Biografi Jamaluddin Al-Afghani: Keturunan Nabi & Pencetus Pan-Islamisme – Jamaluddin Al-Afghani adalah salah satu tokoh pembaruan pemikiran Islam paling berpengaruh pada abad ke-19. Lahir pada tahun 1838, terdapat perdebatan mengenai tempat kelahirannya, apakah di Asadabad, Afghanistan, atau Hamadan, Iran. Terlepas dari perdebatan itu, yang pasti, ia adalah seorang keturunan Nabi Muhammad melalui garis Sayyid dan menjadi sosok penting dalam membangkitkan kesadaran umat Islam terhadap penjajahan Barat. Ia dikenal sebagai pencetus Pan-Islamisme, penggerak reformasi Islam, serta pemikir modern yang berani menantang stagnasi intelektual umat Islam pada masanya.
Profil / Biodata Jamaluddin Al-Afghani
Nama Lengkap | Sayyid Jamaluddin al-Afghani (kadang disebut juga Jamal ad-Din al-Afghani) |
Tempat Lahir | Asadabad, wilayah yang kini bagian dari Afghanistan atau Iran (lokasi spesifik masih diperdebatkan) |
Tanggal Lahir | 1838 atau 1839 (Masih diperdebatkan) |
Pekerjaan | Aktivis politik, dan tokoh pembaharu Islam |
Riwayat Pendidikan | Studi awal di bidang agama, filsafat, dan sastra di kota kelahirannya. Melanjutkan pendidikan di Najaf, dan banyak mempelajari pemikiran Islam klasik serta filsafat Barat. |
Nama Ayah | Sayyid Syafdar |
Agama | Islam |
Wafat | 9 Maret 1897 di Istanbul, Ottoman Empire (sekarang Turki) |
Baca juga: Biografi Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Islam
Biografi Jamaluddin Al-Afghani
Latar Belakang dan Keturunan
Jamaluddin Al-Afghani lahir dalam keluarga Sayyid, yaitu keturunan Nabi Muhammad. Gelar “Al-Afghani” sering dikaitkan dengannya untuk menunjukkan asal-usulnya dari Afghanistan. Meskipun beberapa sumber mengklaim ia berasal dari Hamadan, Iran. Klaim ini sering menjadi diskusi di kalangan sejarawan, tetapi yang tidak terbantahkan adalah kontribusinya dalam memajukan pemikiran umat Islam.
Sebagai seorang keturunan Nabi, Al-Afghani membawa kehormatan dan tanggung jawab besar. Sejak kecil, ia menunjukkan kecerdasan luar biasa. Pendidikan agama dan ilmu pengetahuan dasar ia dapatkan di madrasah tradisional, sebelum melanjutkan ke pusat-pusat pendidikan tinggi di dunia Islam.
Awal Perjalanan dan Pencarian Ilmu
Di usia muda, Al-Afghani melakukan perjalanan panjang untuk menuntut ilmu. Ia mempelajari berbagai cabang keilmuan Islam, termasuk tafsir, hadis, fiqih, dan filsafat. Selain itu, ia juga mendalami ilmu pengetahuan modern seperti matematika, astronomi, dan sains, yang saat itu jarang ditemui dalam kurikulum madrasah tradisional.
Perjalanannya ke berbagai wilayah, seperti India, Irak, dan Mesir, membentuk pemikirannya. Selama di India, Jamaluddin menyaksikan langsung dampak kolonialisme Inggris terhadap umat Islam. Pengalaman ini mendorongnya untuk mencari solusi kolektif bagi masalah yang dihadapi dunia Muslim.
Pencetus Gerakan Pan-Islamisme
Salah satu kontribusi terbesar Jamaluddin Al-Afghani adalah gagasan Pan-Islamisme, yaitu gerakan untuk mempersatukan umat Islam di seluruh dunia. Pada masa itu, dunia Islam sedang terpecah-belah akibat penjajahan Barat, konflik internal, dan kejatuhan kekhalifahan Ottoman. Jamaluddin meyakini bahwa hanya dengan persatuan, umat Islam dapat melawan dominasi kolonialisme dan kembali bangkit sebagai peradaban besar.
