Soe Hok Gie dan Keterasingan Menjadi Manusia Bebas

soe hok gie

Minggu-minggu ini adalah hari-hari yang berat untuk saya, karena saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”

-Soe Hok Gie. Catatan Seorang Demonstran. 30 Juli 1968.

Menjadi manusia bebas adalah sepenuhnya bertanggung jawab pada pilihan dan prinsipnya. Artinya, ia harus berani berkata tidak dan menolak mengikuti arus yang tak sejalan dengan prinsip serta pertimbangan moralnya. Kiranya seperti itulah Soe Hok Gie tumbuh, berkembang, dan hidup hingga mati menjadi manusia bebas.

Baca juga: Nietzsche, Hujan, dan Masa Lalu

Semua yang membaca Gie—baik itu melalui catatan hariannya atau tulisan-tulisan lainnya—pasti sudah paham betul bagaimana sikap Gie terhadap politik.  Baginya, politik merupakan barang-barang yang kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Namun, jika suatu saat tidak dapat menghindar, maka terjunlah. Agaknya kata-kata itu meluncur dengan pertimbangan atas prinsip dan moralnya yang matang. 

Jika dilihat lebih sederhana—dalam pandangan Gie—betapa pentingnya kesadaran politik, yang di mana kesadaran itu harus ditopang oleh pertimbangan moral dan prinsip diri sebagai manusia bebas; keberpihakan hanya pada kebenaran. Oleh sebab itu, keterlibatan Gie dalam dunia politik tidak dapat kita tafsirkan sebagai bentuk yang inkonsisten terhadap prinsipnya.

Sebagai seorang intelektual dan manusia bebas yang humanis, memerangi ketidakadilan dan menjemput kebenaran merupakan sebuah keharusan. Walaupun di kemudian hari ia kerap berbenturan dengan prinsip-prinsipnya. Sikapnya ini merupakan cerminan dari penggalan tulisannya, “Kaum Intelejensia yang terus berdiam dalam keadaan mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan.” Maka bisa kita simpulkan, alasan kemanusiaan merupakan dasar kuat dari terjunnya Gie dalam politik.

Namun, selalu mengandalkan kekuatan moral dalam dunia politik yang penuh dengan kemunafikan tampaknya akan sulit untuk mendapatkan penerimaan yang baik. Itulah mengapa Gie selalu terasing ketika ia menjadi manusia bebas. Menariknya, hal itu tidak menjadi persoalan serius bagi Gie untuk tetap berpegang teguh pada prinsip moral dan kebebasannya.

Dalam suatu waktu, ia pernah menulis secara objektif tentang pembantaian massal yang dilakukan oleh negara dan mengadvokasi para korban G30S. Ketika itu, teror demi teror langsung memburunya. Salah satunya, sewaktu ia sedang berjalan di trotoar. Sebuah mobil melintas sembari melemparkan kertas yang bertuliskan: tjina+pki= mati. Ketika ia tahu bahwa perjuangannya melawan penindasan dan dehumanisasi mendapat penolakan dari lingkungannya, apakah ia hanya diam? Apakah ia takut?

Baca juga: Kisah Pilu Pramoedya Ananta Toer di Tanah Pembuangan

Sebagaimana kita tahu sikap Gie ketika kemanusiaanya tersinggung, ia kemudian menegaskan sikapnya. Seperti yang tertulis dalam buku catatan hariannya, “Menghadapi kekejaman-kekejaman ini, orang hanya punya dua pilihan. Menjadi apatis atau ikut arus. Tapi syukur ada pilihan ketiga: menjadi manusia bebas… Seseorang dinilai dari keterusterangan keberanian moralnya.”

Dari situ kita dapat mengambil suatu pelajaran berharga. Sebagaimana kita tahu, Gie adalah seorang yang antikomunis. Namun, baginya, membalas kekerasan dengan kekerasan bukanlah suatu hal yang baik. Gie selalu menganggap semua manusia itu setara. Artinya, semua manusia memiliki hak yang sama, dan semua manusia setara dalam konteks kemanusiaan.

Keberanian moral, idealisme, dan segala dinamika hidupnya sebagai intelektual muda yang bebas inilah yang kemudian menjadikannya terasing—meskipun pujian sering didapatinya. Ketarasingannya menjadi manusia bebas tak luput dari semua yang ia perjuangkan. Kebenaran hanya ada di langit, dunia hanyalah palsu, palsu. Kata-kata yang sempat ia lontarkan di masa remajanya itu, terus membimbingnya menuju kebebasan yang tak mewah, melainkan kebebasan yang sebenarnya; bertanggung jawab atas pilihan dan prinsip moral.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis