Kesepian dan Kesendirian yang Kerap Kita Takuti

Kesepian dan Kesendirian

Kesepian dan Kesendirian yang Kerap Kita Takuti

Ada apa dengan kesendirian? Kenapa banyak yang takut akan rasa kesepian jika sendirian? 

Seorang kawan lama pernah mengatakan pada saya, bahwa semakin tua, yang ia takutkan bukanlah tak memiliki uang, kehilangan aset, tak mampu lagi bekerja, ringkih dan tetek bengek lainnya. Kesendirian. Hanya kesendirian yang ia takutkan. Lalu saya menyela dengan dua pertanyaan tadi. Kawan saya pun menjawab bahwa kesendirian adalah sebuah kesepian yang sempurna. Sebuah dunia yang kehilangan makna, dan sebuah hidup yang kehabisan gairah. Hal itu ia dapatkan dari neneknya yang kini hidup sendirian di kampung dan kerap berkeluh kesah karena merasa kesepian.

Rasa-rasanya, mengkhidmati kesendirian dan kesepian menjadi sebuah hal mutlak harus kita lakukan. Saya pribadi kurang sepakat jika kesepian dan kesendirian harus disekulerisasi dari hidup. Meskipun di satu sisi ada yang menganggap antara kesendirian dan kesepian ada jurang yang menganga lebar, di lain sisi ada pula yang menganggap bahwa kesepian dan kesendirian adalah satu paket utuh penderitaan – seperti kawan saya tadi.

Baiklah. Tak perlu diperdebatkan secara berapi-api, cukup dipelajari dengan berhujan-hujan, agar dapat menumbuhkan dengan subur segala kebaikan.

Baca juga: Menyebut Jomblo sebagai ‘Playboy’ adalah Hal yang Membuatku Emosi

Kesepian dan Kesendirian

Jika kesepian sama dengan kesendirian, maka coba renungkan kalimat ini: “Aku lagi pengen me time, nih, lagi pengen ngopi sendiri, jalan-jalan sendiri”. Singkatnya, apakah seseorang sengaja mengatakan hal demikian untuk menjemput kesepiannya? Padahal, kita tahu, bahwa kesepian merupakan hal yang (katanya dan nyatanya) menakutkan. Akan tetapi, faktanya tidak demikian. 

Orang yang mengkhidmati kesendiriannya merupakan orang yang berhasil memeluk kebebasannya. Selain sendiri—dalam artian menyendiri—menjadi sebuah fenomena yang dibutuhkan oleh homo sapiens, menyendiri dan kesendirian dapat pula menjadi embrio gagasan-gagasan yang agung. Kesendirian menjadi sebuah altar bagi sebagian orang untuk mempersembahkan ke-hari ini-an yang melulu tak menentu serta nasib-nasib sialnya menjadi pentas sunyi reflektif-meditatif yang megah.

Hal ini berbeda dengan kesepian. Kesepian pada dasarnya terjadi karena kita belum mampu memberi makna terhadap kehadiran orang lain di dekat kita. Sederhananya, kesepian merupakan ketercerabutan seorang manusia dengan manusia lainnya. Perasaan kesepian ini dialami seseorang jika ia merasa wujuduhu ka ‘adamihi (adanya sama dengan ketiadaannya). Enggak ada lo, ya gapapa. Segera nyalakan tanda bahaya jika seseorang telah merasakan hal demikian, jika lalai, bisa-bisa kesepiannya semakin menjadi-jadi.

Kesepian kerap diartikan sebagai sebuah pengalaman subjektif yang berhubungan dengan perasaan negatif karena keterputusan kontak dengan orang-orang lain. Dalam keramaian, bahkan dalam tongkrongan pun seseorang bisa merasakan kesepian. Bisa saja orang tersebut selalu beramai-ramai dengan teman-temannya, tetapi tidak dengan psikologis dan perasaannya. Terutama pada frekuensi antar-sesamanya. Perbedaan frekuensi tersebut yang menjadikan manusia merasa kesepian, bahkan saat ia berada dalam sebuah komunitas dan keluarganya sekali pun.

Dampak dari kesepian yang berkelanjutan dan tak teratasi secara trengginas ini bisa cukup banal dan fatal. Kesepian yang senyap kerap membuat isi kepala menjadi pengap. Ketika isi kepala telah pengap dan tak lagi sabar untuk meledak; narkoba, depresi, hidup yang semrawut, hingga bunuh diri telah siap untuk meminangnya. Mengerikan. 

