Menjadi Siswa yang Sering Dipuji oleh Guru Membuat Saya Dijauhi oleh Teman-Teman

Menjadi Siswa yang Sering

Menjadi Siswa yang Sering Dipuji oleh Guru Membuat Saya Dijauhi oleh Teman-TemanKetika saya duduk di bangku sekolah dasar dulu, saya tidak memiliki banyak teman. Paling teman saya hanya satu atau dua anak. Penyebabnya bukan karena saya ini antisosial atau semacamnya, tetapi karena tidak ada yang mau berteman dengan saya.

Sebenarnya saat itu saya sudah berusaha untuk menjalin pertemanan dengan teman sekelas yang kebanyakan juga satu pedukuhan dengan saya. Misalnya saat bermain sepak bola sore hari di lapangan, bermain petak umpet di malam hari, dan berbagai macam permainan lainnya. Ya walaupun tidak diajak tetapi saya ikut-ikutan aja.

Meskipun nanti saat bermain sepak bola saya tidak ikut bermain dan hanya di pinggir lapangan bertugas untuk mengambil bola. Kalau diperbolehkan main pun hanya sebatas lari-lari saja di pinggir lapangan dan menjadi seorang hakim garis. Begitu juga ketika bermain petak umpet saya hanya menjadi penonton.

Setiap kali saya memohon untuk ikut bermain, mereka selalu bilang “Bocahe wis pas, yen koen melu main, angel malah dadi keder“. Padahal bukan itu alasan sebenarnya mereka tidak mengizinkan saya untuk ikut bermain, melainkan karena mereka benci dengan saya. Kebencian teman-teman terhadap saya bukan karena saya ini anaknya sombong loh ya, apalagi nakal. Saya ini merupakan anak yang baik-baik.

Penyebab yang membuat saya dibenci adalah pujian dari para guru. Waktu itu saya masuk sekolah dasar di usia lima tahun. Hal tersebut berbeda dengan kebanyakan anak-anak pada umumnya yang masuk sekolah dasar di usia enam tahun. Para guru pun awalnya tidak yakin kalau saya ini bakal mampu mengikuti pelajaran dengan baik, mereka memprediksi saya akan tinggal kelas.

Dugaan para guru pun salah, justru saya mendapat peringkat tiga di kelas satu sekolah dasar. Tentunya hal tersebut begitu mengejutkan para guru. Namun bukan hanya para guru saja yang terkejut, tetapi juga para wali murid. Kalau peringkat satu dan duanya sih para guru tidak heran, karena usia mereka tujuh tahun yang harusnya sudah duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.

Saking bangganya, Kakek saya rela pergi ke ibukota kabupaten hanya untuk membelikan saya sepatu dan tas bermerek. Ia tidak henti-hentinya menceritakan kehebatan saya di depan teman sebayanya.

Para guru pun menganggap bahwa hal itu hanya sebuah kebetulan yang di saat kelas dua nanti mungkin melempem. Tetapi dugaan para guru salah, saya masih tetap mendapat peringkat tiga. Saat saya naik kelas tiga banyak teman dari kelas tahun sebelumnya yang tidak naik kelas yang akhirnya sekelas dengan saya. Mereka pada umumnya satu dukuh dengan saya.

Hal tersebut membuat para orang tua dari anak-anak yang tidak naik kelas itu membanding-bandingkan anaknya dengan diri saya. “Kebanyakan main sih jadi tidak naik kelas, sekarang kamu sekelas kan sama Malik”. “Padahal kamu sama Malik itu lebih tua kamu.” “Malu dong sama Malik, kecil-kecil cabe rawit“. Perkataan itu saya dengar ketika tidak sengaja lewat di depan rumah salah seorang teman yang tidak naik kelas tersebut. Bukan hanya para orang tua murid yang memuji-muji saya. Tetapi para guru yang mengajar di kelas. Ternyata hal tersebut menjadi sebuah kecemburuan para siswa lain terhadap diri saya. Sehingga mereka menjauhi, bahkan sampai memusuhi saya. Mungkin tujuan sebenarnya para orang tua dan guru memuji saya itu baik, yaitu bertujuan agar yang lain bisa ikut termotivasi.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis