Eksistensi Kamu dalam Refleksi – Fajar merekah dan sepasang tangan seolah hapal ia harus kemana. Apalagi kalau bukan refleks mencari gadget, yang entah kemana posisinya setelah semalaman diajak membuang-buang waktu. Begitu dibuka, ribuan audio-visual mewarnai pagi buta (atau bahkan siang bolong?) dan semua terpampang di depan mata.
Dari semua tawaran yang merupakan representasi pencapaian umat manusia di bidang teknologi digital, ada satu hal yang kurang. Sebuah algoritma yang terlihat sederhana, berwujud notifikasi yang isinya adalah pesan dari sosial mediamu.
Penulis yakin, bukan satu dua remaja yang terjangkit dalam situasi yang demikian. Dan uniknya, hari ini dimensi “romansa” seakan mengambil alih setiap aspek kehidupan kita.
Mulai dari beranda sosial media, film-film terbaru, sampai snap Whatsapp seorang kawan. semuanya dipenuhi ungkapan-ungkapan romansa. Mulai dari ekspresi suka cita, sampai ungkapan kegalauan. Dan, satu narasi yang dibawa individu terkadang relate dengan beberapa individu.
Fenomena ini menciptakan aktivitas yang disebut repost dan boom! Ruang sosial kita tak pernah lepas dari hegemoni ini. Satu perasaan subjektif nyatanya dirasakan pula secara intersubjektif.
Pertanyaan menariknya adalah: kenapa? Kenapa hal itu bisa sedemikian rupa menguasai setiap dimensi dari kehidupan kita? Maka demi menjaga kewarasan, mari kembali melakukan refleksi.
Kita hidup dalam dunia yang menakjubkan. Jika mau berpikir lebih dalam, ketakjuban-ketakjuban ini bukan hanya pada penemuan mumi Fir’aun, keajaiban ayat dalam kitab suci, tertangkapnya foto Black Hole pertama dalam sejarah pada 2019 lalu, maupun pada skill driblingnya Fred milik klub Manchester United.
Kita harusnya takjub pada lebih banyak hal. Termasuk pada kesadaran kita sendiri. Karena dari semua penampakan maupun konsep yang bisa disebut, kesadaran kita yang pertama kali layak mendapat perhatian. Ia membuka jalan untuk menalar banyak hal.
Termasuk kamu, iya kamu. Minimal, setiap yang bernalar, pasti memiliki “kamu”-nya masing-masing. Hal ini adalah misteri -setidaknya bagi penulis- yang aneh dan penuh magic.
Bahkan, dalam kisah-kisah penciptaan manusia dalam agama-agama monoteisme digambarkan dengan seorang Adam dan Eva (Hawa). Bahkan agama disini memiliki legitimasi soal “perseteruan” akan dua mahluk sejenis.
Dikotomi antara “aku” dan “kamu” yang kita sebut sebagai “mereka” pada kisah di atas, mewarnai episode perjalanan manusia dari awal keberadaannya hingga hari ini.
Dalam banyak kultur, fenomena ini dibuat seolah-olah sakral terkait hubungan dua manusia. Maka dalam luasnya budaya manusia di seluruh dunia, terciptalah etika hubungan dan seperangkat pranata sosial yang berbeda. Bahkan akan kita temukan keragaman yang menarik.
Semua ini tak pelak diakibatkan oleh perasaan-perasaan aneh, yang seolah sumbernya di dalam dada kita. Diksi yang merangkum semua ini sering disebut “cinta”. Tapi entah kenapa, penulis selalu berusaha menghindari diksi ini.
Alasannya sederhana. Pertama, penulis gagal paham kenapa diksi ini harus dipakai untuk mewakili perasaan-perasaan aneh yang kadang intimidatif terhadap akal sehat ini. Kedua, karena luasnya pemakaian diksi ini, terjadi miss-interpretasi dimana-mana.
Lalu harus digunakan diksi apa? Sejauh ini, penulis belum menemukan. Tapi yang jelas, semua rasa gelisah ini terangkum dalam kata “kamu”.
Tapi apakah kita benar-benar bisa memahami “kamu” yang nyatanya adalah sesuatu di luar diri kita? Terkait ini, yang sangat ingin penulis serang adalah sebuah keyakinan bahwa individu merasa seolah mengetahui segalanya atas “kamu”.