Meskipun kesepian itu seperti neraka yang menakutkan, mau tidak mau dengan rendah hati kita harus mengakui bahwa kesepian adalah hal yang manusiawi. Sama halnya dengan marah, sakit, lupa, menderita, bahagia, dan hal-hal manusiawi lainnya. Selama kita masih meruang dan mewaktu, selama itu pula kesepian juga bakal menuntut haknya untuk membersamai kita, entah sekali atau berkali-kali. Jadi perlu ada pengelolaan dan manajemen perasaan kesepian yang kredibel. Tujuannya sudah gamblang: agar saat kesepian menyetubuhinya dampak yang dirasakan tak membuat takdir menjadi getir.

Baca juga: Mereka yang Dinamakan Cinta Sakral

Negosiasi Kesepian dan Kesendirian

Karena kesepian adalah hal manusiawi dan bisa kapan saja mendatangi manusia, menghindar sambi berupaya membangun tembok besar pada diri agar tak kesepian adalah hil yang mustahal. Sia-sia. Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menerimanya. Bahkan jika sanggup, kita patut untuk mencintainya. 

Penerimaan terhadap kesepian mulanya bisa dengan khusyuk menyendiri. Saat seseorang terbiasa menyendiri, ia telah terbiasa mengenali dirinya sendiri. Pasalnya, ketika seseorang telah mengenali dirinya, otomatis ia akan PDKT terlebih dahulu dengan apa-apa yang membuatnya tak bahagia. Hingga pada akhirnya ia telah mencintai dirinya dengan segala keluluhlantakannya.

Jadi, pada tahap ini jurang yang menganga lebar antara kesepian dan kesendirian sudah harus dijembatani. Untuk memperkuat jembatan itu maka mencintai kesepian perlu dideklarasikan dengan lantang dan berani. Ingat, tak hanya menerima, tapi juga mencintai! Saat seseorang telah mencintai kekasihnya, maka sang kekasih akan diperlakukan dengan sangat baik pula, bukan? Begitu pun kesepian. Untuk mencintai kesepian kita harus memperlakukannya dengan baik, sopan, ramah, dan berdaya guna.

Di sinilah kesepian dan kesendirian akan melebur. Kesepian yang telah kita terima sekaligus kita cintai itu sepatut-layaknya dijadikan wahana yang menyenangkan untuk kita berefleksi dan mengambil jarak terhadap orang lain. 

Kita refleksikan diri kita, apakah ada yang salah pada diri kita sehingga tidak merasa terhubung dengan orang lain. Atau jangan-jangan hanya diri kita saja yang terlalu egois, utopis, dan terlalu idealis, sehingga tidak realistis dalam berhubungan satu sama lain. Itu poin pertama.

Baca juga: Mencintai Diri adalah Wujud Mencintai Manusia, Bukan Mencintai Ego

Poin kedua sekaligus poin terakhir, mengambil jarak terhadap orang lain itu sangat perlu agar kita dapat melihatnya secara jernih. Jika ditamsilkan, coba Anda baca tulisan ini dengan menempelkan atau mendekatkan dengan jarak yang sangat dekat antara layar dan mata Anda. Bagaimana? Apakah bisa terbaca secara jelas? Jelas tidak. Oleh karena itu, ketika berada dalam keramaian, komunitas, tongkrongan, bahkan lingkup keluarga kita merasa sepi, maka jadikan hal tersebut sebagai  momen yang pas untuk melihat orang-orang sekitar kita secara jernih. Sehingga, kita tahu bagaimana orang tersebut dan kita dapat menakar relasi seperti apa yang akan kita jalin ke depannya.

Dengan begitu, kesepian dan kesendirian telah terjembatani dan akan saling bahu-membahu menopang kualitas diri kita yang lebih baik lagi. Saat tiba-tiba merasa sepi, datangilah dan anggap diri kita sedang menyendiri. Dengan begitu pula, kesendirian dan kesepian menjadi satu paket lengkap untuk menopang kemenjadian kita yang lebih paripurna sebagai manusia yang manusia. Jadi jangan takut! Hidup-hidupilah hidup agar kita makin hidup, meski terkadang menjengkelkan.

Editor: Widya Kartikasari
Illustrator: Natasha Evelyne Samuel

Bagikan di:

Artikel dari Penulis