Permasalahan Ranjau Darat dan Upaya Meminimalisir Dampaknya Terhadap Pihak Sipil – Pada tanggal 4 April 2023 lalu kembali diperingati sebagai Hari Peduli dan Penanggulangan Ranjau Internasional atau The International Day for Mine Awareness and Assistance in Mine Action. Melansir dari situs National Today, peringatan Hari Peduli dan Penanggulangan Ranjau tersebut diprakarsai sebagai bentuk edukasi terhadap masyarakat tentang bahaya ranjau darat serta mengkampanyekan larangan penggunaan ranjau darat untuk keperluan militer. Peringatan yang diprakarsai oleh PBB tersebut mulai dilaksanakan sejak tahun 2005 silam.
Penggunaan ranjau darat dalam dunia militer memang merupakan sebuah langkah yang terbilang murah dan memberikan dampak yang cukup besar bagi pihak lawan. Sejak pertama kali ditemukan ratusan tahun yang lalu, ranjau darat yang menggunakan bahan peledak sebagai bahan perusaknya telah memakan korban ratusan hingga ribuan jiwa sepanjang sejarah konflik yang melibatkan umat manusia. Ironisnya, ranjau darat ini juga dikenal tidak pandang bulu dalam menyasar korbannya. Meskipun diperuntukan untuk target militer, akan tetapi kebanyakan korban juga berasal dari kalangan sipil.
Ranjau Darat Selalu Mengintai Meski Konflik Telah Berakhir
Sejak ditemukan pada abad ke-15 masehi, penggunaan ranjau darat dengan peledak hingga saat ini masih tetap eksis digunakan dalam lingkup militer di beberapa negara. Penggunaan ranjau yang murah dan mudah dilakukan membuat senjata ini seringkali digunakan untuk berperang, khususnya bagi pihak yang sedang bertahan.
Ranjau darat hanya perlu disebarkan di sebuah area tertentu yang dikenal dengan nama ladang ranjau. Tentunya target utama dari ranjau adalah personil atau kendaraan musuh yang sedang melintasi area yang telah ditaburi ranjau dan diharapkan dapat menghambat gerak laju musuh.
Namun, hal ini juga cukup berbahaya bagi para pihak lain seperti kubu yang memasang ranjau itu sendiri atau bahkan pihak sipil. Melansir dari situs Landmine Free, penggunaan ranjau darat dalam sebuah konflik masih tetap akan berbahaya meskipun belasan atau puluhan tahun konflik tersebut telah berakhir selama area ladang ranjau tersebut tidak dibersihkan.
Melansir dari situs yang sama, korban dari pihak sipil akibat terkena ranjau peninggalan era konflik diprediksi mencapai sekitar 5.000-10.000 jiwa hingga hari ini. Sebagian korban tersebut tentunya tersebar di kawasan Asia tenggara, Timur tengah dan juga kawasan Afrika.
Pihak PBB sendiri juga mengkhawatirkan keberadaan ladang ranjau yang belum dibersihkan tersebut karena memang cukup rawan menyasar para korban sipil yang bahkan bukan menjadi target dari ladang ranjau tersebut. Meskipun pembersihan ladang ranjau di bekas area konflik masih cukup sering dilakukan, akan tetapi pada kenyataannya pembersihan ladang ranjau merupakan pekerjaan yang sulit dan berbahaya.
Selain itu, proses pembersihan ladang ranjau tersebut juga memakan biaya berkali-kali lipat lebih besar daripada biaya yang diperlukan untuk menyebarkannya. Hal inilah yang membuat banyak pihak mengecam dan melarang penggunaan ranjau dalam bentuk apapun dalam konflik-konflik di dunia di masa mendatang atau yang sedang terjadi.
Belum Adanya Komitmen Utuh dalam Urusan Pelarangan Ranjau
Pelarangan ranjau dalam konflik sejatinya telah disetujui dalam konferensi pelarangan ranjau yang dikenal dengan nama “Ottawa Treaty” yang disepakati pada tahun 1997. Konferensi ini diprakarsai oleh Amerika Serikat agar meminimalisir dampak buruk dari penggunaan ranjau bekas perang di masa-masa damai setelah perang.
Hal ini tentunya juga disambut baik oleh banyak negara yang juga menyuarakan hal serupa dalam menanggulangi dampak dari ranjau bekas perang. Melansir dari situs PBB, ada 164 negara yang telah menandatangani kesepakatan pelarangan ranjau darat untuk militer tersebut dalam konflik.
Namun, hal yang cukup ironis dalam pelarangan ranjau tersebut adalah tidak setujunya pihak Amerika Serikat dalam penandatanganan perjanjian ranjau ini. Padahal pihak Amerika Serikat merupakan salah satu pihak pertama yang menginisiasi pelarangan ranjau dalam konflik tersebut. Langkah ini kemudian juga diikuti oleh dua negara besar lainnya yang notabene adalah rival Amerika Serikat yakni Republik Rakyat Cina dan Rusia.
Negara-negara tersebut beralasan tidak menyetujui pelarangan ranjau dalam militer karena masih memerlukannya untuk melindungi objek-objek strategis di negaranya. Beberapa negara lain juga tidak ikut menandatangani perjanjian tersebut karena alasan keamanan atau sedang berkonflik seperti Korea Utara, Korea Selatan, Vietnam, Israel, Mesir, Iran, Pakistan, Myanmar dan beberapa negara lainnya.
Beberapa negara tentunya seringkali mengajak Amerika Serikat, Rusia, Cina maupun negara-negara yang tidak ikut menandatangani konferensi “Ottawa Treaty” guna menekan penggunaan ranjau militer dan upaya pengurangan dampaknya terhadap masyarakat di masa-masa damai setelah konflik.
Namun, hal ini tentunya bukanlah perkara mudah karena sebagian besar negara yang menolak ikut berpartisipasi dalam perjanjian tersebut memang sedang berkonflik satu sama lain. Dampak psikologis yang diberikan dari penggunaan ranjau darat maupun sejenisnya memang cukup besar tidak hanya bagi pihak militer, namun juga berdampak terhadap pihak sipil yang menjadi korban dari ranjau-ranjau tersebut.
Penghilangan penggunaan ranjau konvensional dalam konflik secara menyeluruh tentunya dianggap masih jauh dari tujuan selama negara-negara adidaya masih belum memiliki kesepahaman mengenai pengurangan penggunaan ranjau untuk kepentingan militer.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Salman Al Farisi