekarang ini pada suatu kehidupan yang akan datang sehingga malah justru membiarkan ketidakadilan berlangsung terus menerus. Dengan demikian, kritik agama berarti membuang ilusi-ilusi dimana manusia mencari perasaan tenang di tengah keadaan tertindas yang ia hadapi.

Pemikiran Sigmund Freud

Sementara itu Sigmund Freud menyataan bahwa agama adalah ilusi, neurosis (sakit saraf\jiwa), menghalangi pemikiran kritis dan pemenuhan sikap kekanak-kanakan. freud memandang bahwa agama adalah sebagai pemuasan hasrat kekanak-kanakkan. Ini melihat dari arti nama psikoanalisis itu sendiri yang sederhananya diartikan yaitu perawatan medis bagi pasien yang menderita gangguan syaraf. 

Lebih jauh lagi Freud dan para pengikutnya yang meyakini agama sebagai sesuatu hal yang negatif dan neurotis sekaligus agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Penyebabnya adalah paling tidak ada dua faktor yaitu: kepercayaan kuat terhadap sosok Bapak yang di representasikan sebagai Tuhan dan ritus-ritus wajib yang dilakukan dengan rumit.

Dari beberapa kutipan Freud yang paling populer mengenai agama dalam bukunya “New Introductory Lectures on Psychoanalysis” (1933). Freud mengatakan bahwa “agama adalah ilusi dan kekuatannya berasal dari kesiapannya untuk menyesuaikan diri dengan impuls angan-angan naluriah kita.” Juga di bukunya “The Future of an Illusion,” Freud menulis bahwa “agama sebanding dengan neurosis masa kanak-kanak.”, Freud juga menyetakan bahwa “agama adalah upaya untuk menguasai dunia indrawi di mana kita berada melalui dunia angan-angan yang telah kita kembangkan di dalam diri kita sebagai hasil dari kebutuhan biologis dan psikologis.” 

Titik Temu Kedua Pemikiran

Apabila berkaca dari pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan di atas. Maka, ada satu titik temu dari Psikonalisis Sigmund Freud dan Marxisme Karl Marx. Psikoanalisis lebih menonjolkan faktor-faktor subjektif, kebutuhan dan sebuah daya juang yang mengarahkannya untuk menjalankan aktivitas. Dan tentunya sangat melengkapi itu dalam kaitannya dengan pemikiran keagamaan dan moralitas.

Kita bisa menyatukan pandangan Marx dan pandangan Freud tentang agama dari ketidakberdayaan. Marx berpendapat agama memunculkan kebutuhan akan perlindungan dan pendampingan dalam menghadapi masalah-masalah eksternal. Ketidakberdayaan ini, bagi teori freud, menghidupkan kembali ketergantungan kekanak-kanakan kita kepada sosok ayah, karena ayah menjadi sosok pelindung dan tempat bergantung sewaktu sedih. Namun saat kita dewasa proyeksi kita tentang sosok ayah semasa kanak-kanak akan berubah, karena kita mulai mengetahui dan sadar akan kelemahan ayah kita. Karena setiap manusia pasti memiliki kelemahan, begitu pula ayah kita.

Baca juga: Bagaimana Sebuah Negara Mempunyai Bargaining Position?

Lalu orang religious memproyesikannnya dalam sosok ayah yang ada dalam ingatannya ke dunia luar. Orang religious lalu mewujudkan dalam istilah yang dibesar-besarkan menjadi sosok ayah dalam bayangan surgawi Yang Maha Kuasa, Maha Kuat, Maha Tahu, dan Maha Tegas, namun penuh dengan kasih sayang. Dalam ajaran agama kita melihat ajaran penting dari freud yaitu superego yang mengenai kekuatan-kekuatan dari luar yang mengendalikan kehidupan manusia.  Itulah kenapa Tuhan diartikan kadang sebagai sosok yang baik hati dan penyayang, namun juga bisa bertindak otoriter dan dapat murka.Pandangan Freud dan Marx sengat bertalian erat. Bagi keduanya sama-sama melihat itu sebagai sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan yang yang menjadi perwakilan dari individu dan kaum manusia. Teori Marx dan Teori Freud masih mendominasi sejarah pemikiran dunia dan menyulut berbagai penelitian lebih lanjut. Tugas kita sebagai kaum Islam progresif Indonesia adalah dengan terus melakukan penelitian dari hasil pemikiran Marx dan Freud tentang agama dengan metode sosial dan psikologi sebagai landasan untuk memahami individu dan masyarakat, dengan tujuan kemaslahatan tentunya. 

Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Salman Al Farisi

Bagikan di:

Artikel dari Penulis