Ia menyebarkan gagasan ini melalui tulisan, pidato, dan diskusi dengan para pemimpin Muslim. Di Mesir, ia bertemu dengan Muhammad Abduh, seorang cendekiawan muda yang kemudian menjadi murid dan penerus pemikirannya. Bersama Abduh, ia mendirikan Al-Urwat al-Wuthqa (Ikatan yang Kokoh), sebuah majalah yang menjadi corong perjuangan Pan-Islamisme.
Modernisasi Islam
Selain menyerukan persatuan, Jamaluddin juga dikenal sebagai salah satu pendiri gerakan modernisme Islam. Ia percaya bahwa umat Islam harus membuka diri terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk bisa bersaing dengan Barat. Menurutnya, kemunduran dunia Islam disebabkan oleh sikap konservatif yang menolak perubahan.
Jamaluddin menekankan pentingnya pendidikan bagi umat Islam. Ia mendorong penerapan metode ilmiah dalam kehidupan sehari-hari, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Islam. Ia juga mengkritik keras para ulama yang hanya berfokus pada ritual tanpa memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan masyarakat.
Aktivitas Politik dan Perlawanan terhadap Kolonialisme
Tidak hanya sebagai pemikir, Al-Afghani juga aktif dalam dunia politik. Ia sering bepergian ke berbagai negara untuk menyampaikan ide-idenya secara langsung kepada para penguasa. Salah satu perannya yang paling terkenal adalah di Mesir, di mana ia terlibat dalam reformasi sosial dan pendidikan.
Namun, aktivitas politiknya tidak selalu diterima dengan baik. Di Mesir, ia diusir oleh pemerintah karena dianggap terlalu radikal. Di Persia (Iran), ia terlibat dalam gerakan melawan kekuasaan despotik Shah Naser al-Din. Akibat pandangan politiknya yang dianggap berbahaya, Jamaluddin kerap berpindah-pindah tempat untuk menghindari ancaman.
Majalah Al-Urwat al-Wuthqa
Salah satu warisan intelektual terbesar Jamaluddin adalah majalah Al-Urwat al-Wuthqa, yang diterbitkan pada tahun 1884 di Paris. Majalah ini berisi tulisan-tulisan yang menyerukan persatuan umat Islam, perlawanan terhadap penjajahan, serta pentingnya reformasi sosial dan pendidikan.
Melalui Al-Urwat al-Wuthqa, Jamaluddin menyampaikan pesan bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan relevan untuk menjawab tantangan zaman. Ia juga mendorong umat Islam untuk kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan sunnah dengan pendekatan yang kontekstual, bukan literal.
Hubungan dengan Tokoh-Tokoh Lain
Jamaluddin Al-Afghani memiliki hubungan yang erat dengan beberapa tokoh besar dalam sejarah Islam modern. Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Muhammad Abduh, yang kemudian menjadi pelopor gerakan reformasi di Mesir. Selain itu, Rashid Rida, seorang intelektual Muslim lainnya, juga terinspirasi oleh pemikiran Al-Afghani.
Pengaruh Al-Afghani tidak hanya terbatas pada dunia Islam. Pemikirannya juga mendapat perhatian dari para intelektual Barat, yang mengakui bahwa ia adalah salah satu tokoh terpenting dalam gerakan anti-kolonialisme.
Akhir Hayat
Jamaluddin Al-Afghani meninggalkan dunia pada 1897 di Istanbul, pada usia 59 tahun. Setelah wafat, jenazahnya dimakamkan di Nishanta, Istanbul. Pada tahun 1945, jenazahnya dipindahkan ke Afghanistan.
Al-Afghani meninggalkan warisan yang besar dalam dunia pemikiran Islam, dengan banyak karya dan ide-ide reformasinya yang terus dihormati dan dipelajari hingga hari ini.