Pasalnya, pada romansa, semua pihak merasa memiliki kebenaran. Banyak sekali narasi kecongkakan dalam hal romansa. Sangat subjektif -gaya khas masa post-truth-, sebuah kesalahan yang mungkin sudah dialami sejak Sapiens berevolusi secara biologis maupun kultur!
Kita merasa tahu kebenaran dan tak jarang manusia sakit hati sendiri oleh kecongkakannya. Merasa dihianati berujung playing victim.
Untuk memahami “kamu”, kita bisa meminjam ungkapan Descartes, “Aku berpikir maka aku ada”. Penulis sendiri kurang yakin bagaimana mengintrepetasikan diktum legendaris ini. Tapi yang jelas, tafsiran pribadi rasanya tidak masalah kan?
Jadi ada eksistensi yang pasti. Yaitu adanya “ke-aku-an” yang benar-benar eksis dan nyata. Setidaknya, rasionya. Jasmaninya? Ah, entahlah. Saat individu merasakan benar-benar ada, ia merasakan adanya perasaan-perasaan gelisah atas keberadaan “yang ada” selain dirinya.
Rasa ingin memiliki, gairah seksual, galau, dan berbagai gejala lainnya menyertai tubuh dan pikiran. Sehingga melahirkan ungkapan-ungkapan yang sangat ekspresif, baik simbolik maupun lewat interaksi langsung.
Ini menarik, jika “aku” eksis karena kesadaran diri sendiri. Apakah “kamu” benar-benar eksis? Secara comon sense, mungkin iya.
Tapi menarik kalau kita melihat konsep Das Ding An Sich milik Immanuel Kant. Okelah, kamu “eksis”. Tapi bagaimana diri ini dapat mengalami “kamu”? Bagaimana penulis bisa melihat dan menangkapmu sebagaimana “kamu” mengalami “kamu”? Jika “kamu” tidak pernah bisa kualami, lalu harus dengan apa penulis membacamu?
Perihal “kamu”, mungkin saja Harari akan lantang mengucapkan bahwa itu semua tidak terlalu penting. Pasalnya, ia dalam bukunya Sapiens pernah memberi pernyataan yang agaknya sedikit reduktif.
Bahwa yang kita rasakan hanyalah reaksi terhadap hormon yang sedang pesta pora di sekujur aliran darah dan ke badai sinyal elektrik yang memancar di antara bagian-bagian yang berbeda dari otak. Jadi, bisa saja kita yang terlalu mati dalam euforia tanpa melihat kembali susunan dan fungsi biologis kita.
Tapi sialnya, penulis sendiri yang belum sepenuhnya memahami “kamu” pernah mengungkapkan bahwa, “Aku ingin bersamamu selamanya.” Sebuah pernyataan yang ditulis sembari membeo kata-kata romantis para pujangga di jalan-jalan penantian.
Sampai akhirnya tersadar, “Bukankah waktu memiliki akhir sebagai konseskuensi sebagai mahluk Tuhan? Iya, bukankah waktu itu fana dan kita hanya diam tak berdaya? Waktu memiliki batas, dan harusnya kata “selamanya” tidak memiliki tempat di dalam diksi “waktu”?
Sampai sini, beberapa pembaca yang masih bertahan mungkin akan bertanya-tanya, “Apa urgensi dari tulisan ini? Kenapa kok menjadi mbulet gini?” Tapi, se-mbulet-mbulet-nya tulisan ini, semoga tidak dianggap sebagai masturbasi rasa rindu semata. Terlebih hanya dianggap sebagai kepengecutan untuk sekedar menyapa “Hai, jalan bareng yuk” yang tampil dalam sebuah esai-sok-filosofis.
Karena saat berbicara tentang “kamu”, ada narasi-narasi yang harus disampaikan. Meskipun itu tidak terstruktur, penuh dengan pemberontakan logika, maupun banyak menggunakan susunan diksi yang memicu granat cacat nalar.
Semoga, jika kamu membaca ini, kamu menghayatinya sebagai Das Ding an Sich sebagai langkah awal. Syukur-syukur jika kamu melakukan pendekatan fenomenologi, meskipun penulis yakin dirimu tak mendapatkan mata kuliah itu di jurusanmu.
Sebagai penutup dari refleksi tak bertepi ini, penulis akhiri dengan puisi sastrawan terkenal, yang diparafrase secara radikal -untuk tidak menyebutnya sebagai njiplak.
Aku ingin membacamu dengan sederhana
dengan trilogi Harari yang tak sempat didiskusikan
sapiens kepada neanderthal yang menjadikannya tiada